sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Urgensi pengesahan RUU PKS dan dinamika tak berujung di parlemen

RUU PKS sudah diajukan sejak lama. Kini, malah dianulir dari Prolegnas Prioritas 2020.

Kudus Purnomo Wahidin Akbar Ridwan
Kudus Purnomo Wahidin | Akbar Ridwan Kamis, 09 Jul 2020 17:18 WIB
Urgensi pengesahan RUU PKS dan dinamika tak berujung di parlemen

Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2 Juli 2020 sepakat menganulir 16 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Salah satunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

RUU yang sudah diajukan sejak 2016 itu, pembahasannya harus digeser tahun depan. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baldowi, akrab disapa Awiek, menyatakan Baleg hanya menerima usulan dari Komisi VIII agar RUU PKS ditarik dari Prolegnas 2020. Menurut Awiek, RUU yang keluar dari daftar prolegnas adalah rancangan yang tak punya progres.

Awiek mengatakan, efektivitas waktu di masa pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19) menjadi alasan Baleg meminta setiap komisi di DPR memilih RUU yang ingin diprioritaskan.

“Selama tiga bulan ke depan apakah mungkin membahas dua RUU? Dan ternyata tidak memungkinkan. Makanya (setiap komisi) diminta pilih salah satu,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (7/7).

Dinamika di DPR

Keputusan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020 tak membuat pusing anggota Komisi VIII dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf. Alasannya, Fraksi PKS bukan pengusul RUU PKS.

“Jadi, lebih baik tanyakan saja kepada yang mengusulkan. Kami, PKS kan bukan pengusul,” ujarnya saat dihubungi, Senin (6/7).

Di dalam parlemen, terjadi dinamika panjang perkara RUU PKS. Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) NasDem di Baleg DPR Taufik Basari, akrab disapa Tobas, pesimis RUU PKS bakal rampung bila hanya dibahas Komisi VIII. Sebab, masalah kekerasan seksual tak hanya menyangkut urusan tugas Komisi VIII.

Sponsored

"Sejak awal kami sudah menduga bakal terkatung-katung," ucapnya saat dihubungi, Senin (6/7).

Menurut Tobas, RUU PKS merupakan usulan Fraksi Partai NasDem dalam rapat Baleg DPR pada Desember 2019. Ketika ada pembahasan kembali khusus prolegnas prioritas pada Januari 2020, kata dia, Komisi VIII meminta agar RUU PKS diubah statusnya menjadi usulan Komisi VIII. Tobas mengatakan, sejak RUU PKS masuk prolegnas, ia mendorong agar pembahasannya melalui Pansus atau Baleg, agar bisa dibahas lintas komisi.

"Ada sektor pemidanaan, lingkup Komisi III. Ada kesehatan, lingkup Komisi IX dan perempuannya Komisi VIII," ujarnya.

Celakanya, nasib RUU PKS menuai apes. Baleg meminta semua komisi untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh RUU yang kira-kira bisa diselesaikan saat Prolegnas 2020. Baleg menilai, tak semua RUU dapat tuntas sesuai target karena pandemi Covid-19.

"Prolegnas prioritas dimulai dari Januari sampai awal Juli ini, kami punya 50 RUU. Harusnya, bila sesuai dengan perhitungan, 50 RUU ini selesai di 2021. Akan tetapi, karena Covid-19 harus evaluasi beberapa RUU," ujarnya.

Suasana Rapat Paripurna DPR RI soal penetapan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Lalu, Tobas menjelaskan, setiap pimpinan komisi diminta Baleg untuk menentukan prioritas RUU yang bisa selesai pada Prolegnas 2020. Para pimpinan komisi juga diminta melaporkan progres setiap RUU.

Bila ada RUU yang tak menunjukkan progres, maka dialihkan ke Prolegnas 2021. Pimpinan Komisi VIII pun lebih memilih revisi Undang-Undang (UU) Penanggulangan Bencana ketimbang RUU PKS karena tak ada kemajuan signifikan.

"Setelah dimintai evaluasi, Komisi VIII ternyata memilih melimpahkan RUU PKS ke Prolegnas 2021," katanya.

Keputusan itu sangat disayangkan Tobas. Oleh karenanya, ia mengatakan, Fraksi NasDem bakal mendesak agar status RUU PKS dikembalikan menjadi usul anggota.

"Agar bisa dibahas lewat Pansus atau Baleg DPR," ucapnya.

Di samping itu, kata Tobas, NasDem akan melobi fraksi yang menolak RUU PKS. Ia yakin, terkatung-katungnya RUU PKS di Komisi VIII lantaran ada fraksi yang menolak keras.

"Kami menilai, mungkin belum membaca naskah akademik dan draf RUU-nya seperti apa. Bila kembali menjadi usulan NasDem, kami siap memperbarui naskah akademik dan draf RUU-nya," ujarnya.

