sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Soal Perppu Cipta Kerja, YLBHI mentahkan dalih perang Rusia-Ukraina

Bagi YLBHI, penerbitan Perppu Cipta Kerja justru bentuk pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap konstitusi.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 30 Des 2022 20:45 WIB
Soal Perppu Cipta Kerja, YLBHI mentahkan dalih perang Rusia-Ukraina

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengklaim, ada alasan kuat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Salah satunya dampak invasi Rusia ke Ukraina.

"Ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak, yaitu misalnya dampak perang Ukraina, yang secara global maupun nasional, memengaruhi negara-negara lain, termasuk Indonesia, mengalami ancaman inflasi, ancaman stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, serta krisis pangan," tuturnya di Istana Presiden, Jakarta, pada Jumat (30/12).

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, yang dibacakan 25 November 2021. Pemerintah pun diminta memperbaikinya paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan atau akan menjadi inkonstitusional permanen.

Mahfud menyampaikan, pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dalam menghadapi situasi tersebut. Penerbitan perppu adalah kebijakan yang diambil dengan dalih bakal tertinggal dalam mengantisipasi dan menyelematkan situasi jika melakukan upaya normal dalam merevisi UU Cipta Kerja.

"Kalau masih menunggu sampai berakhirnya tenggat yang ditentukan oleh Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020, maka pemerintah akan ketinggalan untuk mengantisipasi dan menyelamatkan situasi. Oleh sebab itu, langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan, maka perppu ini harus dikeluarkan lebih dulu," urainya.

Sementara itu, menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah pembangkangan, pengkhianatan, atau kudeta terhadap konstitusi. Pun menunjukkan gejala otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

"Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK," tuturnya. "Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan perppu."

YLBHI berpendapat demikian lantaran penyusunan perppu tak perlu pelibatan DPR bahkan mendengarkan aspirasi dan partisipasi publik. "Ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis." 

Sponsored

Pemerintah juga terlihat mengutamakan kehendak investor dan pemodal dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Ini tecermin dari dalih penyusunannya guna memenuhi kepastian hukum bagi pengusaha, bukan kepentingan rakyat.

Bagi YLBHI, pembentukan perppu tersebut juga tak memenuhi syarat penerbitannya, yakni kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa seperti perancangan UU biasa.

"Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan perppu ini. Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi, di mana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional," paparnya. 

Jokowi, sambung YLBHI, semestinya menerbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah beleid sapu jagat (omnibus law) tersebut disahkan. Pangkalnya, mendapat penolakan masif dari seluruh elemen masyarakat.

"Tetapi, saat itu, Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan perppu," cibirnya.

"Penerbitan perppu ini semakin melengkapi ugal-ugalan pemerintah dalam membuat kebijakan, seperti UU Minerba, UU IKN, UU omnibus law Cipta Kerja, revisi UU KPK yang melemahkan, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain," tambahnya. 

Di sisi lain, YLBHI turut menyoroti langkah pemerintah yang terus membentuk peraturan turunan UU Cipta Kerja. Padahal, MK telah melarangnya.

Oleh sebab itu, YLBHI mendesak Jokowi dkk melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai syarat-syarat yang diperintahkan. Lalu, menarik Perppu Cipta Kerja, menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap konstitusi, serta mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan HAM.

Berita Lainnya
×
tekid