sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Persi khawatir ada migrasi kelas peserta BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran yang mencapai 100% tersebut dikhawatirkan menyebabkan migrasi kelas pemegang kartu BPJS Kesehatan.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 02 Nov 2019 15:30 WIB
Persi khawatir ada migrasi kelas peserta BPJS Kesehatan

Kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai tidak untuk memberikan jaminan kesehatan dengan peningkatan kualitas layanan dan fasilitas yang baik, tetapi hanya menutupi defisit anggaran.

Hingga akhir 2019 defisit anggaran lembaga jaminan kesehatan tersebut diperkirakan mencapai Rp32 triliun. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan terus terjadinya tunggakan pembayaran dan pencatatan yang tidak baik.

Anggota Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Hermawan Saputra mengatakan yang paling berdampak dari buruknya tata kelola jaminan kesehatan ini, adalah pihak rumah sakit.  Bahkan, sejumlah pengelola rumah sakit terpaksa mengalihkan kepemilikan karena memiliki tunggakan besar akibat layanan mereka tidak kunjung dilunasi pemerintah, sehingga terpaksa menjual aset.

"Problem utama kita adalah soal tata kelola. Good governance itu masih slogan. Iuran naik hingga 500% sekalipun, bagi kami bukan di situ persoalannya," katanya di Kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (2/11).

Iuran BPJS Kesehatan bukan dikelola rumah sakit, tetapi lembaga jaminan kesehatan. Sementara yang dibutuhkan oleh rumah sakit, adalah bagaimana memberikan jaminan pelayanan efektif dan efisien, dan hal ini perlu bantuan pemerintah.

Kenaikan iuran yang mencapai 100% tersebut dikhawatirkan menyebabkan migrasi kelas peserta BPJS Kesehatan, terutama di kelas mandiri. Dikarenakan kenaikan iuran tersebut tidak diiringi dengan peningkatan perekonomian masyarakat. 

"Tingkat pertumbuhan ekonomi tidak sampai 5% tetapi kebutuhan naik 5%. Ini baru bicara ability to pay, belum bicara willingness to pay. Kegamangan kami ke depan adalah terjadinya penurunan daya beli yang mengebabkan penurunan kepercayaan ke rumah sakit," ucapnya.

Padahal ruang kelas tiga yang dimiliki rumah sakit saat ini, belum bisa menampung pasien yang jumlahnya sangat banyak, apalagi jika nanti ada migrasi dari kelas satu ke kelas dua atau tiga, tentu bisa lebih membengkak.

Sponsored

Sementara itu Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan, persoalan lainnya dari BPJS Kesehatan adalah pendataan yang tidak komprehensif. Masih banyak temuan BPKP data peserta yang tidak sesuai dengan kelas yang harusnya diterima. 

"Masih banyak anggota penerima bantuan iuran (PBI) yang bukan seharusnya," katanya.

Banyak pula ditemukan anggota masyarakat yang rentan atau mendekati miskin tidak masuk kelompok PBI. Hal ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Solusinya menurut saya pembenahan data dan ini sangat penting. Mana yang pantas dan enggak masuk sesuai kelompoknya," ucap Kurniasih. 

Lebih lagi, kenaikan iuran tersebut terkesan hanya menutupi defisit anggaran, tanpa memikirkan implikasinya kepada masyarakat dan peningkatan kualitas layanan. Dia pun mengatakan harus ada perbaikan tata kelola dari hulu hingga hilir agar pelayanan yang diberikan bermanfaat.

Hal senada juga disampaikan Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar. Da mengatakan kenaikan iuran hanya membebani peserta mandiri yang masuk dalam golongan kurang mampu namun belum masuk kategori miskin.

Lebih lagi, aturan perundang-undangan mewajibkan bagi peserta BPJS Kesehatan untuk ikut satu keluarga dan tidak membolehkan mendaftar perorangan. 

"Bayangkan kalau anggota keluarganya ada lima orang. Ini akan memberatkan mereka," ucapnya.

Belum lagi, dalam peraturannya, peserta yang tidak terdaftar akan dikenakan sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik seperti mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) dan paspor, karena bersifat wajib. Sanksi tersebut diatur dalam Peraturan Presiden 82/2013. 

Padahal sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 28, jaminan sosial itu adalah hak yang diberikan negara kepada masyarakat dan dijamin konvensi Hak Azasi Manusia (HAM), bukan kewajiban. 

"Kalau kewajiban bisa diberikan sanksi, tetapi kalau hak tidak. Misalnya orang sakit tidak menentu, sekarang sakit dan bisa jadi besoknya sehat," ujarnya.

Untuk itu pemerintah harus memikirkan setiap perangkat regulasi yang akan ditetapkan. Dia pun mengimbau agar pemerintah mengkaji kembali kenaikan iuran tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid