close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, masih sah menjadi cawapres Prabowo pada Pilpres 2024 lantaran MK menolak Perkara Nomor 141. Google Maps/Miqdad Abdul Halim
icon caption
Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, masih sah menjadi cawapres Prabowo pada Pilpres 2024 lantaran MK menolak Perkara Nomor 141. Google Maps/Miqdad Abdul Halim
Nasional
Rabu, 29 November 2023 17:34

MK tolak Perkara 141, Gibran masih sah jadi cawapres Prabowo

Uji materi tersebut diajukan mahasiswa Unusia menyusul terbitnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perkara diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana, melalui kedua kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah.

Pada pokoknya, berkas ini menggugat Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alas hukum yang memungkinkan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju pada Pemilu 2024. Pangkalnya, putusan itu menambah norma seseorang di bawah 40 tahun dapat menjadi calon presiden (capres) ataupun wakil presiden (cawapres) selama pernah menjabat kepala daerah.

Brahma mau "yang pernah menjabat kepala daerah" dibatasi hanya untuk gubernur, bukan bupati/wali kota. Dengan demikian, Gibran masih berhak menjadi cawapres Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Hakim Ketua MK, Suhartoyo, mengatakan, majelis hakim konstitusi mengadili permohonan a quo. Pemohon dianggap memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.

Namun, permohonan provisi tidak dapat diterima. Alasannya, pokok permohonan provisi tak beralasan untuk seluruhnya.

"Amar putusan mengadili dalam provisi menyatakan, permohonan provisi tidak dapat diterima. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujarnya saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (29/11).

Terbitnya Putusan 90 sempat menuai kontroversi bahkan melahirkan dinasti politik. Pangkalnya, putusan turut "direcoki" paman Gibran, Anwar Usman.

Ia lantas "diseret" ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik. Melalui Putusan Nomor 02/MKMK/L/11/2023, MKMK menyatakan Anwar terbukti melanggar 5 dari 7 Sapta Karsa Hutama dalam memeriksa dan memutuskan Perkara Nomor 90. 

Sebagai hukumannya, Anwar dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Ia lantas melawan dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 21 November, yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT.

Belum tentu layak

Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Wicipto Setiadi, mengatakan, sekalipun Gibran tetap bisa maju pada 2024, tidak menjamin ia layak menjadi pemimpin. Apalagi, kompetensi seorang pemimpin sarat subjektivitas.

Wicipto lalu membandingkan dari sisi teritorial. Menurutnya, gubernur memiliki tugas yang lebih berat daripada kepala daerah tingkat II (kabupaten/kota). 

Baginya, lebih ideal seseorang yang akan maju sebagai presiden/wapres pernah menjadi kepala daerah secara berjenjang: bupati/wali kota dan gubernur.

"Dari pengalaman pengisian jabatan presiden/wapres di Indonesia, hanya Jokowi saja yang mengikuti jenjang dari kepala daerah. Presiden sebelumnya sama sekali tidak ada yang berasal dari kepala daerah," tuturnya kepada Alinea.id, Rabu (29/11).

Wicipto melanjutkan, konsistensi aturan ini tergantung kebijakan pembentuk undang-undang (UU), yakni DPR dan pemerintah. Sebab, mengadili kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bukan ranah MK.

"Persyaratan capres/cawapres tidak diatur dalam UUD atau konstitusi, tapi oleh konstitusi didelegasikan pengaturannya kepada undang-undang," ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan