sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Malapetaka di balik integrasi litbang kementerian ke dalam BRIN

Ada masalah jika BRIN mengintegrasikan litbang kementerian dan lembaga.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 20 Agst 2021 17:02 WIB
Malapetaka di balik integrasi litbang kementerian ke dalam BRIN

Sejumlah badan penelitian dan pengembangan (balitbang) kementerian dan lembaga (K/L) mengambil langkah, sebelum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diundangkan pada 28 April 2021.

Langkah itu dilakukan untuk mempertahankan unit kerja litbang, supaya tak terintegrasi dalam struktur organisasi BRIN. Salah satunya dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), yang mengadakan perubahan struktur organisasi dua bulan sebelum Perpres BRIN diundangkan.

Selain ingin mengintegrasikan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), BRIN juga akan mengintegrasikan litbang yang ada di kementerian dan lembaga (K/L).

Ada 48 litbang kementerian dan lembaga yang akan dilebur ke dalam BRIN. BRIN telah memberikan tiga opsi dalam melakukan integrasi litbang di kementerian dan lembaga, yakni transformasi kelembagaan total, parsial, dan jadi lembaga lain.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menerangkan, integrasi litbang kementerian dan lembaga hanya beralih nomenklatur, beserta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), anggaran, program, dan aset.

“Artinya, tugas dan fungsi dari litbang kementerian atau lembaga itu tidak dilikuidasi, tetapi dipindahkan,” kata Handoko dalam diskusi virtual bertajuk “Penataan Kelembagaan BRIN,” Kamis (12/8).

“Mengapa perlu dipindahkan? Karena kalau dipindahkan kita bisa melakukan integrasi yang lebih optimal.”

Proses peralihan, kata Handoko, bakal dibantu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sponsored

“Sehingga kita harapkan pada 1 Januari 2022 seluruh program bisa diintegrasikan,” ucap Handoko.

Langkah kementerian

Sekjen Kemnaker, Anwar Sanusi menerangkan, pihaknya telah mengubah nomenklatur unit kerja balitbang, yang semula bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan menjadi Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan.

Perubahan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kelola Kementerian Ketenagakerjaan, yang diundangkan pada 4 Februari 2021.

Tugas pokok dan fungsi unit kerja itu pun berubah. Kata Anwar, jika nomenklatur lama bertanggung jawab mengadakan penelitian ketenagakerjaan berskala makro, maka Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan akan menjalankan tugas riset secara mikro.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengunjungi laboratorium industri di balai-balai BPPT, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (6/8/2021)./Foto Ardian, Biro KSKP/brin.go.id.

Cakupan kerja yang kecil, ujar Anwar, akan memaksimalkan kinerja Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan dalam merekomendasikan kebijakan yang baik.

“Spiritnya kan research based policy. Makanya disepakati di Kemnaker itu litbang tak ada secara makro,” ujar Anwar ketika dihuungi Alinea.id, Rabu (18/8).

“Jadi, enggak ada litbang lagi, (yang ada) Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan.”

Dengan demikian, kerja riset ketenagakerjaan berskala makro akan diambil alih BRIN. Menurut Anwar, perubahan nomenklatur unit kerja litbang ini sudah disepakati Kemenpan-RB.

Kemnaker juga menunjuk pejabat fungsional dalam unit kerja tersebut. Termasuk urusan aset dan program kerja. Namun, Anwar mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan BRIN untuk mengalihkan para peneliti di unit kerja tersebut.

“Apakah misalnya fungsional peneliti akan ditarik ke sana (BRIN)? Saya rasa enggak akan mungkin,” katanya.

“Mungkin mereka (peneliti) tetap berada di satuan kerja kementerian yang tersebar, tapi memang secara fungsionalnya mereka bertanggung jawab kepada BRIN.”

Dalam pandangannya, BRIN lebih baik membuat rencana besar, sebelum mengambil langkah integrasi sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Grand design makronya harus clear dulu,” ujarnya. “Dan itu memang akan membedakan tugas mana yang dijalankan BRIN dan kita (litbang kementerian dan lembaga).”

