sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Runyam sengketa lahan di Desa Sukaresmi dan Cikancana

Lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Mutiara Bumi Parahyangan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat jadi persoalan yang rumit.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Sabtu, 19 Mar 2022 16:26 WIB
Runyam sengketa lahan di Desa Sukaresmi dan Cikancana

Pada 2015, Jajang—bukan nama sebenarnya—terkejut ketika mengetahui fotokopi sertifikat tanah miliknya di atas bekas lahan hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan teh PT Mutiara Bumi Parahyangan (PT MBP). Lelaki yang berprofesi sebagai petani itu ingat betul, dirinya tak pernah mengajukan dan menerima akta kepemilikan tanah seluas 9.820 meter persegi tersebut.

“Tanahnya juga enggak tahu yang mana, tiba-tiba dikasih tahu ada fotokopi sertifikat tanah,” kata Jajang saat berbincang dengan Alinea.id di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/3).

Meski begitu, ia ingat pernah memberikan KTP kepada seseorang pada 2003. Namun, seingat dia, KTP itu diserahkan sebagai izin menggarap lahan bekas HGU PT MBP.

“Enggak nyangkut sertifikat,” ujarnya.

Masalah batas desa

Menurut Jajang, praktik semacam itu lumrah terjadi di desanya, Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Ia menduga, ada oknum yang bermain untuk membuat sertifikat tanah, menggunakan nama warga setempat. Imbasnya, ketika tanah dan sertifikat telah beralih ke orang lain, penggarap harus angkat kaki.

Usep—juga nama samaran—mengalami hal serupa. Lahan seluas 1,2 hektare di atas tanah eks HGU yang belum digarap, harus beralih ke nama orang lain. Padahal, ia sudah mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah, dengan menyerahkan KTP dan KK pada seseorang yang berasal dari Bogor pada 2003.

“Sertifikat jadi tahun 2013 atau 2015, tiba-tiba namanya sudah berubah jadi investor semua,” ucapnya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/3).

Sponsored

Tak terima, Usep nekat menanam pohon pisang dan palawija di atas lahan itu pada 2018. Akan tetapi, setelah itu, ia dilarang menginjakkan kaki di tanah itu oleh pekerja proyek.

Lahan eks hak guna usaha (HGU) yang dipersoalkan antara Desa Cikancana dengan Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/3.2022). Alinea.id/Achmad Al Fiqri

“Tanah itu langsung dibikin rumah atau vila,” tuturnya.

Lebih runyam lagi, klaim batas wilayah antara Desa Sukaresmi dan Cikancana juga terjadi di lahan bekas garapan PT MBP. Sebagai catatan, Desa Sukaresmi merupakan dusun hasil pemekaran Desa Cikancana pada 1978. Masalah batas desa itu baru muncul saat Bupati Cianjur mengeluarkan Program Penegasan Batas Desa pada 2020.

Sebagai desa induk, pihak Desa Cikancana merasa berat hati karena luas wilayahnya tak sampai 800 hektare. Sedangkan Desa Sukaresmi luasnya mencapai 1.617 hektare.

Kuasa hukum Desa Cikancana, Uus Suryana mengatakan, seharusnya luas desa induk lebih besar dari desa pemekaran.

“Setelah ditelusuri, ternyata ada perselisihan luas yang berada di tanah bekas HGU PT Mutiara Bumi Parahyangan, yang luasnya sekitar 403,982 hektare,” ujar Uus saat dihubungi, Rabu (16/3).

Di dalam surat nomor MBP.PT/Um.1.2/III/2021 yang diterbitkan PT MBP disebut, luas lahan HGU berdasar surat ukur nomor 123/1969 mencapai 57.922 hektare. Dan berdasar surat ukur nomor 124/1969 seluas 403,982 hektare, yang terletak di Desa Cikancana.

“Wilayah perkebunan yang masih masuk ke desa induk Cikancana meliputi Blok Cipadali, Blok Pasir Oray, Blok Cihideung, Blok Pasir Halang, dan Blok Nanggerang, yang masuk wilayah hukum Sertifikat HGU No.1/Cikancana dan Sertifikat HGU No.2/Cikancana tahun 1969,” tulis PT MBP dalam surat tertanggal 18 Maret 2021.

Uus menjelaskan, bukti surat pemanfaatan lahan HGU itu diperkuat Mahkamah Agung (MA) atas adanya perkara perselisihan hak pemakaian HGU antara PT MBP dan PT Arditarina Grahalestari.

“Ternyata dimenangkan oleh PT Mutiara Bumi Parahyangan dan sudah inkrah,” kata Uus.

