sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cuma beri bansos, pemerintah gagal atasi masalah masyarakat terdampak Covid-19

Masyarakat terdampak Covid-19 juga membutuhkan bantuan berupa uang tunai.

Manda Firmansyah Fatah Hidayat Sidiq
Manda Firmansyah | Fatah Hidayat Sidiq Kamis, 23 Apr 2020 13:48 WIB
Cuma beri bansos, pemerintah gagal atasi masalah masyarakat terdampak Covid-19

Bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah kepada masyarakat terdampak coronavirus baru (Covid-19) tidak tepat sasaran. Persoalan itu paling banyak dilaporkan warga ke posko pengaduan yang didirikan Rujak Center for Urban Studies bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengungkapkan, keluhan bansos terbanyak diadukan publik dari nyaris 100 laporan yang masuk. Pangkalnya, tak terdaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga kartu tanda penduduk (KTP) luar DKI Jakarta.

Ini menyebabkan masyarakat, khususnya perantau, yang tak berpenghasilan dan terjebak pelarangan mudik akan menjadi beban ganda bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta. Padahal, mereka tergolong kelompok rentan karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kehilangan penghasilan akibat Covid-19 dan sukar memenuhi kewajibannya membayar tagihan listrik, air, hingga kontrakan.

"Jangan sampai mereka menjadi tunawisma dan menggelandang ke mana-mana. Kalau mereka pulang, lebih riskan. Maka, mereka harus tetap hidup di Jakarta. Jangan berarti tidak diperhatikan," ucap Elisa saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, baru-baru ini. Berdasarkan data pengaduan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap kelas menengah baru berpenghasilan Rp4,5 juta ke atas.

Selain Rujak Center, posko pengaduan juga melibatkan Lokataru Foundation, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Urban Poor Consortium (UPC), dan Amrta Institute for Water Literacy. Posko berfokus terhadap pemenuhan hak atas hunian layak, air, dan distribusi bantuan berupa sembako tersebut.

Koordinator Advokasi UPC, Gugun Muhammad, mengungkapkan, pihaknya sepakat dengan pelarangan mudik lantaran berisiko tinggi terhadap penyebaran virus SARS-CoV-2. Namun, kebijakan itu mestinya disertai sokongan biaya hidup bagi perantau yang terjebak di Ibu Kota.

"Bansos (harus juga) diberikan juga kepada orang dengan KTP non-DKI. Jadi, tidak harus melihat administrasi kependudukan. Setahu saya, (perantau) belum dapat. Walau sudah ada kebijkan untuk memberlakukan, tetapi basisnya masih KTP DKI,” beber Guntoro, sapaannya, saat dihubungi Alinea.id, terpisah.

Pemerintah pun mesti memenuhi kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti persediaan air bersih. Alasannya, banyak warga di kampung-kampung kota kesulitan membayar tagihan air. Ada pula yang belum memiliki akses jaringan pipa air dan harus membeli dari pihak ketiga dengan harga mahal.

Sponsored

"Misalnya di Muara Angke. Itu, kan, tidak ada perpipaan, tetapi beli dengan pikulan," ungkapnya. Ini tentu semakin menyulitkan upaya masyarakat mencegah penularan Covid-19 dengan menerapkan anjuran cuci tangan dan gaya hidup sehat.

Sementara, pengamat kebijakan publik, Denny Iskandar, berpendapat, bansos tidak efektif bagi publik dalam kondisi sekarang. Saat banyak PHK dan masyarakat kehilangan mata pencarian, sembako itu tidak bisa dimanfaatkan.

"Bagaimana mungkin warga yang kehilangan pekerjaan, akhirnya uangnya terbatas dan enggak mampu bayar tagihan PLN, bisa memasak nasi? Seenggaknya, kan, aliran listrik harus ada supaya beras bisa dimasak di rice cooker," ujarnya mencontohkan.

"Warga yang hidup mengontrak juga begitu. Kondisi seperti sekarang membuat mereka sulit membayar sewa dan akhirnya terusir. Terus, mengolah sembakonya bagaimana?" lanjut dia kepada Alinea.id.

Pemerintah 'gagap'

Menurutnya, segala program pemerintah kepada masyarakat terdampak Covid-19 layaknya dalam merespons kondisi normal. Padahal, pandemi ini kejadian luar biasa dan menyangkut keselamatan, sehingga penanganannya mesti ekstra.

"Bansos itu memang bisa menjadi solusi untuk sebagian masyarakat, tetapi sebagian lainnya? Langkah-langkah pemerintah belum komprehensif karena salah mendiagnosis persoalan, jadi segala kebijakan yang diputuskan 'gagap'," kritik mantan dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.

"Seperti pelatihan online Kartu Prakerja. Semangatnya bagus untuk meningkatkan kompentensi pekerja yang di-PHK. Masalahnya, apakah sekarang momen yang tepat? Kan enggak. Rp1 juta itu lebih baik cash agar daya beli masyarakat ada," lanjutnya.

Semestinya, bagi Denny, pemerintah juga harus menyelesaikan problem masyarakat yang belum terselesaikan oleh bansos. Misalnya, menyediakan hunian dengan memanfaatkan "aset menganggur". Dicontohkannya dengan mengalihfungsikan Wisma Atlet Kemayoran–yang terbengkalai pasca-Asian Games 2018–menjadi rumah sakit darurat (RSD) penanganan Covid-19.

"Banyak rusun (rumah susun) yang dibangun pemerintah dan belum terpakai. Kenapa masyarakat yang terusir dari kontrakannya atau di permukiman padat penduduk enggak diminta tinggal di sana dulu? Kalau kapasitasnya kurang atau tidak ada fasilitasnya, bisa dengan menyewakan hotel sementara waktu," tuturnya.

"Kalau mereka dibiarkan dan akhirnya terusir, efeknya bisa lebih parah. Bisa jadi mendorong naiknya angka kriminalitas, angka bunuh diri, atau memperluas wilayah kumuh," sambung jebolan University of Toronto ini.

Selain itu, dirinya juga mengusulkan pemerintah membuat dapur umum di kamp konsentrasi tersebut agar kebutuhan pangan terjamin. Juga menyiapkan tenaga medis di lokasi, sehingga bisa memantau kondisi kesehatan masyarakat.

Dia berkeyakinan, kebijakan ini memiliki efek berganda (multiplier effect). Meminimalisasi potensi kriminalitas, kasus bunuh diri, dan permukiman kumuh (slum area).

"Kasus corona juga bisa ditekan dan terkendali karena masyarakat yang tinggal diwajibkan berdiam diri di dalam kamar saja, kecuali untuk makan. Sehingga, kurva bisa segera melandai dan anggaran bansos enggak terlalu banyak yang keluar karena corona bisa di-handle," paparnya.

Apabila kebijakan strategis tidak segera diambil dan dampak ekonomi kian meluas, maka bakal menimbulkan kekacauan. "Bisa jadi nanti masyarakat 'menggeruduk' kelurahan atau kecamatan karena 'kaki-tangan' pemerintah yang terdekat dengan publik dan terbatasnya akses ke Istana, kantor gubernur, atau bupati/wali kota," papar Denny.

Dirinya mengingatkan, negara dimandatkan mengurus fakir miskin. Pun kini momentum yang tepat bagi pemerintah mengembalikan uang rakyat yang dipungut melalui pajak. "Penarikan pajak juga enggak melihat dia miskin atau kaya. Semua sama," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid