sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Meramu integrasi BRIN dan lembaga riset yang ideal

Proses integrasi lembaga riset ke dalam BRIN harus sesuai aturan undang-undang.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 05 Agst 2021 19:03 WIB
Meramu integrasi BRIN dan lembaga riset yang ideal

Eks Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek-Dikti/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mewanti-wanti agar integrasi lembaga riset ke dalam BRIN dilakukan secara hati-hati. Jika keliru dijalankan, ia khawatir integrasi bakal hanya jadi ajang pemindahan birokrasi. 

"Kita harus benar-benar upayakan transisinya mulus dan organisasi penelitian itu bukan organisasi yang birokratis. Tetapi, bukan birokratis itu bukan berarti bapak-ibu tidak PNS lagi, bukan berarti tidak ada jabatan fungsional lagi,” terang Bambang saat berbicara dalam webinar Alinea Forum bertajuk "Organisasi Riset dan Inovasi Bagi Kemajuan Iptek", Selasa (3/8).

Integrasi empat lembaga riset merupakan mandat dari Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (Perpres BRIN) yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 28 April 2021. Sebelum Pepres itu terbit, DPR dan pemerintah sepakat melepaskan BRIN dari Kemenristek. 

Dalam Perpres itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) disebutkan bakal berada di bawah naungan BRIN yang kini berstatus sebagai lembaga otonom. 

Bambang mengisahkan ide integrasi lembaga-lembaga riset itu sudah ada di benaknya saat ia masih jadi menteri Jokowi. Dalam bayangan Bambang, integrasi di bawah BRIN akan melepaskan lembaga-lembaga riset dari jeratan birokasi struktural yang kental ada di lingkungan kementerian dan lembaga negara. 

Ia memperkirakan sistem kerja perekayasa dan peneliti di lembaga riset nantinya bakal mirip dengan sistem kerja di perguruan tinggi sebagaimana pengalamannya saat menjadi dekan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI). Menurut Bambang, kerja akademikus di UI cenderung bersifat kolektif dan kolegial. 

“Saya kan pernah jadi dekan. Atasan saya rektor. Cuma enggak ada yang sebut kalau rektor itu eselon I, kalau dekan eselon 2. Mengapa? Karena kita bukan organisasi birokrasi. Definisi dosen saya, waktu itu, adalah karena saya dosen FE UI yang dapat tugas tambahan pimpin fakultas," kata dia. 

Bambang dilantik jadi Menristek/Kepala BRIN pada 23 Oktober 2019. Selama lebih dari 16 bulan memimpin, rencana integrasi itu tak kesampaian lantaran struktur organisasi BRIN tak kunjung terbentuk. Pada April lalu, Bambang terlempar dari posisinya sebagai Menristek/Kepala BRIN karena urusan ristek disatukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BRIN jadi lembaga otonom. 

Sponsored

Sebagai pengganti Bambang, Jokowi menunjuk Laksana Tri Handoko sebagai Kepala BRIN. Hingga kini, Handoko pun belum mampu merampungkan integrasi lembaga riset di bawah BRIN. Salah satu kendala integrasi ialah kontradiksi antara isi Pepres BRIN dengan muatan sejumlah regulasi.

Supaya tidak memunculkan persoalan tumpang tindih regulasi, pemerintah dilaporkan bakal menerbitkan Pepres baru pengganti Perpres 33/2021. Jika Pepres baru itu berlaku, Bambang berharap integrasi lembaga riset bisa berjalan dengan mulus.

“Tetapi, maksud saya, tolong, bukan birokrasinya yang dikedepankan. Karena kalau birokrasi yang dikedepankan, itu pasti transisinya heboh karena akan ada orang yang merasa kehilangan posisi, kehilangan jabatan. Nanti merasa harus pindah unit. Kalau begitu, percaya deh sama saya, pasti rumitnya luar biasa,” ujar Bambang.

Lebih jauh, Bambang mengatakan kehadiran sebuah badan yang berfungsi sebagai koordinator riset seperti BRIN adalah sebuah keniscayaan. Berdasarkan pengalamannya, banyak program riset yang dijalankan sebuah lembaga identik dengan lembaga lainnya karena tidak berkoordinasi terlebih dahulu. 

