Mendesak komitmen transisi energi
Kebijakan sektor energi selama ini dinilai menyebabkan sejumlah masalah negatif.

Koalisi Organisasi untuk Keadilan Energi mendesak negara-negara yang tergabung dalam G20 untuk berkomitmen secara penuh terhadap langkah transisi energi menuju energi terbarukan.
"Dilihat dari komitmen semua negara, sifatnya voluntary," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono di Jakarta, Senin (24/6).
Koalisi itu terdiri atas sejumlah elemen, yakni Walhi, Jatam, KRuHA, Greenpeace Indonesia, 350 Indonesia, YLBHI, Kiara, KNTI, IGJ, Auriga, dan AEER.
Mereka menyoroti pertemuan konferensi tingkat tinggi negara-negara yang tergabung dalam G20 (KTT G20) di Jepang pada tanggal 28-29 Juni 2019.
Melalui forum itu, mereka mengingatkan kebijakan sektor energi yang selama ini juga menyebabkan terjadinya masalah penghancuran ruang hidup, merusak daya dukung lingkungan, dan dampak negatif lainnya.
Kebijakan energi ini, mengakibatkan serangkaian masalah, mulai dari menyumbang emisi CO2 hingga 40%, praktik korupsi, hingga menimbulkan persoalan lingkungan, dan masyarakat di tingkat tapak.
“Misalnya PLTU batu bara, diidentifikasi menyumbang lebih dari 1/3 emisi terkait energi saat ini hingga tahun 2040,” kata dia.
Selain itu juga menimbulkan masalah kesehatan lantaran pencemaran air dan udara dari tambang dan pembangkit listrik, perampasan lahan dan mata pencaharian, hilangnya situs-situs budaya, hingga masalah kasus kematian anak seperti dinafikkan, baik oleh pemerintah maupun korporasi-korporasi tersebut. Lalu, masalah plastik yang kini menjadi isu hangat di tingkat global.
Dalam konteks Indonesia, kata Yuyun, kecanduan energi fosil juga sulit untuk dihilangkan dan digantikan. Indonesia disebut terus membangun proyek-proyek mercusuar pembangkit listrik tenaga fosil, seperti batu bara dan gas.
Sejumlah proyek bahkan dinilai memiliki kapasitas besar dan disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara, seperti PLTU Batang (2 x 1000 MW) maupun PLTGU (2 x 880 MW) yang sedang dalam tahap konstruksi, begitu juga dengan proyek PLTU dan PLTGU lain seperti Indramayu 2 (1000 MW), Cirebon 2 (1000 MW), Riau (275 MW), Semarang (779 MW).
PLTU dan PLTGU tersebut banyak yang merupakan PMA dari negara Asia yang tergabung dalam G20, seperti China, Korea Selatan, dan Jepang.
Yuyun meramal situasi itu masih akan berlangsung lama. Pasalnya, subsidi dan pendanaan global terhadap energi fosil masih sangat besar. Tercatat, IMF dalam laporannya menyatakan subsidi atas energi fosil secara global mencapai US$5,2 trilliun atau setara dengan 6,5% dari total GDP Global.
“Pada tahun 2017 juga tercatat pendanaan dari pemerintahan G20 untuk proyek luar negeri setidaknya mencapai US$13 milar dalam bentuk pinjaman, kredit, dan jaminan. Indonesia merupakan negara penerima terbesar dari pendanaan proyek batu bara luar negeri pada tahun 2017, yaitu sejumlah US$6,4 miliar,” tegas dia.(Ant)

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Kejahatan anak era kiwari: Dari pencurian hingga penganiayaan
Senin, 27 Mar 2023 06:38 WIB
Turis asing berulah, perlukah wisman mendapat karpet merah?
Minggu, 26 Mar 2023 11:15 WIB