sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cari aman para kontestan di Pilpres 2019

Baik Prabowo Subianto atau Joko Widodo sama-sama memiliki catatan kurang baik soal pelanggaran HAM.

Robi Ardianto Ayu mumpuni
Robi Ardianto | Ayu mumpuni Selasa, 18 Des 2018 07:05 WIB
Cari aman para kontestan di Pilpres 2019

Mengenakan payung hitam, puluhan orang berkerumun di depan Gedung Komnas HAM Jakarta pada Selasa, (11/12). Mereka harap-harap cemas menanti Presiden Joko Widodo, yang pada hari itu diundang secara resmi oleh Komnas HAM dalam rangka memperingati hari HAM Internasional. 

Puluhan orang itu gabungan dari sejumlah aktivis antara lain Komisi untuk Orang Hilang (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan elemen masyarakat sipil lainnya.

Mereka tampak membawa beberapa poster hitam bertuliskan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM. Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984, Korban Peristiwa Talangsari 1989, Korban Kerusuhan Mei 1998, Korban Penembakan Misterius 1980-an, dan Korban Tragedi 1965/1966, adalah beberapa kasus yang tertulis dalam poster-poster tersebut.

Sejumlah kalangan menyambut positif soal Jokowi yang akan mengunjungi kantor Komnas HAM. Tak terkecuali para aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM. Salah satunya Sumarsih, orang tua dari Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I.

Sumarsih bersama keluarga korban pelanggaran HAM lainnya menyempatkan diri ke Jalan Latuharhari No.4-B Menteng, Jakarta Pusat, berharap bertemu Presiden demi mengingatkan kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum juga tuntas.

Namun, aksi mereka di depan kantor Komnas HAM ternyata dihadang. Niat bertemu Jokowi malah disambut puluhan prajurit TNI dan personel polisi.

Pegiat HAM melakukan aksi memperingati Hari HAM Internasional 2018 dengan pengawalan personel TNI dan Polri di depan kantor Komnas HAM./ Antara Foto

Para peserta pun akhirnya harus kecewa. Presiden Jokowi yang sedianya dijadwalkan datang pukul 13.30 WIB tak hadir, dia diwakilkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Ketidakhadiran Jokowi di Komnas HAM dinilai Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik KontraS, Putri Kanesia, sebagai pilihan politiknya. Sebagai Presiden, kata Putri, jelas Jokowi tak memiliki komitmen untuk menegakkan HAM.

“Sikap ini kami anggap sebagai sikap politik Presiden Jokowi yang tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan pelanggaran HAM lainnya,” kata Putri kepada Alinea.id pekan lalu.

Menghindari Isu HAM

Melihat sikap Jokowi yang demikian tentu amat berbeda jika dibandingkan 4 tahun silam. Menjadi kontestan di Pilpres 2014, Jokowi rajin turun gunung menyapa masyarakat berbagai golongan. Tak ketinggalan para aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM. Khusus kepada yang terakhir, Jokowi berjanji menyelesaikan kasus-kasus HAM berat masa lalu.

Karena itu, demi meyakinkan mereka tim pemenangan Jokowi sampai-sampai merancang program kerja mencengangkan. Lewat Nawacita, tertulis pada poin keempat, Jokowi berjanji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965," tulis janji Jokowi-JK dalam Nawacita.

Jokowi-JK akhirnya memenangi kontestasi pada Pilpres 2014. Masyarakat bersuka cita menyambut pemimpin baru. Harapan para keluarga korban dan pegiat HAM membumbung tinggi. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi suatu keniscayaan.

Namun, seiring berjalannya waktu janji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM menguap entah kemana. Kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2 yang terjadi pada 1998 penyelesaiannya belum jelas. Demikian pula kasus Talangsari pada 1989 yang juga tak ada kejelasannya. Kemudian tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965 juga hingga kini tak kunjung terungkap.

Karena nihil menepati janjin soal HAM, pada Pemilu 2019 Jokowi tampaknya enggan memilih isu HAM sebagai jualan politiknya selama berkampanye. Yang terus dikemukakan bersama tim kampanyenya melulu hanya soal isu ekonomi.

Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (tengah) didampingi istri Iriana Joko Widodo (keempat kiri) mengikuti jalan sehat bertajuk Sehat Bersama #01JokowiLagi di Lampung, Sabtu (24/11/2018). Jalan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin, mengakui telah menyiapkan isu bidang ekonomi untuk Pilpres 2019 sejak dimulainya masa kampanye. Tema ini digaungkan dengan memilih isu utama, yakni prestasi Jokowi selama menjabat Presiden RI.

Hal itu dibenarkan Juru Bicara TKN Jokowi-Mar’ruf, Arif Budimanta. Dia mengatakan kampanye capres-cawapres nomor urut 01 masih akan menggunakan strategi menjual keberhasilan Jokowi selama memimpin. 

Menurut Arif, ada 18 kesuksesan yang berhasil diciptakan Jokowi. Dari keberhasilan di bidang ekonomi itu kemudian dikategorikan menjadi tiga. Pertama, stabilitas harga. Jokowi berhasil menjaga inflasi dan bahan bakar minyak (BBM) satu harga. Keberhasilan ini disebut Arif tidak terlepas dari upaya pembangunan infrastruktur.

Kedua, di bidang kesejahteraan sosial. Arif mengklaim di era pemerintahan Jokowi angka pengangguran menurun yang diikuti dengan angka kemiskinan. 

"Kemudian pendidikan dan kesehatan yang tercakup dalam human development index juga menunjukkam angka yang membaik,” ujar Arief. 

Ketiga, terkait keadilan ekonomi. Menurutnya, Jokowi telah mewujudkan keadian sosial dengan meneruskan pembangunan Indonesia dari pinggiran. Misalnya, menyediakan kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga hanya 7%. 

Manuver Sandiaga

Isu ekonomi ketika berkampanye dipilih jadi agenda utama Jokowi bukan tanpa sebab. Jokowi ingin menandingi rival dari pasangan capres-cawapres nomor urut 02, yang kerap menggunjingkan persoalan ekonomi di era pemerintahannya. Soal isu ekonomi memang sering dilontarkan cawapres Sandiaga Uno  sebagai jualannya dalam berkampanye.

Bahkan, Sandiaga pernah secara terang-terangan menyatakan bakal mengedepankan isu ekonomi dalam berkampanye selama 7 bulan. Sandi beralasan permasalahan ekonomi merupakan suatu hal yang kerap dihadapi bangsa ini. Utamanya menyangkut kesejahteraan sosial.

Sandiaga juga kerap melontarkan pernyataan kontroversial soal isu-isu ekonomi dalam kunjungannya ke beberapa daerah. Di Kebayoran Baru, Sandi mengatakan kalau rakyat kini semakin susah karena lemahnya nilai tukar rupiah. Harga kebutuhan pun naik dibarengi dengan pelemahan daya beli masyarakat.

“Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya udah hampir sama dengan kartu ATM. Ibu Yuli di Duren Sawit kemarin bilang, jualan tahunya sekarang dikecilin ukurannya,” kata Sandiaga.

Kedua, ketika Sandiaga mengunjungi kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Di kesempatan itu, Sandi mengaku ketika ia mengunjungi Riau ada seorang ibu yang curhat lantaran sering bertengkar dengan suaminya perkara uang belanja.

Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno ketika mengunjungi Temanggung. /Antara Foto"Di Pekanbaru Ibu Lia cekcok sama suaminya gara-gara uang belanja dikasih Rp100.000 pulang cuma bawa bawang sama cabai. Kita bicara ini lepas dari politik praktis, warga terbebani," ujar Sandi.

Terakhir, soal pernyataannya ihwal harga nasi ayam di Singapura yang disebut jauh lebih murah ketimbang Jakarta. Rinciannya, kata dia, di Singapura sepiring nasi ayam harganya sekitar Rp35 ribu atau 3 sampai 3,5 dolar Singapura. Sedangkan di Jakarta dibanderol Rp50 ribu.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menilai perdebatan isu soal ekonomi lebih menarik minat masyarakat. Sementara isu HAM, kata Juru Kampanye BPNPrabowo Subianto-Sandiaga Uno, Rachland Nashidik, meyakini tidak akan menjadi isu seksi bagi peserta Pilpres 2019.

Menurutnya, baik Prabowo Subianto ayau Joko Widodo sama-sama memiliki catatan kurang baik soal pelanggaran HAM. Karena itu, dapat dipastikan isu HAM tak akan dipilih oleh keduanya.

“Jadi pertandingan mendatang itu isu HAM akan berada di pinggir,” kata Rachland.

Tipu muslihat 

KontraS mencatat persoalan  HAM selalu tertinggal dalam situasi kontestasi politik. Itu baik dalam Pilkada atau pun Pemilu. Oleh para kontestan, persoalan HAM bukan ditempatkan sebagai agenda utama. Sebaliknya, agenda HAM justru semakin ditinggalkan.

“Persoalan HAM tidak diperbincangkan atau tidak menjadi sebuah ukuran. Kalau pun dibicarakan tujuannya hanya untuk menyerang lawan politik,” kata Koordinator Kontras, Yati Andriyani.

Sebagi contoh, kata Yati, dalam kontestasi Pilpres 2014 isu HAM digunakan oleh salah satu kubu untuk mengatakan bahwa lawannya memiliki keterkaitan dalam kasus pelanggaran HAM. Pemakaian is HAM tujuannya tidak lain hanya untuk mendongkrak suara salah satu kubu.

"Misalnya kubu yang satu menyebut kubu lawan melanggar HAM, kemudian kubu yang satu ini menyatakan akan menyelesaikan. Padahal, sebetulnya itu hanya tipu muslihat untuk mendapatkan dukungan politik,” ujarnya.

Isu HAM semestinya diperbincangkan bersifat substantif dengan mencari jalan penyelesaian persoalan HAM serta pemenuhan hak-hak seseorang. Jika hanya sekadar jadi alat pertaraungan, maka  lima tahun ke depan sudah bisa ditebak: kasus pelanggaran HAM tak akan pernah terselesaikan.

Berita Lainnya
×
tekid