sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terjebak sesak polusi udara Jakarta

Udara di Jakarta memperlihatkan konsentrasi rerata tahunan materi partikulat 2,5 mencapai 118,8 µg/m3. Gubernur Anies akan kendalikan emisi

Akbar Persada Nanda Aria Putra
Akbar Persada | Nanda Aria Putra Rabu, 10 Apr 2019 15:45 WIB
Terjebak sesak polusi udara Jakarta

Ketinggalan zaman

Dihubungi terpisah, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, untuk melihat polusi udara yang ada di Jakarta, harus menggunakan data yang berkelanjutan. Termasuk juga untuk mengukur dampak dan strategi penanggulangannya.

Saat itu, kata Bondan, Jakarta tak punya alat yang memadai untuk melakukan pengecekan kualitas udara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebut Bondan, hanya punya lima alat pantau yang mampu mendeteksi pm 2,5.

“Dan itu pun tidak bisa diakses publik karena katanya alatnya mati,” ujar Bondan saat dihubungi, Selasa (9/4).

Lagi pula, menurutnya, standar kualitas udara yang dipakai pemerintah, masih menggunakan standar ukur tahun 1997, dengan indikator yang disebut indeks standar pencemaran udara (ISPU). Menurut Bondan, ISPU sudah ketinggalan zaman dan tak bisa mendeteksi polutan dengan kandungan pm 2,5.

“Padahal kandungannya sangat berbahaya bagi kesehatan. Standar itu harus direvisi,” katanya.

Ia menuturkan, seharusnya pemerintah melakukan pembaruan setiap lima tahun sekali untuk standar ukur kondisi udara. Memiliki standar ukur yang jelas dan bisa diakses publik, menurutnya, akan membantu para pengambil kebijakan dan warga untuk bertindak.

“Jangan data yang dipakai terus berubah setiap tahun. Kemarin waktu 2016, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bilang penyumbang terbesar polusi dari transportasi sekitar 70%. Ketika mau Asian Games 2018 dibilang lagi 50% transportasi, sisanya industri. Nah, kemarin pas kita undang 30% transportasi, 20% rumah tangga, sisanya industri 30%,” katanya.

Sponsored

Pernyataan yang dilontarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Bondan, menunjukkan ketidakkonsistenan data yang dimiliki pemerintah. Hal ini sekaligus menunjukkan kementerian terkait tidak punya alat ukur yang pasti untuk kualitas udara di Indonesia, terutama Jakarta.

“Itu kenapa kami melayangkan gugatan pada pemerintah daerah dan presiden, karena penanggulangan polusi udara itu tidak pernah berdasarkan berbasis data. Dan kita tidak punya standar ukur pasti yang dapat diakses publik,” katanya.

Sebab dan penanggulangan

Emisi dari kendaraan menjadi salah satu penyumbang terbanyak polusi di Jakarta. /Antara Foto.

Sementara itu, menurut manajer kampanye perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung, tingginya polusi udara di Jakarta disebabkan beberapa sumber emisi, yakni rendahnya standar emisi kendaraan, bahan bakar, dan tak ada pembatasan kendaraan.

Di bidang industri, katanya, ada beberapa pabrik yang mengeluarkan polusi udara di Jakarta dan juga pembangkit listrik yang menyebabkan emisi berlebih. Segala macam masalah ini, menurut Dwi, bisa ditanggulangi dengan membatasi jumlah kendaraan, serta memperketat standar emisi, baik untuk kendaraan, pabrik, maupun pembangkit listrik.

Di samping itu, Dwi mengatakan, polusi udara yang disebabkan dari aktivitas industri, bisa dikontrol dengan memasang unit pengontrol polusi udara.

“Mengontrol dengan pembatasan kendaraan internal combustion ini sudah umum di kota-kota di dunia yang polusinya tinggi,” ujarnya.

Jakarta termasuk ke dalam kota utama di dunia yang berpolusi udara paling buruk.

Sedangkan menurut Bondan Andriyanu, selain memasang alat kontrol polusi udara di cerobong pabrik, pemerintah harus mengawasi secara ketat. Sebab, kata dia, adanya teknologi percuma bila eksekusi pemerintah loyo.

“Kalau ada yang tingkatan (emisinya) membahayakan langsung tutup,” tuturnya.

Selain itu, Bondan mengatakan, harus ada kerja sama antarpihak. Sebab, menurut Bondan, polusi udara di Jakarta juga bisa terjadi karena asap pabrik dan kendaraan yang datang dari kota-kota sekitar Jakarta, seperti Bekasi dan Tangerang.

“Harus ada kesadaran bersama,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid