sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sinyal bahaya wabah PMK hewan ternak di tengah lambannya riset BRIN

Di tengah merebaknya penularan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak, penelitian dipandang penting menangani wabah.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 18 Mei 2022 15:17 WIB
Sinyal bahaya wabah PMK hewan ternak di tengah lambannya riset BRIN

Sejak mulai merebaknya kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menginfeksi sapi pada awal Mei 2022 di Sidoarjo, Jawa Timur, Ketua Subkoordinator Kesehatan Hewan Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo, Rina Vitiasari mengatakan, pihaknya fokus mengobati hewan ternak yang ada di wilayahnya. Tujuannya, mengurangi kasus penularan PMK.

Pada 1 Mei 2022, kasus PMK di Sidoarjo menjangkiti sapi potong sebanyak 595 ekor, serta sapi perah dan kerbau pada 11 kecamatan. Wilayah Sidoarjo sendiri termasuk ke dalam daerah terdampak wabah PMK atau juga dikenal dengan foot and mouth disease (FMD) yang disebut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam keterangan pers pada Rabu (11/5), selain Aceh Tamiang, Aceh Timur, Gresik, Lamongan, dan Mojokerto.

Penyakit yang disebabkan virus tipe A dari keluarga Picornaviridae, genus Apthovirus ini muncul pertama kali di Gresik, Jawa Timur pada 28 April 2022, setelah Indonesia dinyatakan bebas PMK sejak tiga dekade silam. Tak hanya menyerang sapi, penyakit ini juga menular ke hewan berkuku belah lain, seperti kerbau, domba, kambing, rusa, dan unta.

Per Selasa (10/5), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, setidaknya ada 6.498 hewan ternak di 10 provinsi dan kabupaten yang terjangkit PMK. Sepuluh provinsi itu, antara lain Jawa Timur, Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Banten, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Rina berupaya mengerahkan seluruh tenaga medis dan penyuluh hewan guna mengawasi dan mencari hewan ternak bergejala PMK untuk diobati.

“Kita koordinasi dengan aparat kepolisian untuk mengatur lalu lintasnya (keluar-masuk hewan ternak),” ujar Rina saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (16/5).

“Untuk saat ini, kita konsentrasi ke pengendalian, agar penyakit ini tidak mewabah ke mana-mana.”

Ilustrasi seseorang menarik seekor sapi dari truk. Foto Unsplash.com

Sponsored

Sudah gerak cepat?

Menurut mantan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Sofyan Sudrajat, penanganan wabah penyakit hewan saat ini amat berbeda jika dibandingkan ketika dirinya menjadi Ketua Tim Nasional Pemberantasan PMK pada 1983. Kala itu, ia berupaya mengisolasi hewan yang terinfeksi.

Bahkan, ia sempat mengeluarkan kebijakan memusnahkan hewan yang sudah kadung tertular. Sofyan pun mencari pasokan vaksin ke Australia. Pemerintah sempat pula menolak bahan pangan impor dari negara yang terkonfirmasi kasus PMK.

“Waktu saya jadi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan pada 2001, itu ada pandemi PMK,” ujar dia, Senin (16/5).

“Tapi Indonesia menjadi salah satu dari lima negara yang tidak terdampak.”

Sofyan menyayangkan belum ada peran periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam menanggulangi wabah. Menurut dia, peneliti harus gerak cepat.

“Tinggal nunggu nasib saja. PMK tidak akan bisa musnah (bila penanganannya tidak cepat),” ujar Sofyan.

Rina mengakui, belum ada peneliti dari Pusat Riset Veteriner BRIN yang turun ke lapangan untuk meneliti hewan yang terinfeksi PMK. Menurut Rina, kegiatan riset dalam penanganan PMK, seperti uji spesimen dan melakukan karakterisasi virus saat ini dilakukan Pusat Veteriner Farma milik Kementan.

“Untuk keterlibatan BRIN, mungkin nanti ya. Tapi tidak tahu apa aksi yang dilakukan BRIN berkaitan dengan wabah ini, mereka melakukan riset apanya?” tutur Rina.

Dihubungi terpisah, Kepala Organisasi Riset (OR) Kesehatan BRIN—yang menanungi Pusat Riset Veteriner—Ni Luh Putu Indi Dharmayanti mengklaim, lembaganya telah berusaha memberi dukungan riset kepada Kementan untuk menanggulangi wabah penyakit hewan.

Dukungan tersebut, antara lain pelaksanaan deteksi PMK di Indonesia, melakukan kajian epidemiologi PMK, melakukan isolasi, karakterisasi virus, dan menganalisa molekuler dengan genome sequencing.

BRIN, ujar Indi, juga melakukan identifikasi kecocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. BRIN pun akan mengembangkan vaksin PMK dan alat diagnosa cepat virus.

“Kita juga sudah bersurat kepada Direktur Kesehatan Hewan Kementan melalui Kepala Pusat Riset Veteriner (BRIN),” ujarnya, Senin (16/5).

Selain dengan Kementan, kata Indi, BRIN pun berupaya berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan badan karantina hewan yang banyak ditemukan kasus PMK untuk mengambil sampel dan melakukan riset.

