sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

YLBHI: 6.128 orang jadi korban pelanggaran kebebasan berekspresi

Mayoritas yang menjadi korban berasal dari kalangan mahasiswa.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 27 Okt 2019 17:27 WIB
YLBHI: 6.128 orang jadi korban pelanggaran kebebasan berekspresi

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meriset data kasus-kasus pelanggaran atas hak berpendapat di muka umum sepanjang Januari sampai 22 Oktober 2019. Dari hasil risetnya, YLBHI menemukan ada 78 kasus pelanggaran hak berpendapat di muka umum dan ada 6.128 orang yang jadi korban. 

"Di antaranya 324 adalah anak-anak. Mereka dapat pelanggaran ketika mereka menyampaikan pendapat di muka umum. Dan, selama 10 bulan ini ada dampak 51 orang meninggal. Tapi, total korbannya 6.128 orang," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (27/10).

Data itu didapat dari 16 kantor LBH di daerah. Menurut Isnur, mayoritas korban adalah mahasiswa atau mencapai 43% dari total jumlah korban. Korban lainnya adalah kalangan aktivis (9%), buruh (7%), anggota DPRD (1%), jurnalis (1%), orangtua murid (2%), dan pelajar (9%). "Dan masyarakat lainnya mencapai 28%," imbuh Isnur. 

Pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap penyampaian pendapat di muka umum adalah pihak kepolisian yang mencapai 69%. Institusi pendidikan menempati peringkat kedua dengan persentase 8%.

"Dan yang di sini yang menarik adalah kita bisa lihat tahun ini cukup marak institusi pendidikan juga menjadi aktor yang melakukan pelanggaran hak penyampaian pendapat di muka umum," kata Isnur.

Selain dua institusi tersebut, pihak yang melakukan pelanggaran adalah TNI (7%), organisasi masyarakat (5%), Satpol PP (2%), pemerintahan kota (1%), sekolah (4%), pemerintah pusat (2%), Babinsa (1%), dan pemerintah provinsi (1%).

Isnur menerangkan, YLBHI menemukan ada tujuh pola pelanggaran. Dari ketujuh pola tersebut, penghalangan menyampaikan pendapat di muka umum dengan melakukan kriminalisasi mendominasi dengan total 95 kasus. Diikuti kasus tindakan kekerasan (68 kasus), pembubaran tidak sah (57), penggalangan dan/atau pembatasan aksi (32), pembubaran dan penculikan (17) dan penghalangan pendampingan hukum (6). 

"Di lapangan aparat menggunakan alat secara berlebihan dengan gas air mata, water canon, peluru karet. Bahkan, di Kendari dan di aksi Mei itu ada peluru tajam yang ditemukan. Pembubaran paksa ini yang kita temukan polanya walaupun aksinya sedang berjalan damai," jelas Isnur.

Sponsored

Dari 51 korban meninggal dunia, menurut Isnur, hanya tujuh korban saja yang diketahui secara resmi penyebab kematiannnya. Sebannyak enam di antaranya meninggal karena luka tembak dan satu lainnya karena kehabisan nafas yang disebabkan gas air mata.

"Sedangkan 44 korban lainnya tidak ada informasi resmi. Ini dalam konteks dalam hak asasi manusia sebenarnya sangat berbahaya. Mengerikan karena banyak yang meninggal," ujar dia. 

Mayoritas korban yang meninggal ialah mereka yang ikut serta dalam aksi protes menolak kasus rasisme di Papua. Rinciannya, sebanyak 33 meninggal di Wamena dan 4 lainnya ditemukan tewas di Jayapura. Sisanya merupakan korban aksi unjuk rasa bertema 'Reformasi Dikorupsi' dan aksi unjuk rasa terkait Pilpres 2019 pada 22-24 Mei lalu. 

Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, penyampaian pendapat di muka umum dijamin konstitusi. "Dan pengakuan itu juga dilindungi dengan jaminan kesetaraan di muka umum. Artinya, siapa pun kita, sedang ngapain aja, maka hak kita sama di hadapan hukum," ucap dia. 

Selain dijamin UUD 1945, hak menyampaikan pendapat juga diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. "Dan sebetulnya menghalang-halangi aksi adalah tindak kejahatan dan ada pidana penjara paling lama satu tahun," jelas dia.

Berita Lainnya
×
tekid