sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Munas X MUI hasilkan 5 fatwa

Salah satunya fatwa tentang penggunaan human diploid cell untuk bahan produksi obat dan vaksin.

Zahra Azria
Zahra Azria Jumat, 27 Nov 2020 15:25 WIB
Munas X MUI hasilkan 5 fatwa

Musyawarah Nasional (Munas) X Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diselenggarakan dari 25 November-27 November telah menghasilkan beberapa keputusan.

Dalam acara penutupan Munas X MUI yang disiarkan melaui akun YouTube Wakil Presiden RI, Jumat (27/11) pagi, Ketua MUI Abdullah Jaidi menyebutkan, Munas X MUI menghasilkan beberapa hasil keputusan, antara lain penyempurnaan peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PDPRT) MUI, penyempuranaan wawasan MUI, penetapan fatwa-fatwa baru, terpilihnya ketua MUI Pusat periode 2020-2025, terbentuknya kepengurusan pimpinan harian MUI periode 2020-2025, hingga terbentuknya kepengurusan Dewan Pimpinan dan Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025.

Terkait fatwa, pada Munas X ini, MUI mengeluarkan lima fatwa.

Pertama, fatwa tentang penggunaan human diploid cell untuk bahan produksi obat dan vaksin.

MUI menjelaskan pada dasarnya dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram, karena bagian tubuh manusia (juz'u al-insan) wajib dimuliakan. Namun, dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh.

Namun MUI menetapkan syaratnya, di antaranya tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia. Obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar. Tidak ada bahaya (dharar) yang memengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin.

MUI menyebutkan apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar'i, seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis, atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization).

Selain itu, pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor. Dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya. Sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta'awun), tidak dengan cara komersial. Serta kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah).

Fatwa kedua, yaitu tentang pendaftaran haji saat usia dini.

MUI menjelaskan pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah), dengan syarat uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh dengan cara yang halal, tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi, tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban 'ala al-faur dan sudah mendaftar.

Fatwa ketiga terkait pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram.

MUI menjelaskan, memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram, karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram), sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

Namun, dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar'iyah), memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah). Situasi darurat yang dimaksud, antara lain adanya penularan penyakit yang berbahaya, adanya cuaca ekstrim/buruk,
adanya ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

Fatwa keempat, yaitu tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan.

MUI menjelaskan, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

MUI menilai pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat, menggunakan akad syariah, tidak dilakukan di lembaga keuangan konvensional dan nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

Jika pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan maka dikatakan haram.

Fatwa kelima, tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu.

MUI menilai ibadah haji merupakan kewajiban 'ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha'ah namun demikian disunahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.

Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha'ah) menjadi wajib 'ala al-faur jika sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji, atau qadla' atas haji yang batal.

Mereka yang menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria tersebut, hukumnya haram.

Sementara orang yang sudah istitha'ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan. Sedangkan orang yang sudah istitha'ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadal hajikan.

“Semoga hasil munas ini membawa kemajuan, kemashalatan, kebarokahan bagi MUI, umat islam, bangsa, dan negara yang kita cintai Republik Indonesia,” imbuh Abdullah Jaidi.

Sementara Wakil Presiden RI sekaligus sebagai ketua Dewan Pertimbangan MUI serta mantan Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menitipkan tiga hal yang dinilai penting.

Pertama, MUI harus terus teguh dalam menjaga dan mendorong pengarusutamaan Islam wasathiyah (moderat) dan komitmen yang harus dijaga. Kedua, MUI harus terus melakukan upaya pembenahan dan perbaikan prinsip yang bisa dijadikan landasan, seperti yang Ma’ruf sering sampaikan, yaitu melakukan perbaikan menuju yang lebih baik secara terus menerus. 

“Melalui upaya perbaikan secara berkelanjutan tersebut diharapkan MUI semakin lebih baik dalam menjalankan fungsinya terutama fungsi sebagai pelayan umat dan fungsi dalam rangka mitra pemerintah,” imbuhnya.

Pemerintah dan masyarakat memiliki harapan besar kepada MUI untuk terus menjalankan perannya yang sangat vital, yaitu sebagai pelayan umat sekaligus mitra pemerintah dalam rangka melakukan upaya menjaga agama dari upaya untuk mengesampingkan peran agama.

Ketiga, MUI terus mendukung dan mengawal perkembangan ekonomi dan keuangan syariah yang merupakan basis dan tumpuan kehidupan ekonomi sebagian besar umat.

Apalagi pada saat ini dunia sedang menghadapi masa sulit seperti krisis ekonomi dan beban sosial yang berat karena pandemi Covid-19. 

“Dalam kaitan ini saya menyampaikan apresiasi kepada MUI yang sejak tahap awal telah aktif bersama instansi terkait untuk melakukan proses tentang kehalalan vaksin Covid-19,” ujar Ma’ruf. 

Dirinya juga telah meminta ketetapan atau fatwa MUI tentang kehalalan vaksin Covid-19 dapat terbit segera.

“Untuk itu pada kesempatan yang sangat baik ini saya mengajak MUI, segenap ormas, lembaga keagamaan, para pemuka agama, tokoh masyarakat untuk turut serta bersama pemerintah membangun kesadaran, kesiapan, dan dukungan seluruh masyarakat akan pentingnya vaksinasi Covid-19,” ucapnya.

Dalam acara penutupan Munas X MUI 2020 juga dilakukan serah terima jabatan dari Ketua MUI periode 2015-2020 Ma’ruf Amin kepada Ketua MUI periode 2020-2025 Miftachul Akhyar. Ma’ruf berharap agar pimpinan dan seluruh jajaran pengurus MUI periode 2020-2025 selalu istikamah termasuk dirinya yang ada di dalamnya.

Berita Lainnya
×
tekid