sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Alasan pemilih masih galau hingga pencoblosan

Angka undecided voters atau pemilih yang belum memutuskan pilihannya masih tergolong tinggi.

Rakhmad Hidayatulloh Permana
Rakhmad Hidayatulloh Permana Jumat, 12 Apr 2019 20:19 WIB
Alasan pemilih masih galau hingga pencoblosan

Pemungutan suara Pilpres 2019 hanya tinggal hitungan hari. Namun demikian, angka undecided voters atau pemilih yang belum memutuskan pilihannya masih tergolong tinggi. Rata-rata berada pada kisaran 5% hingga 10%. 

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Phillips J. Vermonte menilai fenomena tingginya angka undecided voters terjadi karena tawaran pilihan kandidat di Pilpres 2019 masih sama dengan Pilpres 2014. 

"Jadi, pasti mereka punya penilaian. Mereka sudah melihat Pak Prabowo sebagai oposisi selama lima tahun (dan) sudah melihat Pak Jokowi sebagai incumbent selama lima tahun," kata Phillips dalam sebuah diskusi di Hotel FX Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (12/4).

Penilaian para pemilih gamang kepada para kandidat, menurut Phillips, membuat mereka sulit untuk menentukan pilihan dan kerap merahasiakan dukungan hingga tiba di tempat pemungutan suara (TPS) nanti. 

"Di satu sisi ada yang catatannya baik. Tapi, ada yang mungkin mengecewakan. Sehingga kalau calonnya sama, mereka mungkin memikirkan, 'Ya, sudah saya putuskan ketika sudah di TPS'," ujarnya.

Phillips juga menduga fenomena undecided voters ini ada karena politik dipandang bukan prioritas utama bagi para pemilih rasional. "Mungkin bagi orang Indonesia politik itu prioritas yang nomor sekian," ungkapnya. 

Pada kesempatan yang sama, peneliti senior Populi Center Afrimadona menyebut ada banyak faktor yang membuat pemilih merahasiakan suaranya dalam survei. "Secara umum kita tidak bisa menebak faktor mana yang paling signifikan," kata dia. 

Dugaan awal masih besarnya angka pemilih gamang, menurut Afrimadona, karena publik sudah jenuh. "Mereka tipe orang yang cuek saja dengan politik. Mereka jenuh. Bisa jadi ada orang sudah punya preferensi politik, tapi mereka takut karena politik itu sesuatu yang sensitif," kata dia. 

Sponsored

Menurut dia, preferensi politik seseorang saat ini sifatnya sangat personal. Jika diumbar, preferensi politik rentan sekali memicu konflik, dari mulai merusak hubungan pertemanan hingga hubungan keluarga. 

"Politik sudah sangat personal. Jadi apa pun yang terkait politik bisa memicu emosional. Sehingga orang lebih berhati-hati," ungkapnya. 

Berita Lainnya
×
tekid