Upaya untuk memperbarui naskah akademik dan draf, serta melobi fraksi yang menolak RUU PKS, diakui Tobas, merupakan langkah NasDem untuk mengembalikan RUU PKS menjadi “milik” mereka. Selain itu, kata Tobas, mereka juga akan mengajukan sebagai pengusul.

"Agar bisa mengawal secara langsung jalannya RUU ini di Baleg," ujar dia.

Sementara itu, anggota Komisi VIII dari Fraksi PDI-P Selly Gantina mengatakan, Komisi VIII hanya diberi sedikit slot untuk memilih RUU yang dibahas di Prolegnas 2020 oleh Baleg.

“Mau tak mau harus memilih RUU mana yang dijadikan prioritas,” ujar Selly saat dihubungi, Senin (6/7).

Kondisi tersebut, memaksa pimpinan Komisi VIII harus memilih RUU yang paling memungkinkan dituntaskan, yakni revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

"Revisi UU Penanggulangan Bencana dipilih karena memang sangat urgen. Sebab, kita sedang menghadapi Covid-19," ucapnya.

Selly membeberkan, sejak awal diajukan, RUU PKS sarat kepentingan elektoral. Beberapa kali RUU PKS berpindah tangan, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Komisi VIII. Padahal, katanya, banyak pihak yang menginginkan RUU PKS dibahas di Baleg DPR.

Ia menuturkan, awalnya Komisi VIII hanya diberi tanggung jawab menggarap revisi UU Penanggulangan Bencana dan RUU Kesejahteraan Lanjut Usia.

"Setelah berubah menjadi draf perundang-undangan, berubah lagi. Yang menjadi usulan Komisi VIII itu justru RUU PKS dengan RUU Penanggulangan Bencana. RUU Kesejahteraan Lanjut Usia enggak masuk," ucapnya.

Ketika RUU PKS ditangani Komisi VIII, Selly sempat pesimis. Ia yakin, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII menemui jalan yang tak mulus, bahkan bisa molor.

"Saya sudah paham, kalau sudah masuk ke Komisi VIII, mohon maaf, pasti alot. Enggak ada tuntas-tuntasnya," tuturnya.

Selly mengaku, RUU PKS belum pernah dibahas secara serius di Komisi VIII pada Prolegnas 2020. Sejauh ini, Komisi VIII lebih sibuk mengawasi mitra kerja dan membahas revisi UU Penanggulangan Bencana. Maka, selain waktu yang tak memungkinkan, pembahasannya pun tak kunjung terlihat kemajuan.

"Karena memang kalau mau jujur belum pernah ada pembahasan di Komisi VIII," ucap dia.

Di samping itu, RUU PKS tak dibahas serius Komisi VIII lantaran belum ada naskah akademik sebagai prasyarat pembahasan undang-undang. Selly pun kecewa terhadap beberapa fraksi yang hanya menjadikan RUU PKS sebagai ajang elektoral semata, tetapi tak menunjukkan dukungan saat pembahasannya.

"Jadi, kalau kita mau jujur siapa pengusulnya, ini kan harus jelas nih ‘barang’. Kalau nih ‘barang’ miliknya NasDem, apa pernah NasDem mengirim naskah ke Badan Legislasi? Janganlah menggunakan RUU ini sebagai media elektoral," ujarnya.

Selain itu, ia memandang, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII hanya mentok di persoalan ketidaksetujuan partai Islam, dalam hal ini PKS, tanpa ada solusi. Ketimbang tebar pesona untuk mendapat simpati publik dari isu RUU PKS, Selly mengusulkan semua fraksi mendorong agar pembahasannya bisa dialihkan ke Baleg atau Pansus.

Urgensi RUU PKS dan dalih RKUHP

 Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS Sahkan RUU P-KS ) melakukan aksi saat Hari Bebas Berkendaraan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Foto Antara.

Molornya pembahasan RUU PKS ke Prolegnas 2021 memunculkan kekecewaan dari jaringan masyarakat sipil, termasuk aktivis perempuan. Karena hal itu, Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (GERAK Perempuan) bakal rutin menggelar aksi mingguan, setiap Selasa sore. Aksi itu sudah dimulai pekan ini.

“Dengan aksi Selasa ini kami ingin bilang ‘cukup’. Maksudnya, segala proses sekarang harus transparan,” kata narahubung GERAK Perempuan Mutiara Ika Pratiwi saat dihubungi, Selasa (7/7).

“Sebagai masyarakat sipil, kami akan mengawasi kinerja DPR secara langsung di depan Gedung DPR. Jadi, minimal mereka tahu bahwa kami setiap minggu selalu ada untuk mengawasi kinerja mereka.”

Ika, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika itu menilai, setidaknya ada enam alasan urgensi pengesahan RUU PKS.

Pertama, RUU PKS mengenal konsep relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual. Menurut Ika, ketika istilah itu digunakan, dampaknya bisa membuat korban tak disalahkan kembali dengan alasan busana yang dikenakan atau bepergian.

