sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perdagangan orang saat pandemi: Sindikat kian kreatif, korban kian "pasrah" 

Dipicu memburuknya perekonomian, kasus perdagangan orang kian marak di tengah pandemi Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 14 Nov 2021 13:46 WIB
Perdagangan orang saat pandemi: Sindikat kian kreatif, korban kian

Kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kian marak saat pandemi Covid-19. Desakan ekonomi karena pendapatan menurun dan kehilangan pekerjaan membuat sebagian orang dengan mudah diperdaya sindikat perdagangan orang. Warga miskin di pedesaan jadi salah satu sasaran utama. 

Menurut Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen, rekrutmen buruh migran jadi salah satu modus yang paling lazim ditawarkan sindikat TPPO. Itu setidaknya terlihat dari sejumlah kasus TPPO yang saat ini tengah diadvokasi Kabar Bumi di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

"Calo-calo ini ada yang mendatangi desa-desa. Kasus di NTT, calo-calo ini membawa mereka ke Kupang lalu ditampung beberapa malam sambil nunggu paspor. Nanti dia diterbangin ke Surabaya, terus diterbangin lagi ke Medan. Lalu, mereka dipindahkan lagi ke Batam untuk kemudian masuk Malaysia walaupun masih lockdown," ujar Karsiwen kepada Alinea.id, Minggu (7/11).

Sejak awal 2021, sudah ada tujuh korban TPPO yang didampingi Kabar Bumi. Empat korban yang didampingi berasal dari NTT. Sisanya dari Jawa Barat dan sejumlah daerah lainnya yang terkenal sebagai daerah penyalur buruh migran. 

"Mereka sudah diterbangkan ke Malaysia, namun tertangkap di sana dan akhirnya kami dampingi. Korban ada yang dari NTT dan Jawa Barat. Dari empat korban yang kami dampingi dari NTT itu, mereka ditawarkan bekerja di Malaysia dengan gaji yang tinggi," jelas Karsiwen. 

Modus rekrutmen para buruh migran ilegal kian canggih. Selain mengunjungi daerah yang menjadi kantong-kantong buruh migran, sindikat TPPO juga menggelar rekrutmen via media sosial. Yang jadi korban biasanya adalah remaja usia sekolah. 

Kepada Kabar Bumi, menurut Karsiwen, sejumlah korban mengaku diiming-imingi pekerjaan bergaji tinggi di Malaysia tanpa harus putus sekolah. "Karena sekolah sekarang kan sedang online dan bisa dilakukan di mana saja. Itu iming-imingnya," ucap Karsiwen.

Karsiwen mencontohkan salah satu kasus yang menimpa seorang pelajar yang terbuai bujuk rayu sindikat TPPO di media sosial. Kasus itu terungkap setelah sang pelajar menghubungi keluarganya ketika berada di tempat penampungan di Batam, Riau. 

Sponsored

"Keluarganya itu tahu kalau ini sudah ada indikasi TPPO. Soalnya, dia (korban) masih anak- anak dan masih sekolah. Mereka juga tahu Malaysia itu lockdown. Dia masih sekolah kok bisa-bisanya mau ke sana," ucap Karsiwen.

Karsiwen menuturkan ada sejumlah faktor yang bikin praktik perdagangan orang kian marak saat pendemi. Pertama, kebutuhan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Situasi itu menyebabkan tingkat pengangguran naik signifikan. 

Faktor kedua, lanjut Karsiwen, minimnya kantor pemerintah yang menyediakan layanan pengurusan dokumen resmi untuk calon buruh migran di daerah. "Di NTT saja, kantor kepengurusan menjadi buruh migran hanya satu di Kupang. Orang-orang di desa yang jauh akhirnya lebih memilih menggunakan jasa calo," jelas dia. 

Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah Kapal Pesiar MV Carnival Splendor melambaikan tangan saat tiba di Pelabuhan JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Foto Antara/Nova Wahyudi

Modusnya kian beragam

Sebagaimana diungkap Karsiwen, sejumlah data statistik menunjukkan maraknya kasus TPPO selama pandemi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), misalnya, mencatat kasus TPPO di Indonesia meningkat dari 213 kasus pada 2019 menjadi 400 kasus pada 2020. 

