sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penyebab gagalnya PSBB Jakarta bendung Covid-19

Sedikitnya ada 4 faktor yang menyebabkan PSBB tidak efektif menekan penyebaran Covid-19.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 24 Apr 2020 03:44 WIB
Penyebab gagalnya PSBB Jakarta bendung Covid-19

"Kami memutuskan untuk memperpanjang pelaksanaan PSBB (pembatasan sosial berskala besar)," kata Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, saat menyampaikan keterangan pers di Balai Kota, Rabu (22/4) malam.

Keputusan itu nampaknya sudah dapat diprediksi tanpa kalkulasi rumit, mengingat kurva penyebaran coronavirus anyar (Covid-19) di Ibu Kota masih merangkak naik kala PSBB dilaksanakan per 10 April 2020.

Anies mengakui fakta tersebut. Dirinya mengungkapkan, terjadinya transmisi virus SARS-CoV-2 di Jakarta dipengaruhi beberapa faktor. Masyarakat belum taat, banyak terjadi pelanggaran, ratusan perusahaan nonesensial tetap beroperasi–dengan mengantongi izin Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan masih ada kerumunan massa.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu melanjutkan, keputusan memperpanjang PSBB juga dengan mempertimbangkan masukan dari ahli di bidang penyakit menular dan diskusi yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jakarta. Opsi karantina kesehatan fase kedua ini bakal dilanjut 28 hari, 24 April-22 Mei 2020.

Berdasarkan data Polda Metro Jaya, terjadi 26.000-an pelanggaran saat penerapan PSBB Jakarta–dan di “kota satelit”–pada 10-22 April. Namun, jumlah kasus dari hari ke hari. Para pelanggar, baik saat berkendara maupun berkerumun, hanya diberikan surat teguran, kecuali yang terlibat judi sabung ayam di Kota Bekasi.

Sebagai informasi, daerah penyangga menerapkan PSBB setelah Jakarta memberlakukannya dan belum selesai. Detailnya, Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota/Kabupaten Bekasi (Bodebek), Jawa Barat, pada 15 April serta Kota/Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Banten, tanggal 18 April.

Sementara, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta mencatat 864 perusahaan di luar yang kecualikan tetap beroperasi kala PSBB. Pada 15 April ada 511 perusahaan, 16 April bertambah 37 korporasi, 17 April bertambah 63 badan usaha, 20 April bertambah 152 perusahaan, dan 21 April bertambah 71 korporasi. Sedangkan penindakan dilakukan kepada 34 badan usaha per 21 April.

Sponsored

Perkembangan Covid-19

Saat PSBB, menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PP IAKMI), Ede Surya Darmawan, pertumbuhan kasus di Jakarta cenderung statis. Sementara, tingkat nasional naik dua kali lipat. Dicontohkannya dengan data 5 April. Kala itu, ada 2.273 kasus positif se-Indonesia dan sebanyak 1.124 atau setengahnya, terjadi di Jakarta.

Sepekan berselang, saat PSBB, tercatat 2.186 kasus positif di Jakarta atau kurang dari 50% pertambahannya. Namun, naik dua kali lipat jumlah kasus di Indonesia. “Jadi, tetap ada pengurangan, tapi memang tidak signifikan. Namanya juga pembatasan kecil-kecilan,” terangnya.

Secara proporsinya, ada 3.279 kasus positif di Jakarta 7.135 se-Indonesia pada 21 April. Artinya, sekian mengecil. Sudah 40%. Sebelumnya 60%. “Kalau lihat seperti ini, berdasarkan kasus konfirmasi bukan berdasar kasus estimasi, jadi sebenarnya ada efeknya. Jakarta relatif tertahan, tapi masih ribuan,” imbuh dia.

Empat masalah PSBB Jakarta

Ede melanjutkan, gagalnya PSBB “mengerem” kasus Covid-19 disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak ada indikator yang digunakan sebagai acuan.

Hakikatnya, terangnya, PSBB merupakan pembatasan waktu kegiatan tertentu yang diduga ada penularan penyakit. Adapun penyakit menular seumpama api unggun dan “bahan bakarnya” manusia. Ketika berkumpul, akan terjadi “api baru”.

“PSBB itu harusnya bisa mengurangi aktivitas manusia. Jadi, idealnya harus ada indikatornya,” ucap dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini. Sayangnya, IAKMI tidak melihat ada indikator yang ditetapkan pemerintah melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan.

Sejumlah kendaraan melintasi perbatasan menuju Jakarta di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, Jabar, Senin (13/4/2020). Foto Antara/Asprilla Dwi Adha

Padahal, Pemprov Jakarta telah membatasi mobilitas orang di ruang publik sejak bulan kemarin. Bekerja dari rumah (Surat Edaran [SE] Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Nomor 14/SE/2020 tertanggal 16 Maret), belajar dari rumah (SE Dinas Pendidikan Nomor 27/SE/2020 tertanggal 14 Maret), membatasi jam layanan transportasi umum yang kelola dan bermitra dengannya (MRT, LRT, Transjakarta, dan Jak Lingko) per 23 Maret, serta menyetop operasional 17 jenis tempat hiburan (SE Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 160/SE/2020 tertanggal 20 Maret), misalnya.