Kedua, RUU PKS bisa mencegah kriminalisasi korban, keluarga korban, saksi, dan para pendampingnya atas kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Ketiga, dalam RUU PKS terdapat perluasan definisi perkosaan. Ia membandingkan, di dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), perkosaan sebatas penetrasi kelamin.

“Sedangkan RUU PKS tidak hanya itu. Kalau di dalam kasus Agni di UGM kemarin, dia bisa masuk dalam kategori perkosaan kalau memakai payung hukum RUU PKS,” katanya.

Keempat, RUU PKS ikut menjamin partisipasi warga dalam mendukung korban. Ika mengatakan, dalam menghapus kekerasan seksual, dibutuhkan partisipasi warga yang dijamin dalam hal pemantauan atau melaporkan kasus.

Ika menjelaskan, meski sudah ada UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), tetapi masyarakat tak bisa membantu korban karena kasus kekerasan terjadi di dalam rumah, yang dianggap ranah privasi.

“Kalau di RUU PKS ini kan kita dijamin, misalnya ketika kita melaporkan ada tetangga kita yang mendapatkan kekerasan di rumah,” ujarnya.

Kelima, RUU PKS mengakui keterangan korban sebagai alat bukti yang sah dalam penyidikan. Ia menerangkan, dalam pelaporan, polisi kerap menanyakan kronologi peristiwa dan siapa saja yang ada di tempat kejadian perkara.

Dalam posisi itu, kata Ika, perkara kekerasan seksual sering hanya ada korban dan pelaku, dengan status korban sebagai saksi. Diakuinya keterangan korban sebagai alat bukti, diharapkan bisa memudahkan korban untuk melapor dan tak mendapat tekanan.

“Karena hanya korbanlah saksinya. RUU PKS ini di dalam bab acara pidana, mengakui keterangan korban sebagai alat bukti. Ini yang penting,” tuturnya.

Keenam, RUU PKS menjamin masuknya materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan tinggi. Hal itu, menurut Ika, merupakan bukti bahwa rancangan regulasi tersebut tak hanya mengatur penindakan, tetapi juga edukasi.

“Dan sangat mungkin tidak hanya di pendidikan tinggi, tapi misalnya di perusahaan, di tempat kerja karena juga sangat rentan pelecehan seksual,” katanya.

Tak kalah penting, RUU PKS diharapkan bisa menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)—yang merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sejumlah lembaga negara, lembaga layanan, maupun laporan ke Komnas Perempuan sepanjang 2019—menyebut, ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data itu mengalami peningkatan sepanjang lima tahun terakhir.

Catahu 2020 pun mencatat, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 792%. Kekerasan terhadap anak perempuan, meningkat sebanyak 2.341 kasus, dari tahun sebelumnya 1.417 kasus.

Kasus kejahatan siber, seperti intimidasi penyebaran foto dan video porno korban pun meningkat menjadi 281 kasus, dari tahun 2018 sebanyak 97 kasus. Kenaikan juga terjadi pada kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, sebanyak 47% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tak kunjung dibahasnya RUU PKS, selain terganjal lobi fraksi-fraksi, terbentur judul dan definisi kekerasan seksual, juga diduga menunggu pengesahan RKUHP lantaran terkait pemidanaan. Namun, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, hal itu salah kaprah.

Ia memandang, RUU PKS bisa tetap dibahas tanpa menunggu RKUHP karena muatannya berbeda. Menurutnya, dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, dimungkinkan mengatur pidana dalam undang-undang sektoral.

“KUHP mengatur asas-asas dalam hukum pidana, jenis-jenis sanksi pidana, pemberatan, dan lain-lain, tetapi sanksi pidana bisa dan sudah biasa diatur dalam UU sektoral,” ucapnya saat dihubungi, Selasa (7/7).

Infografik RUU PKS. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Bivitri menjelaskan, di dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga tak ada satupun ketentuan yang mengatur keterkaitan antara satu UU dengan yang lain.

“Dalam proses legislasi juga tidak ada ketentuan tentang kondisi-kondisi di mana pembahasan suatu UU harus menunggu yang lain,” ujarnya.

Ia mengingatkan, dalam proses legislasi dan pembuatan kebijakan secara umum, alasan argumentasinya data, bukan yang lain. Maka, ia berujar, hal itu membuat RUU PKS penting untuk dibahas dan disahkan.

Di sisi lain, KUHP dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku maupun RKUHP, menurut Bivitri tak bisa menyelesaikan problem kekerasan seksual. RUU PKS, kata dia, tak hanya menyangkut persoalan pidana, tetapi juga bicara pencegahan, pendidikan, kualifikasi penegak hukum, dan sebagainya.

Terlepas dari itu, Bivitri memandang, sekalipun RUU PKS sudah ditarik dari Prolegnas 2020, bakal undang-undang itu masih memungkinkan untuk dibahas.

“Kan itu cuma di-drop dari prioritas 2020 karena Komisi VIII tidak sanggup bahas sampai Oktober,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid