sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penambahan pasukan ke Papua setelah pernyataan KSAD, Amnesty : Retorika saja

KKB bukanlah organisasi, tetapi istilah yang digunakan pemerintah untuk menyebut kelompok yang melakukan tindakan kriminal di Papua.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Minggu, 28 Nov 2021 13:59 WIB
Penambahan pasukan ke Papua setelah pernyataan KSAD, Amnesty : Retorika saja

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman mengingatkan, prajurit TNI yang bertugas di Papua agar jangan berpikir untuk membunuh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Tugas TNI hanya mengamankan masyarakat Papua yang saat ini diklaim diintimidasi kelompok-kelompok radikal bersenjata. Namun, bukannya terjadi penarikan atau pengurangan, tetapi justru akan ada penambahan pengerahan prajurit ke Papua.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, penanganan KKB harus dengan pendekatan penegakan hukum, bukan pengerahan militer, apalagi perang. Organisasi Papua Merdeka (OPM) berbeda dengan KKB. Kendati, OPM memiliki organisasi sayap bersenjata bernama tentara pembebasan nasional Papua Barat (TPNPB). KKB bukanlah organisasi, tetapi istilah yang digunakan pemerintah untuk menyebut kelompok yang melakukan tindakan kriminal di Papua.

Dalam menempatkan KKB dan OPM, kata dia, para pemangku kebijakan menggunakan diksi hanya cenderung retorika saja, ketimbang kebijakan berbasis peraturan perundang-undangan.

“Ini sama saja dengan retorika para pejabat yang mengatakan perangi saja separatisme (OPM), perangi saja narkoba, perangi saja radikalisme,” ucapnya dalam diskusi virtual, Minggu (28/11).

Istilah ‘perang’ tidak pernah diletakkan secara konstitusional, legal, dan institusional. Jika demikian, maka harus ada pernyataan perang dari kepala negara dan presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Pengerahan militer harus mendapatkan persetujuan dari DPR, sebagaimana ditetapkan dalam UU Pertahanan Negara dan UU TNI. 

Selain itu, pengerahan pasukan militer untuk musuh negara di luar wilayah kedaulatan. “Kalau mengerahkan pasukan militer di dalam wilayah Indonesia, memunculkan pertanyaan?, dari mana pembenaran konstitusionalnya?, dari mana pembenaran legal perundang-undangan, termasuk dalam kerangka hukum internasional,” tutur Usman.

Penanganan KKB harus mengikuti kerangka penegakan hukum, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pembekuan rekening, hingga mengajukan ke pengadilan dengan asas praduga tak bersalah.

“Membuktikan orang yang terlibat sampai terbukti bersalah. Itu ketegasan hukum, sayangnya seringkali ketegasan itu dibayangkan dalam ‘tumpas’, ‘basmi’, itu bahasa-bahasa dalam politik, dari elit politik, yang menurut saya sulit ditempatkan dalam kerangka konstitusi,” ujar Usman.

Sponsored

Disisi lain, Usman membantah Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi yang menyatakan kepolisian tidak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk penanganan KKB, seperti halnya TNI.

“Belum tentu, belum pernah ada evaluasi itu, kita belum pernah melakukan evaluasi sungguh-sungguh baik di Komisi I maupun di Komisi III DPR RI, apakah benar kapasitas sumber daya kepolisian misalnya, tidak memiliki kemampuan seperti itu, apakah seluruh aparatur kepolisian yang kita bayangkan punya dalmas-dalmas (pasukan pengendali massa) di perkotaan, tidak,” ucapnya.

Kepolisian, kata dia, juga memiliki reserse dan intelijen berkemampuan tinggi. Selain itu, kepolisian memiliki pasukan para militer, seperti brimob. Dalam mendukung proses penegakan hukum, maka bukan dengan ramai-ramai menerjunkan satu kompi atau satu batalion untuk mengejar suatu kelompok. Sebab, penegakan hukum bersifat individual.

Berita Lainnya
×
tekid