sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Untung-rugi menggembosi wewenang polisi ala Mahfud

Usul Mahfud MD agar kewenangan penyelidikan dan penyidikan di polsek dicabut memicu pro dan kontra.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 28 Feb 2020 14:59 WIB
Untung-rugi menggembosi wewenang polisi ala Mahfud

Tuntas menjalani masa hukumannya di Lembaga Permasyarakatan (LP) Cipinang pada 2019, Erna, bukan nama sebenarnya, mengaku lega. Dinyatakan bersalah karena kasus penggelapan uang di perusahaan tempatnya bekerja dulu, Erna dikurung dua tahun di LP itu. 

Sebelum kasusnya masuk ke meja hijau, Erna menuturkan, ia sebenarnya bisa saja lolos dari jerat hukum. Pasalnya, penyidik dan pelapor sempat menemui dia dan mengajak "damai". Asalkan membayar Rp150 juta, pelapor dan penyidik setuju tak akan melanjutkan kasus itu. 

Perantau dengan gaji pas-pasan, Erna sempat gamang. Namun, setelah berdiskusi dengan suami dan pengacaranya, keputusan Erna bulat. Kepada penyidik dari sebuah polsek di Jakarta Barat yang menggarap kasusnya, Erna menyatakan lebih memilih dibui. 

"Permintaan polisi dan pelapor enggak sesuai kerugian. Makanya, saya pasang badan dulu. Mereka minta Rp150 juta biar bebas dari tuntutan. Tapi, total kerugian perusahaan enggak segitu," kata Erna saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, beberapa hari lalu.

Saat menjadi tahanan sementara di polsek tersebut, Erna mengaku bertemu tahanan lain yang punya pengalaman sama. Kepada Erna, rekannya itu mengaku dilaporkan oleh sebuah bank lantaran telat membayar angsuran dari pinjaman Rp1 miliar.

Rekan Erna itu bercerita jika polisi dan pelapor meminta Rp150 juta agar kasusnya tidak naik ke persidangan. Tak mau dibui, rekan Erna itu menyanggupi. 

Padahal, duit itu hanya untuk memastikan kasusnya tak masuk persidangan. Rekan Erna tetap harus melunasi tunggakan terhadap bank tanpa berkurang sedikit pun. 

"Uang Rp150 juta itu untuk bayaran ke polisi dan pelapor. Dia tetap bayar tiap bulan. Sebenarnya keberatan di awal karena gede permintaan polisi. Tapi, gimana lagi? Kalau dia enggak mau, nanti enggak dibebasin," tutur Erna. 

Sponsored

Setelah mendekam di Cipinang, Erna akhirnya mafhum praktik lancung itu lazim di kalangan penyidik polsek. Menurut dia, para tersangka kasus narkotika yang paling banyak disasar. "Itu yang saya dengar dari mereka (rekan-rekan tahanan di LP)," kata dia. 

Pendiri Rumah Pancasila Yosep Parera mengamini pemalakan dan suap untuk menghentikan penyidikan perkara marak terjadi di polsek-polsek Jakarta. Menurut dia, penyimpangan hukum semacam itu kerap terjadi lantaran pengawasan yang lemah.

"Di Jakarta itu benar memang praktik upeti itu marak. Sebab, memang kompleksitas hukum terjadi di sana. Banyak sekali terjadi pelanggaran memanipulasi hukum untuk mendapatkan materi. Masalahnya, berani enggak polisi OTT (operasi tangkap tangan) polisi?" kata Yosep saat dihubungi Alinea.id, Kamis (27/2) lalu.

Namun demikian, ia tidak sepakat fungsi penyidikan dan penyelidikan di tingkat polsek dihapuskan sebagaimana diusulkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Menurut dia, tidak semua polsek kinerjanya buruk.  

"Contohnya di Semarang. Pengawasan polsek-polsek itu berjalan lancar. Ya, meski masih ada beberapa perkara. Jadi, enggak bisa disamaratakan satu polsek dengan yang lainnya," ujar penggagas Klinik Hukum Semarang itu. 

Ketua Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Teguh Nugroho membenarkan bahwa perkara-perkara di tingkat polsek, polres, dan polda kerap mangkrak. Hal itu setidaknya "terekam" dari 96 laporan terkait kepolisian yang masuk ke Ombudsman Jakarta pada 2019. 

