sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ombudsman: Penegakan hukum di RI buruk

Ombudsman Republik Indonesia mencatat buruknya penegakan hukum di Tanah Air dengan bukti 6.000 laporan masuk dari masyarakat sejak 2016.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 07 Des 2019 22:38 WIB
Ombudsman: Penegakan hukum di RI buruk

Ombudsman Republik Indonesia mencatat buruknya penegakan hukum di Tanah Air dengan bukti 6.000 laporan masuk dari masyarakat sejak 2016.

Anggota Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan sejak 2016 sampai saat ini, setidaknya terdapat 10.000 laporan masyarakat yang diterima Ombudsman.

Dari jumlah tersebut, yang terkait dengan penegakan hukum hampir mencapai 6.000 laporan. "Dan 4.000 lebih itu diambil porsi malaadministrasi yang dilakukan kepolisian," kata Ninik di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (7/12).

Sisi lain, bila merujuk dari survei kepatuhan hukum yang dilakukan Ombudsman, maka hasilnya juga memberikan gambaran yang sama. Ombudsman mencatat, banyak terjadi malaadministrasi dalam proses penegakan hukum.

Tak hanya di kepolisian, kata dia, pelanggaran serupa juga terjadi di kejaksaan, peradilan, dan lembaga pemasyarakatan.

"Misalnya yang terbanyak penundaan berlarut, tidak kompeten, penyimpangan prosedur, (dan) diskriminatif," jelas dia.

Sementara itu ketika berbicara hak asasi manusia (HAM), sepanjang 2019 sudah ada 119 korban tindak pidana perdagangan orang yang meninggal di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, di Aceh ada 650 perempuan korban kekerasan yang mendapatkan hukuman cambuk.

"Ini masih perlu ditambahkan (klarifikasi), ada 650 perempuan korban kekerasan yang dicambuk di Aceh, dengan proses hukumnya yang kita tahu itu penyiksaannya luar biasa," jelas dia.

Sponsored

Pencari keadilan

Terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan sepanjang 2019 telah menerima 1.496 pengaduan dari 60.793 pencari keadilan. Menurutnya, angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya 1.148 pengaduan dari 19.552 pencari keadilan.

Dari 1.496 pengaduan, kata Arif, ada 710 laki-laki atau 47%, perempuan 42% atau 625 pengadu, dan terdapat 161 kelompok atau 11%. Banyaknya kasus tersebut, membuatnya menganalisis bahwa memang ada persoalan hukum dan hak asasi manusia dewasa ini.

"Kita bisa menganalisis bahwa memang persoalan hukum dan hak asasi manusia yang dialami masyarakat miskin, buta hukum, dan (masyarakat) tertindas meningkat hari ini. Ini sejalan, barangkali dengan situasi hukum dan demokrasi hari ini yang menurun," kata Arif dalam pemaparan catatan akhir tahun di Jakarta, Jumat (6/12).

Jika dilihat dari sisi penghasilan, Arif menuturkan ada 21% atau 311 pengadu yang tidak berpenghasilan. Sementara orang yang mengadu dengan penghasilan Rp0-Rp2 juta ada 391 orang (26%), Rp2 juta-Rp4 juta sebanyak 325 orang (22%).

Sekalipun ada yang berpenghasilan di atas Rp8 juta-Rp10 juta yang mengadu ke LBH Jakarta, presentasinya ialah 3% atau 38 orang. Dari angka itu, dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum dominan diterima oleh masyarakat yang tidak mampu dan menengah ke bawah.

Di sisi lain, Arif menyampaikan masyarakat yang datang ke LBH Jakarta untuk mengadukan kasusnya atau konsultasi, paling banyak mendapatkan informasi mengenai LBH Jakarta dari media.

"Dan teman-teman jurnalis ini sangat strategis untuk bisa menginformasikan, memberitahukan kepada publik mengenai akses bantuan hukum," jelas dia.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpendapat laporan LBH Jakarta terbilang bagus, sekaligus tidak bagus sama sekali.

Dia beralasan, sekalipun banyak memotret kasus dengan akurat, menyajikan data, perspektif, tuntutan, foto, dan gambar yang sangat hidup, tetapi apabila direnungkan hasilnya seolah-olah membuat kening mengkerut.

"Tetapi kalau kita (lihat) selama foto-foto itu, maka kita akan tahu kondisi Indonesia tidak sedang baik. Karena itu isinya membuat saya, ya, ini keren banget, tapi sekaligus juga tidak baik," ujar dia.

Di lain sisi, jurnalis dan pegiat WatchdoC Documentary Maker, Dandhy Dwi Laksono, mengatakan dalam situasi LBH Jakarta saat ini, refleksi tetap diperlukan.

"Ini (LBH Jakarta) benteng terakhir yang kita punya. Tentu kita perlu banyak perbaikan. Tapi, saya juga sadar bahwa tidak adil juga membebankan agenda yang besar, kerusakan yang sistematis, massal, dan terstruktur dan akan kepanjangan ini kepada hanya lembaga seperti LBH," tegasnya.

Berita Lainnya
×
tekid