“Ini berjalan paralel ya, jadi semua kita lakukan dengan cepat, quick respons dari (Pusat Riset) Veteriner BRIN,” kata dia.

“Sekarang teman-teman periset di Pusat Riset Veteriner tengah melakukan riset tersebut.”

Indi menuturkan, respons cepat itu mampu dilakukan lantaran sumber daya yang dimiliki BRIN mumpuni. Di dalam Pusat Riset Veteriner BRIN, sebut Indi, ada lebih dari 25 orang doktor.

“Terus kita mempunyai dukungan alat yang cukup lengkap, seperti whole genome sequencing dan alat-alat yang mungkin masih jarang di Indonesia,” ujar Indi.

Walau begitu, Indi mengakui pihaknya masih menemukan hambatan dalam pelaksanaan. Salah satunya terkait komunikasi.

“Tapi kita bisa atasi itu kok. Kita di BRIN akan berkoodinasi dan berkolaborasi dengan Kementan yang membidangi masalah kesehatan hewan,” tutur Indi.

Ilustrasi sapi ternak. Foto Unsplash.com

Bakal sulit terkendali

Menanggapi masalah penelitian penyakit hewan, Sofyan menyarankan agar para peneliti dapat lebih peka terhadap kondisi kesehatan hewan ternak dalam negeri. Ia menuturkan, Pusat Riset Veteriner BRIN perlu membuat upaya mitigasi dalam menangani wabah.

Jika tak ada upaya serius, menurut hemat Sofyan, sebaiknya BRIN perlu mengembalikan fungsi dan wewenang riset veteriner ke Kementan.

“Karena penyakit ini kalau tidak tertangani secara cepat, sudah menyebar kemana-mana, kita akan alami kerugian besar,” ujarnya.

“Jangan mimpi Indonesia bisa swasembada pangan kalau penyakit itu tidak (bisa) diberantas.”

Mantan Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Kementan, Sjamsul Bahri juga waswas penyakit yang menular lewat napas, feses, mukus, air liur, dan susu ini bakal sulit terkendali. Terlebih setelah Balai Besar Penelitian Veteriner Kementan diintegrasikan ke dalam BRIN, ia merasa aktivitas riset menanggulangi penyakit hewan tak dapat maksimal.

Usai diakuisisi BRIN, Balai Besar Penelitian Veteriner turun kasta menjadi unit kerja dan berubah nomenklatur menjadi Pusat Riset Veteriner, bernaung dalam OR Kesehatan BRIN.

Di samping Pusat Riset Veteriner, OR Kesehatan BRIN juga menaungi Pusat Riset Biomedis, Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional, Pusat Riset vaksin dan Obat, serta Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman.

“Saya ngobrol dengan peneliti senior (dari Pusat Riset Veteriner) itu. Mereka mengatakan, bingung kalau penyakitnya hanya (menginfeksi) hewan, tidak prioritas bagi BRIN di OR Kesehatan,” ucap Sjamsul, Selasa (17/5).

“Kalau penyakit hewan yang menyangkut manusia (zoonosis), itu baru menjadi prioritas.”

Infografik penyakit mulut dan kuku. Alinea.id/Firgie Saputra

Menurut Sjamsul, cakupan kerja riset veteriner itu harus menyasar pula pada penyakit hewan, tak cuma fokus meneliti jenis penyakit hewan yang dapat menular ke manusia. Pria yang pernah menjabat Direktur Kesehatan Hewan Kementan itu khawatir, keterlibatan riset BRIN tak lincah mengingat panjangnya alur birokrasi di lembaga yang dipimpin Laksana Tri Handoko tersebut.

Sjamsul mengisahkan, saat dirinya memimpin Balai Besar Penelitian Veteriner Kementan, selalu merespons cepat kala menemukan informasi pertumbuhan kasus penyakit hewan di daerah.

“Misalnya terjadi (wabah) antraks, kita langsung membuat tim dan berkomunikasi dengan wilayah, seperti dinas,” kata dia.

“Setelah itu, kita langsung kirim orang ke sana untuk mengonfirmasi, tanya gejalanya apa, mengambil spesimen, dan kembali ke laboratorium untuk melaporkan temuan.”

Hal itu, kata Sjamsul, dilakukan secepat mungkin. Ketika diketahui hasilnya positif antraks, pihaknya menginformasikan temuan ke pihak terkait untuk penanganan selanjutnya.

“Jadi setiap ada wabah di Indonesia, pasti kita akan melakukan seperti itu. Yang penting penanganan penyakit itu cepat dan diketahui,” ujarnya.

Sjamsul menilai, birokrasi di Pusat Riset Veteriner BRIN perlu dipangkas. Tujuannya, supaya periset gesit dalam merespons kejadian luar biasa di daerah.

“Kalau Balai Besar Veteliner itu gerak cepat bila ada kasus, di situ ada dana khusus, supaya peneliti bisa langsung turun ke lapangan,” katanya. “Tapi itu waktu masih di bawah Kementan.”

Berita Lainnya
×
tekid