"Yang paling banyak masuk ke Ombudsman yaitu terkait penundaan berlarut. Ada kasus yang satu tahun, dua tahun, tiga tahun bahkan lima tahun tidak digarap sama sekali oleh penyidiknya," kata
kepada Teguh kepada Alinea.id, Rabu (26/2).

Meski begitu, Teguh menilai tidak ada urgensi untuk menghilangkan wewenang penyelidikan dan penyidikan di tingkat polsek. Pasalnya, kinerja personel polsek di dua fungsi itu buruk karena minimnya jumlah penyidik, kualitas penyidik, dan pengawasan. 

Teguh menyarankan distribusi personel dari kesatuan Brimob sebagai salah satu solusi. "Yang perlu soal reposisi, distribusi anggota kepolisian. Jumlah dan kualitas penyidik ditambah. Jadi, ada di dua isu itu. Bukan soal menarik penyidik polsek ke polres," jelas Teguh. 

Menkopolhukam Mahfud MD berada di geladak heli KRI Semarang-594 saat akan mengikuti joy sailing di Faslabuh Ranai, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (15/1). /Foto Antara

Pro-kontra usulan Mahfud

Sebelumnya, Mahfud mengusulkan agar fungsi penyidikan dan penyelidikan di tingkat polsek dihapus. Menurut dia, para personel di tingkat polsek dibebani dengan target dan kerap cari-cari perkara. 

"Kalau enggak pakai pidana, dianggap tidak bekerja," ujar Mahfud usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta Pusat, pekan lalu. 

Untuk pidana yang kecil-kecil, Mahfud menyarankan agar penegak hukum mengedepankan pendekatan restorative justice. "Jangan apa-apa KUHP dan KUHAP sehingga orang mencuri semangka saja dihukum dengan KUHP," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Kompolnas itu.

Pengamat hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar setuju jika fungsi penyelidikan dan penyidikan dihapus di tingkat polsek. Menurut dia, pendekatan pidana yang kental diadopsi dalam penanganan perkara di polsek membebani keuangan negara. 

"Biaya negara untuk mengurus perkara sampai ke PN (pengadilan negeri) cukup besar. Dalam arti gaji dan honor pegawai tansportasi dan lain-lain. Seringkali perkara-perkara ini juga menjadi alat untuk balas dendam pelapor. Meski kerugiannya kecil, tetap naik ke pengadilan," kata Fickar kepada Alinea.id. 

Fickar menilai kinerja kepolisian tidak bakal terganggu jika perkara di polsek dialihkan ke polres. Menurut dia, kerja personel polsek dalam melayani masyarakat justru bakal meningkat jika tidak dibebani target menuntaskan perkara.

"Tentu saja pada tingkat polsek akan lebih maksimal. Karena itu, jika dikurangi fungsi penegak hukumnya dan fokus pengamanan dalam negeri wilayahnya justru akan lebih optimal dan akan menciptakan ketenteraman dalam masyarakat," ujar dia. 

Pendapat berbeda diutarakan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Oky Wiratama Siagian. Menurut Oky, fungsi penyidikan dan penyelidikan di tingkat polsek masih dibutuhkan.

"Khususnya di lokasi-lokasi terpencil yang mana masyarakat butuh polisi, sedangkan polres hanya ada di tingkat kota dan kabupaten," kata Oky saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.

Oky mengatakan, penghapusan dua fungsi itu bak dua sisi mata koin. Jika fungsi dihapuskan, warga akan kesulitan untuk melaporkan perkara-perkara kriminal. Di sisi lain, beban kerja personel polres bakal makin berat jika perkara dialihkan ke polres. 

Senada, Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS Arief Nur Fikri mengatakan, meski tujuannya baik, penghapusan fungsi penyelidikan dan penyidikan di polres merugikan publik. Ia mencontohkan kesulitan yang muncul bagi keluarga tersangka yang ditahan di polres. 

"Misalnya ada orang yang ditangkap kemudian dipindahkan ke polres. Akses keluarga bertemu kan semakin sulit. Biaya menjadi beban bagi keluarga. Ini harus dipikirkan. Buat saya harus dikaji, enggak sekadar menghilangkan," jelas dia.