“Sebelum pelaksanaan PSBB, Jakarta itu sudah melakukan (pembatasan). Cuma pertanyaannya, seharusnya kemarin, pada penerapan PSBB, itu dinaikin lagi, diperketat. Tapi, levelnya (indikator) itu tidak cukup pembatasan sosialnya itu seperti apanya,” beber Ede.

Yang terjadi, justru jutaan orang mudik dini saat PSBB Jakarta diterapkan–dan sebelum pemerintah pusat mengumumkan pelarangannya secara resmi. Merujuk survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang Kemenhub), gelombang tersebut terjadi melalui berbagai moda sepanjang Maret. Volume penumpang keluar Jakarta menggunakan feri dari Pelabuhan Merak, Banten, menembus 1,23 juta orang pada 1-28 Maret.

PSBB tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Opsi ini dipilih negara dan ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020. Ketentuan pelaksanaannya di Jakarta tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020.

Persoalan kedua, waktu pelaksanaan singkat. Semestinya PSBB diterapkan selama satu bulan, bukan masa inkubasi terpanjang (dua pekan). Pada 14 hari pertama, dijadikan momentum menegakkan diagnosis kepada pasien positif tertular dan orang tanpa gejala (OTG).

Petugas menunjukkan hasil tes cepat ODP Covid-19 di Bogor, Jabar, Minggu (22/3/2020). Foto Antara/Yulius Satria Wijaya

“Misal, hari ini dia sembuh, (kemudian) dites ulang semua, konfirmasi semua yang terkena. Nah, tapi di antara mereka itu, kan, ada juga yang masih kemungkinan tertular. Makanya, dikasih waktu 14 hari kemudian. Tapi syaratnya, semua orang sudah jaga jarak (physical distancing),” paparnya. Apabila pedoman jaga jarak tidak diberlakukan, penambahasan masa PSBB takkan berarti.

Persoalan berikutnya, PSBB bersifat pembatasan dan tidak tegas atau mencakup pelarangan. Akibatnya, upaya penertiban tanpa disertai sanksi keras.

Keempat, dilakukan parsial. Semestinya mencakup Jakarta dan sekitarnya, mengingat penduduk daerah perbatasan beraktivitas di “Batavia”. “Kalau kita mau serius, seharusnya bukan cuma Jakarta, tapi Greater Jakarta, bahkan dulu kalau mau beneran serius, ya, se-Pulau Jawa di-PSBB,” ujarnya.

Program sosial parsial

Di sisi lain, program sosial kepada masyarakat terdampak belum komprehensif. Ede mencontohkan dengan ketakadaan solusi terhadap penduduk di permukiman padat, padahal Covid-19 mudah menyebar. Semestinya negara hadir dan menyelesaikan persoalan tersebut.

“Misalnya, ada ODP (orang dalam pemantauan) itu dibantu dibuatkan ruang isolasi, faslitas infrastruktur untuk masyarakat di permukiman padat,” ucapnya. Menurut dia, langkah tersebut tak ubahnya posko pengungsi korban banjir dan lebih mudah dikerjakan daripada membangun rumah sakit darurat (RSD) khusus pasien Covid-19, seperti di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

Warga beraktivitas di permukiman bantaran Sungai Ciliwung, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (15/4/2020). Foto Antara/M. Risyal Hidayat

Bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah pun sekadar sembako dan diskon tagihan listrik. Tidak ada dana tunai–selain bagi pendaftar Program Kartu Prakerja terpilih.

“Mereka masih tetap keberatan karena harus bayar tempat tinggal, kontrakan,” jelasnya. Ini mendorong sebagian masyarakat pulang kampung dan berpotensi menjadi agen penular (silent carrier) di daerah, mengingat peluang mencari nafkah di Jakarta kian sukar.

“Jadi, kalau enggak boleh pulang, ya, oke. Tapi, mereka ngapain di sini? Bagaimana dengan tanggungan biaya hidupnya?” kata peraih gelar doktor Kesehatan Masyarakat UI itu.

Community transmission

Padahal, Ede mengingatkan, penyebaran Covid-19 di Jakarta sudah masuk kategori penularan antarmasyarakat (community transmission). Bukan lagi sporadic (tidak jelas penularannya) ataupun cluster (penularan dalam suatu kelompok). “Itu yang ngeri.”

“Jadi, (penyebaran sudah) person to person, ke siapa pun. Jadi, banyak orang di Jakarta itu OTG. Mereka itu bisa dia tahu statusnya sampai menungu hasil tes karena 89% (terinfeksi) Covid-19 itu OTG. Hanya 14% yang gejala ringan sampai parah,” ungkapnya.

Karenanya, IAKMI mendorong keterbukaan data oleh pemerintah tidak sebatas mengungkapkan jumlah kasus baru yang terkonfirmasi, pasien dalam pengawasan (PDP), ODP, sembuh, dan meninggal dunia.

“Kalau mau cepat dan fokus, berikan perhatian, ya, ini juga harus diinformasikan di komunitas mana saja yang potensi penularannya besar. Misal, ternyata banyak di orang kaya, ya, sudah, jadi fokus pada orang kaya yang berpotensi Covid-19,” tutup Ede.

Berita Lainnya
×
tekid