“Setelah ditanyakan sebenarnya lahan itu berada di mana, ternyata di Desa Cikancana.”

Dengan begitu, ada dua hal yang menguatkan klaim lahan Desa Cikancana. Pertama, sertifikat pemanfaatan lahan HGU milik PT MBP, yang memiliki kekuatan hukum di MA. Kedua, adanya surat pernyataan pihak PT MBP, yang menyatakan sebagian lahan pemanfaatan HGU masuk wilayah Desa Cikancana.

“Dasarnya sudah jelas,” ucap Uus.

Belum ada titik temu

Sementara itu, Kepala Desa Sukaresmi, Nanang Suganda menjelaskan dasar mempertahankan lahan bekas HGU PT MBP. Pertama, luas wilayah Desa Sukaresmi tetap 1.617 hektare, mengacu pada peta yang dibuat pemerintah daerah saat pemekaran pada 1978.

Kedua, seluruh aset diklaim telah memiliki legalitas hukum atas nama Desa Sukaresmi. Ketiga, Desa Sukaresmi telah menanggung beban utang pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak 2004.

“Keempat, aspek tata guna tanah yang dikeluarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) menyebutkan lokasi tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Sukaresmi,” ucap Nanang saat dihubungi, Rabu (16/3).

Meski begitu, Nanang menyerahkan kembali hasil akhir terkait penetapan batas desa kepada Pemkab Cianjur.

“Apa pun keputusannya akan kami terima, karena semua bahan kajian sudah dikirimkan dan sudah dibahas bersama dengan para pihak,” ujar Nanang.

Di sisi lain, Kepala Desa Cikancana, Nanang mengatakan, pada 2020 sudah dilakukan proses mediasi sebanyak dua kali, didampingi Kecamatan Sukaresmi. Namun tak menemui titik terang.

Wilayah Desa Cikancana, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto desacikancana.opendesa.id

“Atas dasar itu, kami memohon juga ke DPMD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa) Kabupaten Cianjur untuk penegasan batas desa ini,” ucap Nanang saat berbincang, Senin (7/3).

Karena tak kunjung ada kesepakatan, Nanang lantas melakukan audiensi dengan DPRD Kabupaten Cianjur pada awal 2022, yang dihadiri pula oleh pihak BPN Kabupaten Cianjur dan Desa Sukaresmi.

Dalam pertemuan itu, pihak Desa Sukaresmi enggan memberikan lahan ratusan hektare tersebut. Sedangkan pihak BPN Kabupaten Cianjur akan mengkaji terlebih dahulu duduk perkara batas desa itu.

Nanang menyatakan akan terus berupaya memperjuangkan hak lahan wilayahnya. Upaya ini, kata Nanang, bertujuan demi kesejahteraan warga.

Apalagi, kas desa berupa aset lahan di desanya sudah mengalami krisis. Nanang mengaku bingung untuk merelokasi warga dari lokasi rawan bencana longsor. Bencana longsor terakhir di desanya terjadi pada Senin (7/3), yang menimbulkan dua korban jiwa.

Ia menyebut, sisa aset tanah milik Desa Cikancana hanya ada di Kampung Bakom, seluas 10 hektare. Hanya saja, lahan itu tak ideal untuk hunian karena termasuk pula lokasi rawan longsor. Seluruh lahan milik desa, telah dibangun untuk keperluan warga, seperti rumah dan perkebunan sayur.

“Warga Desa Cikancana semakin ke sini semakin meningkat, tetapi tanah kan enggak nambah,” ujar Nanang.

Celakanya, ratusan hektare lahan yang dipersoalkan kedua desa, justru dibikin sertifikat kepemilikan perorangan. Menurut Sekretaris Desa Cikancana, Sahrul Gunawan, permohonan hak milik itu diajukan lewat Desa Sukaresmi, tanpa sepengetahuan pimpinan desanya.

Setidaknya ada 720 hak milik yang diajukan dari ratusan hektare yang dipersoalkan. Ironisnya, sebanyak 253 warga Desa Sukaresmi yang menggarap lahan tersebut, tak pernah menerima sertifikat tanah hingga kini.

“Masyarakat yang tercatut nama sertifikat di situ, tidak pernah memohon, memiliki, melihat, dan tanda tangan,” ujar Sahrul, Senin (7/3).

“Tapi di BPN Cianjur, sertifikat itu keluar atas nama (warga) tersebut.”

Alinea.id sudah berupaya meminta tanggapan pihak DPMD Kabupaten Cianjur terkait masalah ini. Namun tak ada respons hingga laporan ini dipublikasikan.

Berita Lainnya
×
tekid