Sejumlah anggota polwan dari Satuan Lalu Lintas Mabes Polri melakukan manuver dengan motor gede (moge) di sela peresmian Indonesia Safety Driving Center (ISDC) di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/2). /Foto Antara

Suara penolakan dari polsek 

Ditemui di ruang kerjanya di Polsek Metro Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/2), Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polsek Metro Menteng Kompol Gozali Luhulima berharap wacana itu dikaji lagi. Menurut dia, keberadan dua fungsi itu di polsek dibutuhkan publik.

"Polsek sangat-sangat dibutuhkan. Kan percepatan pelayanan masyarakat. Kenapa dibuat subsektor? Biar masyarakat terdekat bisa lapor ke situ," kata Gozali kepada Alinea.id.

Menurut Gozali, personel polres bakal kelimpungan jika kasus-kasus kriminal yang ditangani di tingkat polsek dilimpahkan ke polres. Apalagi, jumlah penyidik masih kurang. 

Di Polsek Metro Menteng, lanjut dia, hanya ada 23 penyidik. Setiap penyidik ditugasi menangani tiga hingga empat perkara pidana. "Kalau semua kasus ditangani polres, ya, kewalahan," ujar dia. 

Menyinggung kejar target dan cari-cari perkara yang disampaikan Mahfud, Gozali lantang membantah. Menurut dia, ada skala prioritas yang ditetapkan di setiap polsek dalam penanganan perkara.

"Misalnya, satu kasus ini ada tersangkanya. Itu harus cepat karena menyangkut nasib orang. Kemudian, soal waktu. Kedua, laporan yang tersangkanya jelas itu tentu cepat diselesaikan. Kemudian, kasus-kasus yang menjadi perhatian publik," jelasnya.

Diakui Gozali, dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan,  polsek masih memiliki beragam kekurangan, khususnya terkait jumlah personel dan kelengkapan alat. Namun demikian, personelnya tetap berusaha profesional untuk merampungkan perkara. 

"Kita ini kan kerja untuk organisasi. Bukan karena, 'Oh, pelapornya orang ini.' Enggak begitu. Justru kalau terungkap membuat kita bangga," katanya.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Kepala Seksi Umum (Kasium) Polsek Metro Menteng Ipda Saor Hutabarat mengungkapkan hal senada. Menurut dia, akan terjadi penumpukan berkas perkara jika kasus-kasus yang ditangani penyidik di delapan polsek di Jakarta Pusat dilimpahkan ke polres.

"Saya kira ada alasan Pak Mahfud mengatakan hal demikian. Kalau dampaknya, kita lihat dulu seperti apa. Enggak manusiawi kalau numpuk. Kalau biasanya satu polsek satu perkara dalam satu hari, maka dari delapan polsek tambah perkara tiap harinya di polres," jelasnya. 

Menurut Saor, kepolisian selalu berupaya menyelesaikan perkara-perkara kecil menggunakan pendekatan musyawarah dan kekeluargaan. Hanya saja tak semua pelapor bisa dibujuk. "Ada masyarakat yang enggak mau. Ini menyangkut harga diri katanya," ujar dia. 

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil juga tak setuju. Menurut dia, akan lebih tepat jika pengawasan terhadap kedua fungsi itu diperkuat untuk mencegah personel polsek sekadar 'cari-cari perkara' sebagaimana disebut Mahfud.

"Di mana-mana kalau tidak diawasi dengan baik, ya, bisa liar dia. Jangankan di polsek, di kantor Pak Mahfud juga (bisa kacau) kalau enggak diawasi dengan baik. Jadi, kalau itu alasannya saya pikir enggak tepat. Itu kan soal pembinaaan dan pengawasan," ujar Nasir saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (26/2). 

Agar tak menimbulkan polemik, Nasir meminta agar wacana tersebut dibahas dulu bersama DPR jika serius direalisasikan oleh pemerintah. "Enggak bisa sembarangan pemerintah menghilangkan itu. Karena ini menyangkut kebijakan negara," kata dia. (Kud)

Berita Lainnya
×
tekid