Balitbang Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga ambil langkah pasca-Perpres BRIN terbit. Polanya serupa, yakni mengubah nomenklatur yang semula Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) menjadi Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKL). Langkah ini dilakukan agar unit kerja litbang tak melebur dalam BRIN.

“Kenapa? BRIN itu kan lokus (penelitiannya) ke dalam (negeri). Sementara kita kan ke luar (negeri),” ujar Kepala Pusat Strategi Kebijakan Luar Negeri Kawasan Asia-Pasifik dan Afrika, Muhammad Takdir, Rabu (18/8).

“Yang paling penting, kedudukan BPPK Kemlu itu tetap harus dipertahankan, tapi kita bisa modifikasi agar tak bertentangan prinsip dengan BRIN.”

Di sisi lain, Takdir menilai hasil produk kajian litbang Kemlu juga bisa dipakai semua kementerian, lembaga, bahkan presiden dalam pengambilan kebijakan luar negeri.

“Menpan-RB menyarankan, kalau badan ini mau dipertahankan, namanya harus diubah,” katanya.

“Enggak bisa pakai pengkajian atau pengembangan karena itu ranahnya BRIN.”

Lebih lanjut, kata dia, dari sisi pola manajemen kebijakan, BSKL akan menjadi semacam laboratorium kebijakan luar negeri. Lalu, aset dan sumber daya manusia BSKL tak akan beralih ke BRIN. Sebab, orientasi pejabat fungsional BSKL berbeda dengan peneliti atau perekayasa umumnya.

“Di BRIN fungsionalnya peneliti, kalau di Kemlu fungsionalnya diplomat,” ujarnya.

Dampak dan uji materi

Rapat dengan pendapat Komisi VII DPR dengan Kepala BRIN dan LPNK tentang progres pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2021 dan rencana kerja anggaran tahun anggaran 2022 di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021)./Foto Jamal Suteja/BKKP Badan Riset dan Inovasi Nasional/brin.go.id.

Menurut Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian (Kementan) Tahlim Sudaryanto, terutama di Kementan, jika balitbang Kementan bergabung ke BRIN punya potensi terjadi stagnasi terhadap dukungan teknologi, kebijakan, dan pelayanan sektor pertanian.

Tak hanya itu, Tahlim menilai, bila integrasi dipaksakan, maka bisa terjadi hambatan birokrasi. Apalagi para peneliti balitbang Kementan sudah menjalin hubungan baik dengan unit kerja lain dan mitra eselon I.

Ihwal opsi integrasi litbang kementerian dan lembaga ke BRIN secara parsial, Tahlim memandang, akan banyak dampak yang dirasakan SDM iptek. Salah satunya, peneliti tak bakal bisa dialih fungsi dan mutasi ke jabatan fungsional yang ada di Kementan. Selain itu, juga berpotensi terpencarnya peneliti ke beberapa unit kerja Kementan dan BRIN.

“Padahal selama ini, itu gabung dalam satu sistem yang saling terkait. Misalnya, peneliti dan penyuluh itu dua sisi yang tak bisa dipisahkan,” tutur Tahlim dalam diskusi virtual Alinea Forum bertajuk "Dampak Peleburan LPNK Iptek dan Litbang K/L ke BRIN," Kamis (19/8).

Alih fungsi jabatan fungsional ke jabatan lain, menurutnya, juga akan mengurangi jumlah peneliti. Padahal, kata dia, ada target untuk meningkatkan jumlah peneliti.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mengatakan, keberadaan balitbang di kementerian atau lembaga dan empat LPNK perlu dipertahankan dan diperkuat dengan menambah anggaran riset. Tujuannya untuk menggenjot iklim riset dan inovasi ke arah yang lebih baik.

“Guyur dengan dana besar,” kata Azyumardi dalam diskusi yang sama.

Azyumardi merasa, rencana BRIN melebur litbang adalah langkah yang salah dan bisa membawa malapetaka iklim riset dan inovasi. Kehadiran BRIN dinilai dapat mengurung kebebasan peneliti dan perekayasa.

“Jangankan untuk bisa kembangkan inovasi, bertahan saja itu (susah),” tutur Azyumardi.

Tahlim memberikan tiga rekomendasi kepada BRIN guna menekan dampak integrasi kelembagaan litbang. Pertama, integrasi harus dilakukan secara struktural. Kedua, integrasi dilakukan secara halus.

“(Litbang) tetap di kementerian, tetapi program dan anggaran dikoordinasikan oleh BRIN,” kata Tahlim.

Ketiga, BRIN dapat mengombinasikan opsi integrasi total dan parsial. Namun, ia menyarankan BRIN ambil rekomendasi integrasi halus. Pasalnya, tak ada perubahan struktur dan nomenklatur.

“Dan BRIN hanya bertugas untuk mengoordinasikan program penelitian,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Jasa Ilmiah LIPI (2006-2011), Jan Sopaheluwakan memandang, BRIN harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dalam melakukan integrasi. Tujuannya, untuk menguatkan kinerja organisasi riset.

"Pasal 14 di Bab IV (UU Sisnas Iptek) itu perlu dicermati kembali. Pasal 14 itu arahnya adalah penguatan terhadap lembaga litbang yang secara tidak langsung itu adalah untuk menguatkan kepada LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN,” terang Jan.

Jan tidak heran muncul banyak persoalan seiring langkah integrasi oleh BRIN, baik di LPNK (LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) maupun balitbang. Menurut dia, apa yang berlangsung saat ini pernah terjadi di LIPI, yang merefleksikan gaya kepemimpinan kepala BRIN sekarang: Laksana Tri Handoko. 

"Yang terjadi sekarang adalah upscaling dari katakanlah success story yang diklaim secara sepihak," tuturnya.

Berkaca dari pengalaman LIPI di bawah Laksana Tri Handoko, kata dia, banyak kasus tidak terselesaikan hingga saat ini. Termasuk dugaan komersialisasi aset. Peleburan ke BRIN, bagi Jan, hanya memperparah wajah buram LIPI yang sampai saat ini sebagian besar pejabatnya masih Plt (pelaksana tugas).

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menuturkan, jika keberatan dengan kebijakan BRIN, bisa dilakukan uji materi yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Terdapat dua pola permohonan gugatan uji materi. Pertama, aspek formal yang mempersoalkan prosedur pembentukan undang-undang. Namun, dalam permohonan ini, MK membatasinya dengan memberi tenggat waktu satu setengah bulan sejak produk hukum berlaku.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo.

“Untuk uji formal ini memang agak berat di UU 11 Tahun 2019 Sisnas Iptek,” ujar Feri, Kamis (19/8).

Kedua, aspek materiel atau menguji substansi pasal dalam UU. Klausul yang digugat biasanya dibandingkan (batu uji) dengan apa yang diamanatkan UUD 1945. Feri menjelaskan, Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 bisa dijadikan bahan batu uji.

“Jika merasa BRIN membatasi hak sebagai peneliti untuk kembangkan diri, memenuhi kebutuhan dasar sebagai peneliti, dan memperoleh manfaat dari iptek, maka pasal ini bisa jadi acuan keberadaan BRIN untuk dihapuskan,” tuturnya.

Ketentuan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 juga bisa dijadikan bahan batu uji menggugat UU Sisnas Iptek. Klausul ini mengamanatkan pemerintah untuk memajukan iptek.

“Tinggal dibuktikan penjelasan kalau maju ke MK, apakah keberadaan BRIN mengantarkan ke pasal ini atau sebaliknya,” kata dia.

Kemudian, uji materi di MA, menurut Feri dapat digugat peraturan perundang-undangan riset dan inovasi yang bersifat teknis, seperti Perpres BRIN. Akan tetapi, proses persidangan berlangsung tertutup.

“Menurut teori advokasi yang saya pahami, kalau kita ada kelemahan di titik tertentu, maka pertarungan itu harus dibawa ke tempat terbuka,” kata dia.

“Sehingga kalau pun kalah, publik tahu putusan itu tidak adil.”

Berita Lainnya
×
tekid