sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penutupan pintu masuk daerah tidak bisa disebut lockdown

Namun, kebijakan itu tidak bisa disalahkan karena pemerintah pusat belum berbuat apa-apa.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Rabu, 01 Apr 2020 14:12 WIB
Penutupan pintu masuk daerah tidak bisa disebut <i>lockdown</i>

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai, penutupan akses masuk-keluar oleh sejumlah pemerintah daerah (pemda) belum bisa dikatakan karantina wilayah atau kuncitara (local lockdown). Sebab, pemerintah pusat belum menerapkannya.

"Pemerintah (pusat) itu belum menerapkan apa pun. Jadi, lockdown itu sebenarnya belum ada," ujarnya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, baru-baru ini.

Beberapa kepala daerah memberlakukan karantina wilayah untuk menekan penyebaran coronavirus baru (Covid-19) di teritorialnya. Seperti dilakukan Provinsi se-Sulawesi, Papua, dan Maluku. Juga di Tolitoli, Sulawesi Tengah; Kota Bandung, Kota Bogor, dan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat; Kota Banda Aceh, Aceh; Kota Tegal dan Kota Surakarta, Jawa Tengah; serta Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. 

Sementara, ketentuan kuncitara diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bisa diberlakukan oleh pusat saat keadaan darurat kesehatan masyarakat berlaku.

Hingga kini, pusat baru menetapkan status darurat kesehatan masyarakat. Diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB), opsi yang hendak diambil dalam meminimalisasi penyebaran virus SARS-CoV-2. Ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020.

Menyangkut karantina wilayah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menerbitkan aturan teknisnya. Sebagaimana PP PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Karenanya, Bivitri menyebut, langkah daerah-daerah tersebut belum memiliki landasan hukumnya. Bahkan, dianggap langkah tepat dalam meminimalisasi dampak coronavirus.

Sponsored

"Yang belum tepat, itu tindakan pemerintah pusat karena belum melakukan apa pun," kata dia. Apalagi, pelaksanaannya mestinya dikoordinasikan ke pusat. Agar parameternya terukur.

Koordinasi juga bertujuan memberikan batasan yang jelas tentang kewenangan pemda selama karantina wilayah. Kemudian, memastikan tidak ada kendala dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

"Jangan sampai, misal, Tegal ditutup, tapi tetangganya enggak ditutup. Terus mau lewat Tegal (untuk) distribusi truk beras dan bensin, tapi enggak bisa lewat Tegal. Jadi, tetangganya terpengaruh. Kena imbas," tuturnya.

Meski demikian, Bibip, sapaannya, berpendapat, kebijakan berbagai pemda tersebut tidak bisa disalahkan. "Karena mereka harus hadapi (krisis Covid-19) dan menyelamatkan masyarakat," ucap mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini.

"We have to do something. Saya ingin menekankan itu. Bahwa kita enggak bisa bicara karena pemerintah pusat belum ngapa-ngapain. Kasihan, dong, yang di daerah. Demand-nya sudah ada, kondisinya udah cukup banyak yang meninggal, masa didiemin saja?" tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid