close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi ibu kota baru. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
icon caption
Ilustrasi ibu kota baru. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
Nasional
Rabu, 19 Januari 2022 14:34

Nusantara dan salah kaprah penamaan ibu kota baru

Istilah Nusantara punya sejarah panjang, tak berkembang menjadi nama negara-bangsa yang saat ini bernama Indonesia.
swipe

Dalam rapat Panitia Khusus RUU Ibu Kota Negara (IKN) dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/1), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengumumkan nama ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

“Saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah langsung dari Bapak Presiden, pada hari Jumat. Beliau mengatakan, ibu kota negara ini Nusantara,” katanya.

Alasan pemerintah memilih nama itu, menurut Suharso, karena sudah dikenal sejak dahulu dan menjadi ikonik di dunia. Alasan lainnya, Nusantara menggambarkan wilayah maritim, yang terdapat banyak pulau dan disatukan lautan.

Muasal istilah Nusantara

Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, calon ibu kota baru yang akan diganti menjadi Nusantara, memiliki sejarah yang panjang. Menurut Aquari Mustikawati dalam “Cerita Rakyat Masyarakat Penajam Paser Utara: Fakta Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser” di jurnal Totobuang edisi Desember 2016, awalnya semua wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, termasuk Balikpapan dan Penajam Paser Utara—yang dahulu disebut Balikpapan Seberang—menjadi bagian dari Kesultanan Kutai Kertanegara.

Lalu, pada 1942 Penajam Paser Utara masuk ke dalam wilayah Kota Balikpapan. Lantas wilayah-wilayah itu berpindah sebagai bagian dari Kabupaten Paser.

“Pada 10 April 2002, kabupaten ini resmi memekarkan diri menjadi suatu kabupaten otonomi yang bernama Kabupaten Penajam Paser Utara,” tulis Aquari.

Perihal istilah Nusantara, tersebut pertama kali dalam Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada ketika diangkat menjadi Patih Majapahit pada 1336, di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi.

Presiden Jokowi berdiskusi dengan Gubernur Kaltim Isran Noor saat mengunjungi lokasi calon ibu kota negara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/122019). Foto Humas/Agung/Setkab.go.id

Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa,” ucap Gajah Mada.

Artinya, setelah tunduk Nusantara, aku akan beristirahat. Setelah tunduk Gurun, Seram, Tangjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku beristirahat.

Ambisi ekspansi perluasan wilayah itu tercetus. Realisasinya, baru terwujud saat Majapahit berada dalam pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), anak Tribuwana.

“Waktu itu Majapahit mampu menguasai wilayah-wilayah Nusantara, meliputi Melayu (Sumatera), Tanjung Pura (Kalimantan), Semenanjung Melayu (Malaka), sebelah timur Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Barat, dan Jawa (kecuali Kerajaan Sunda Galuh dan Sunda Pakuan),” tulis M Agus Susilo dan Andriana Sofiarini dalam “Gajah Mada Sang Maha Patih Pemersatu Nusantara di Bawah Majapahit Tahun 1336 M-1359 M” di jurnal pendidikan sejarah dan riset humaniora KANGANGA, Juni 2018.

Kata Nusantara juga muncul dalam Kakawin Nagarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365, serta kitab Pararaton—sebuah kitab sastra Jawa berisi sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit—yang dibuat pada abad ke-16.

Awal abad ke-20, tokoh-tokoh pergerakan mencari istilah menyebut negara-bangsa yang dinamakan Hindia Belanda oleh penjajah. Nusantara menjadi salah satu nama alternatif, selain Insulinde. Kata Indonesia masih jarang disebut kala itu.

“Istilah Nusantara lebih disukai Soewardi (Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara) daripada Indonesia, dan Sukarno mengaku telah menggunakan Nusantara dalam pidato pertamanya di depan umum, sekitar 1917,” tulis R.E. Elson dalam buku The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008).

Elson menulis, Ernest François Eugène Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi juga menggunakan istilah Nusantara, ketika kata Insulinde memudar. Insulinde sendiri dibuat Eduard Douwes Dekker alias Multatuli—kakek Ernest.

Luthfi Assyaukanie dalam pengantar untuk buku Nusantara: Sejarah Indonesia (2008) karya Bernard H. M. Vlekke menyebut, kata Nusantara merujuk periode khusus, ketika sebagian besar wilayah yang kini dinamakan Indonesia dikuasai Majapahit.

Luthfi menulis, ketika buku Vlekke terbit pertama kali pada 1943, istilah Nusantara secara sengaja dipilih Vlekke untuk menghormati Ki Hajar Dewantara dan para tokoh pergerakan lainnya, yang mengagungkan budaya dan khazanah Indonesia.

Entah siapa yang terlebih dahulu mewacanakan Nusantara sebagai nama negara-bangsa yang kelak merdeka, Ernest atau Ki Hajar. Namun, yang pasti mereka berdua berasal dari organisasi yang sama, yakni Indische Partij—partai politik pertama di Hindia Belanda yang dibentuk pada 25 Desember 1912. Bersama Tjipto Mangoenkoesoemo, mereka dijuluki tiga serangkai.