Dengan berdirinya BRIN, Bambang meyakini sinergi antarlembaga riset akan lebih mulus. Di sisi lain, BRIN juga bisa mengefektifkan penggunaan anggaran riset yang tergolong masih minim. Jumlah dana riset Indonesia pada 2019 hanya sekitar 0,25% dari produk domestik bruto (PDB).

“Nah, jadi dengan koordinasi yang simpel itu, maka kita bisa melakukan pengelolaan anggaran juga secara maksimal. Saya kan pernah di Kemenkeu. Saya tahu pasti kalau semua kementerian dilepas mengajukan kebutuhan anggarannya, prediksi saya, kalau ditotal, keinginan itu pasti dua kali lipat dari anggaran yang tersedia,” tutur Bambang.

Mantan Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro. /Foto Antara

Integrasi taat regulasi

Terlepas dari rencana pemerintah memperbaharui Perpres BRIN, anggota DPR RI periode 2014-2019 Marlinda Irwanti mengatakan integrasi lembaga riset dengan BRIN tidak boleh melanggar isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas-Iptek) 

Dalam UU itu, menurut Marlinda, tugas dan tanggung jawab BRIN hanya sebatas mengoordinasikan penyelenggara riset dan inovasi yang dilakukan kelembagaan IPTEK. Pada Pasal 42 UU tersebut, kelembagaan IPTEK dirinci sebagai lembaga litbang, lembaga pengkajian dan penerapan (jirap), badan usaha, dan lembaga penunjang.

“Jadi, dalam hal ini (UU Sisnas Iptek), kedudukan BRIN sudah diposisikan sebagai organ yang mengorkestrasi jalannya penyelenggaraan iptek oleh kelima unsur kelembagaan IPTEK,” jelas Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas IPTEK 2014-2019 itu. 

Menurut Marlinda, bentuk koordinasi yang menjadi tugas BRIN itu telah diterangkan dalam Pasal 48 UU Sisnas IPTEK, yakni mengintegrasikan pelaksanaan program-proggam, anggaran, hingga sumber daya riset dan inovasi.

Adapun yang dimaksud integrasi dalam klausul itu dijelaskan lebih rinci pada bab penjelasan di UU itu. Frasa integrasi dimaknai sebagai upaya menyinergikan program, anggaran, dan mengawasi pelaksanaan rencana induk kemajuan IPTEK.

Berbasis muatan-muatan dalam UU Sisnas Iptek, menurut Marlinda, BRIN dan lembaga-lembaga riset tidak perlu dilebur. “Dapat disimpulkan, kelembagaan IPTEK harus ada sesuai dengan peran dan fungsinya dan BRIN juga harus ada sesuai peran dan fungsi seperti tercantum dalam Pasal 48 dan penjelasannya. Harus ada BRIN yang mengarahkan dan menyinergikan kelembagaan IPTEK,” tutur dia.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza setuju integrasi tak perlu sampai harus melebur lembaga-lembaga riset dan badan litbang ke dalam BRIN. Menurut dia, lembaga riset dan inovasi yang ada saat ini sudah terbiasa bersinergi dan berkoordinasi. 

"Sinergi itu sudah ada di darah daging kita sejak awal. Orang kita bicaranya gotong royong kok di negara ini. Sehingga sebenarnya bagaimana menyatukan ini semua. Bukan menyatakan, 'Oh, ini semua milik satu-satunya lembaga litbangjirap BRIN',” tutur Hammam dalam webinar yang sama. 

Hammam mengatakan, integrasi juga bakal sulit dilakukan jika tidak berbasis pada UU Sisnas Iptek. Di beleid itu, sudah tergambar tata kelola iptek yang ingin dicapai negara. "Kalau kita perdalam lebih jauh, UU Sisnas Iptek itu untuk menemukan desain yang tepat terkait organisasi riset dan inovasi," kata dia. 

Hammam merinci sejumlah pasal dalam UU Sisnas Iptek yang isinya membahas tata kelola iptek dan kemandirian lembaga riset. Pada Pasal 49 ayat (2), dinyatakan bahwa sumber daya IPTEK yang terdiri dari SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana perlu ditingkatkan terus menerus daya guna dan nilai gunanya oleh setiap kelembagaan IPTEK.

Pasal 50 ayat (3) yang menyatakan, SDM iptek ialah peneliti, perekayasa, dan dosen yang dikelola oleh kelembagaan IPTEK. Pasal 73 ayat (2) menerangkan kewenangan kelembagaan IPTEK berhak mengelola invensi dan inovasi sebagai hasil penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk memperkuat dan mengembangkan lembaganya.

Dua pasal lainnya ialah Pasal 81 dan Pasal 83. Pasal-pasal itu menerangkan tugas pemerintah pusat untuk mengoordinasikan pembinaan sistem nasional iptek meliputi kelembagaan, sumber daya, hingga jaringan IPTEK, baik melalui asistensi, sertifikasi SDM, maupun insentif. 

“Oleh karena itu, saya beri catatan penting di sini bahwa jika sumber daya iptek sudah melalui tata kelola yang benar, transparan, dan akuntabel, maka itu akan menguatkan dan mengembangkan kelembagaan iptek itu sendiri,” terang Hammam.

Hammam mengingatkan integrasi BRIN dengan lembaga riset tidak bisa dipaksakan dalam bentuk peleburan atau akuisisi. Model integrasi seperti itu, kata dia, potensial berujung pada petaka tata kelola iptek nasional. 

“Ini kita bicara integrasi, tetapi integrasi yang bisa mendisintegrasikan seluruh penyelenggaraan iptek. Itu kan sudah antiklimaks yang kita harapkan dari UU. UU Sisnas Iptek itu sebagai kelanjutaan dari UU 18 Tahun 2002, artinya ada continued improvement dilakukan oleh negara," tutur dia. 

Ilustrasi laboratorium lembaga riset. /Foto Pixabay

Parsial dan bertahap 

Senada, mantan Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian (Kementan) Haryono menilai integrasi dalam bentuk peleburan organisasi riset ke dalam lingkungan BRIN tidak perlu dilakukan. Terlebih, ketentuan penggabungan itu tidak disebut secara eksplisit dalam UU Sisnas Iptek. 

“Kalau BRIN mengorkestrasi secara keseluruhan, justru kita menaruh belas kasihan pada BRIN. Maka, saya bicara, sebagian hard integration, sebagian soft integration. Enggak ada transformasi yang dilakukan secara hard semua,” kata Haryono.

Dalam rapat dengar pendapat di DPR, Juni lalu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sempat mewacanakan tiga opsi integrasi BRIN dan lembaga riset. Pertama, bedol desa atau transisi secara menyeluruh. Kedua, transisi program. Terakhir, transisi parsial.

Menurut Haryono, transisi parsial adalah opsi yang paling memungkinkan dalam proses integrasi lembaga riset atau balitbang ke BRIN. Pasalnya, semua badan litbang punya kekhasan masing-masing serta memiliki aset dan sumber daya manusia yang berbeda pula. 

"Kalau badan litbang yang kecil, yang penelitinya hanya dua puluh, itu bolehlah bedol desa. Tetapi, kalau Balitbang Kementan itu, menurut saya, tidak mudah. Sekarang pilihan nomor dua, ya, parsial. Itu bagus. Tetapi, parsialnya seperti apa? Kalau dieliminasi atau dipisah, itu bagaimana memisahnya?" tutur Haryono.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Seperti Hammam, Haryono sepakat proses integrasi harus dilaksanakan bertahap. Ia berharap Balitbang Kementan masuk jadi kelompok terakhir yang diintegrasikan. Terlebih, proses integrasi diprediksi bakal memakan waktu lama dan potensial menghambat kinerja riset dan inovasi di sektor pertanian.

“Semoga Kementerian Pertanian yang paling akhir, ya. Ini karena Balitbang Kementan harus bekerja keras untuk mendukung sistem produksi pangan kita, mendukung target produksinya, termasuk mengembangkan bioenergy,” ucap Haryono.

Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirausahaan Institut Pertanian Bogor (IPB) University Erika Budiarti Laconi berharap proses integrasi berjalan lancar dan BRIN bisa menjadi perekat semua lembaga riset di Indonesia. Dengan begitu, kegiatan riset dan inovasi bisa berjalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Sinergis iya, kolaborasi harus. Kalau kita sinergi, bukan main. Jempol saya dua. Artinya, kalau BRIN menjadi binder (pengikat), BRIN menjadi umbrella (payung), harapannya kita optimistis bahwa invensi menuju go to inovation and go to the bussiness bisa terjadi,” kata Erika. 


 

Berita Lainnya
×
tekid