Pada 2020, International Organization for Migration (IOM) Indonesia mencatat ada 154 kasus TPPO yang dilaporkan ke IOM. Mayoritas korban merupakan anak-anak dan remaja yang dieksploitasi secara seksual. Selain yang dikirim ke luar negeri, para korban juga diperjual-belikan di dalam negeri. 

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian PPPA Rafail Walangitan mengatakan jumlah kasus TPPO meningkat hingga 62,5% pada saat pandemi Covid-19. Kebanyakan korban TPPO ialah perempuan dan anak-anak. 

"Hal ini banyak diakibatkan dengan modus-modus operandi baru yang dilakukan pelaku, seperti perekrutan melalui media sosial, kawin kontrak, rekrutmen terhadap calon pekerja migran Indonesia perempuan yang tidak sesuai prosedur dengan pemalsuan dokumen sehingga korban dapat bekerja ke luar negeri dengan mudah,"ucap Rafail kepada Alinea.id, Senin (8/11). 

Selain sindikat yang kian "kreatif" mengelabui korban, Rafail sepakat memburuknya perekonomian warga menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kasus TPPO marak. Sebagian korban menerima "pinangan" dari sindikat TPPO lantaran kehabisan akal mencari duit saat pandemi. "Faktor lain bisa karena teriming-iming mendapatkan pekerjaan yang instan," ucap Rafail.

Rafail menyebut Kementerian PPPA sudah menggelar beragam upaya untuk meminimalisasi praktik TPPO. Berbasis pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Perpres Nomor 22 tahun 2021 mengenai Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, Kementerian PPPA tengah menyusun rencana aksi nasional pencegahan dan penanganan TPPO.

"Di antaranya dengan menyusun kebijakan mengenai panduan penanganan korban dan saksi TPPO. Lalu, sinergitas dengan pemerintah daerah dalam rangka penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan (GT PP) TPPO di 32 Provinsi. Tahun ini, Papua dan Papua Barat sedang dalam proses pembentukan GT PP TPPO," ucap Rafail.

Program lainnya yang diharapkan mampu meminimalisasi praktik TPPO, kata Rafail, ialah membentuk desa-desa ramah perempuan dan anak. "Harapannya adalah agar dari lini terdekat masyarakat desa dapat menjadi tempat yang aman dan terhindar dari segala kegiatan yang mengarah pada tindak kekerasan dan kasus TPPO," ucap Rafail.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan pemerintah turut bersalah dalam fenomena maraknya kasus TPPO saat pandemi Covid-19. Menurut dia, jumlah kasus TPPO justru naik drastis setelah pemerintah mengumumkan dibukanya kembali rekrutmen dan penempatan pekerja migran ke luar negeri pada Agustus 2020. 

"Padahal, negara-negara utama pekerja migran kita, seperti Malaysia, Singapura, Saudi Arabia itu belum buka (penerimaan pekerja migran). Dari situlah sebenarnya praktek perdagangan manusia dimulai. Akhirnya, karena informasi yang simpang siur, banyak (sindikat TPPO) yang memberi janji palsu," ucap Wahyu kepada Alinea.id, Selasa (9/10).

Menurut catatan Migran Care, kemunculan kasus-kasus TPPO merata di wilayah-wilayah yang terkenal sebagai basis pekerja migran. Di Jawa Barat, misalnya, kasus TPPO marak di Indramayu dan Cirebon. "Kemudian Jawa Timur ada beberapa. Tapi, memang NTB dan NTT yang angka prevalensi yang tinggi," imbuh dia.

Senada dengan Karsiwen, Wahyu mengatakan sindikat perdagangan manusia kini cenderung menyasar pemuda desa yang perekonomian keluarganya rentan atau putus sekolah. "Karena kalau putus sekolah pilihannya dua aja, yaitu kawin muda atau kerja keluar negeri. Dua-duanya merupakan corak dari perbudakan modern atau perdagangan manusia," ujar Wahyu.

Lebih jauh, Wahyu mengatakan maraknya kasus perdagangan manusia saat pandemi juga disebabkan kelalaian aparat penegak hukum. Dalam berbagai kasus, ia melihat penegak hukum tak mampu mengendus bau praktik-praktik TPPO. 

"Semisal kalau ada praktik pemalsuan dokumen, kadang-kadang malah hanya di tuntut dengan tipiring (tindak pidana ringan) atau bahkan (pelanggaran) administrasi. Padahal, itu indikasi perdagangan manusia. Jadi, aparat penegak hukum kita itu sering kacamata kuda," ucap Wahyu.

Sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi dari Malaysia memperlihatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor di ruang ketibaan Pelabuhan Pelindo I Dumai, Dumai, Riau, Selasa (12/6). Sebanyak 16 orang TKI dideportasi oleh Pemerintah Malaysia menjelang Hari Raya Idulfitri ke tanah air lewat pelabuhan Dumai. / Antara Foto

Bersuara 

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Rainy Hutabarat mengusulkan sejumlah strategi untuk mencegah TPPO yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, penguatan pengawasan oleh aparat penegak hukum terhadap aktivitas sindikat TPPO di daerah-daerah yang terkenal sebagai kantong-kantong buruh migran di Indonesia. 
 
Kedua, menyediakan media informasi yang mudah diakses di setiap desa mengenai seluk-beluk praktik perdagangan orang. Berbarengan dengan itu, pemerintah juga perlu menyediakan layanan konsultasi dengan pihak-pihak yang kompenten untuk menjelaskan soal tawaran kerja di negara tujuan kepada calon buruh migran. 

"Serta berbagai jenis penipuan atas nama tawaran kerja di mancanegara serta prosedur legal untuk menjadi buruh migran. Yang tidak kalah pentingnya juga ialah menyediakan balai pelatihan di desa-desa tersebut untuk membekali calon-calon pekerja migran dengan informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan," kata Rainy kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (11/11).

Rainy juga sepakat perlunya peningkatan kapasitas penegak hukum dalam memahami seluk-beluk perdagangan manusia. Ia merasa banyak aparat penegak hukum di lapangan yang belum memahami bahwa tindak pidana perdagangan manusia sangat beririsan dengan kejahatan lain.

"Perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan anak perempuan termasuk yang beririsan dengan perdagangan narkoba. Perlu penguatan pemahaman aparat penegak hukum, khususnya di Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO," ujar Rainy.

Terakhir, Rainy mengusulkan optimalisasi patroli siber. Menurut dia, sindikat perdagangan orang kini cenderung aktif menjerat korban dengan promosi di situs-situs daring dan media sosial. "Ini menjadi tugas Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) Republik Indonesia," imbuh dia. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Erwiana Sulistyaningsih, seorang penyintas kasus TPPO, mengatakan kasus-kasus TPPO tidak boleh dianggap enteng. Berbasis pengalamannya, Erwina mengatakan, rekrutmen buruh migran secara ilegal bisa berujung pada eksploitasi pekerja dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. 

"Secara fisik saya mengalami cacat fisik. Misalnya tulang patah, terus sekarang juga mulai gampang pusing. Enggak maksimal kalau mikir berat karena otak saya pernah bengkak. Secara psikis, saya enggak bisa dengar orang marah. Kalau ada orang yang bentak-bentak atau suara keras, saya langsung gemetar, ketakutan. Itu efek yang saya alami," kata Erwiana kepada Alinea.id, Rabu (10/11). 

Erwiana sempat merasakan pahitnya jadi buruh migran yang direkrut via jalur ilegal. Pada 2013, ia pernah disiksa oleh bekas majikannya di Hong Kong. Selain mengalami kekerasan fisik, ia dipaksa tidur di lantai, bekerja 21 jam sehari, dan tidak diizinkan libur selama delapan bulan oleh bekas majikannya. 

Kasus penyiksaan terhadap Erwiana sempat menjadi perhatian publik. Presiden RI ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sempat turun tangan untuk memboyong  Erwiana ke tanah air dan memastikan majikan Erwiana dihukum sesuai aturan yang berlaku di Hong Kong. 

Kepada para calon buruh migran, Erwiana menyarankan agar tidak mudah terbuai rayuan sindikat TPPO. Jika merasa dieksploitasi atau dilanggar haknya saat bekerja di luar negeri, ia meminta agar para buruh migran berani bersuara. Sikap diam, kata dia, hanya akan memperburuk keadaan. 

"Bersuaralah. Entah lapor polisi atau ketemu butuh migran di sana, entah security, misal di apartemen atau mungkin BMI (buruh migran Indonesia) yang kebetulan ketemu di jalan. Lapor aja ke KJRI atau ke organisasi yang peduli dengan pekerja migran," ucap Erwiana. 

Berita Lainnya
×
tekid