“Ernest François Eugène Douwes Dekker memberikan pengertian Nusantara, ‘nusa di antara dua samudera dan dua benua’,” tulis Abdurrahman Misno dan Sabri Mohamad Sharif dalam Menggenggam Nusantara Raya (2020).

Sedangkan Ki Hajar, tulis Ridwan Maulana dalam Aksara-Aksara di Nusantara (2020), menggunakan istilah Nusantara sebagai padanan kepulauan Hindia, sebuah nama yang disematkan bangsa Barat.

“Walaupun nama Indonesia telah dipilih, Nusantara tak serta merta lenyap,” tulis Ridwan.

“Nusantara dijadikan wawasan geopolitik negara Indonesia, yang secara tak langsung kata Nusantara merupakan sinonim dari Indonesia itu sendiri.”

Jawa-sentris

Hasil karya pemenang pertama sayembara gagasan desain kawasan ibu kota negara. Foto YouTube KemenPUPR.

Sejarawan JJ Rizal mengatakan, di zaman Majapahit istilah Nusantara mencerminkan bias Jawa yang dominan. Nusantara merupakan produk cara pandang Jawa masa Majapahit, yang katanya, mendikotomi antara negara gung (kota Majapahit) dengan mancanegara (luar kota Majapahit).

“Di luar kota Majapahit inilah yang disebut Nusantara,” ujar Rizal saat dihubungi Alinea.id, Selasa (18/1).

Rizal mengatakan, jika berniat membuat ibu kota negara baru untuk memutus ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa—dan karena alasan itu dipindah ke Pulau Kalimantan yang posisinya di tengah wilayah Indonesia—maka penyematan Nusantara bertolak belakang dengan gagasan pokok memutus kesenjangan tersebut.

Seturut pernyataan Rizal, Elson menulis, dalam perkembangan selanjutnya, Nusantara memang tak pernah diterima dengan serius secara umum sebagai nama negara-bangsa. Menurutnya, kemungkinan karena tak menjadi bagian wacana indologi.

“Dan yang lebih parah, Nusantara mengandung konotasi Jawa-sentris, kesatuan kepulauan di sekeliling Jawa,” tulis Elson.

Lebih lanjut, Rizal menjelaskan, sebutan Nusantara bukan hanya dikotomis dalam kewilayahan, tetapi juga peradaban. Dalam konteks Jawa, kata Rizal, sebutan mancanegara ialah untuk menerangkan wilayah yang tak beradab, bodoh, dan tak teratur. Dengan kata lain, segala sesuatu yang sebaliknya dari negara gung yang beradab, harmonis, dan karena itu harus mendominasi.

“Nah, pola Nusantara dari Majapahit ini yang harus dibaca dalam soal pembangunan ibu kota baru, apakah sudah ditinggalkan semua pola feodal yang subordinatif dalam prosesnya? Tidak,” kata Rizal.

“Proses ibu kota baru merupakan proses pusat (kekuasaan) adalah segalanya. Di luar mereka, tidak ikutan dan harus manut saja.”

Selain itu, menurut Rizal, pemakaian nama Nusantara untuk ibu kota baru tak dapat disandingkan dengan penggunaan Nusantara sebagai nama untuk Wawasan Nusantara, terkait Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda dicetuskan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957. Meski belum menyandang nama Wawasan Nusantara, konsep Deklarasi Djuanda menyiratkan ruh tersebut.

Menurut Elson, deklarasi itu menggagas bahwa seluruh perairan yang berada di antara dan menghubungkan pulau-pulau yang membentuk Indonesia merupakan bagian integral negara, dan karenanya menjadi bagian perairan yang dikuasai penuh negara.

Infografik ibu kota baru. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

“Konsep revolusioner yang kelak banyak ditiru tersebut adalah turunan gagasan Indonesia. Wawasan Nusantara secara pragmatis mencoba menutup jalan masuk Belanda ke kepulauan Indonesia,” tulis Elson.

“Tapi yang jauh lebih penting adalah konsep itu menciptakan negara sebagai satu entitas fisik.”

Rizal mengatakan, alasan pemakaian Nusantara untuk ibu kota baru dan Wawasan Nusantara, sangat berbeda. “Yang sekarang bukan bawa aspirasi rakyat, seperti Wawasan Nusantara Djuanda, tetapi kepentingan kaum aristokrasi duit dan politik saja,” tutur Rizal.

“Jadi tidak mewakili pikiran kepentingan RI sebagai amanat dalam kesetaraan, tetapi mewakili arogansi dan dominasi pikiran elite ‘Keraton Jawa’ gaya baru.”

Di samping bermasalah dari sisi historis, Rizal mengungkapkan, secara hukum pun bermasalah. Sebab, katanya, program membangun ibu kota baru tak mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sendiri.

“Di dalam peraturan itu disebutkan, untuk mengangkat nama tempat harus sesuai penamaan setempat demi menghargai dan menjaga kekayaan kultural-historis,” ujar Rizal.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan