sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenangan manis PPP dalam Pemilu 1977

Pada Pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, mengalahkan Golkar, terutama di Aceh dan Jakarta.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 11 Mar 2019 21:06 WIB
Kenangan manis PPP dalam Pemilu 1977

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, partai-partai Islam mengalami kekalahan telak. Hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mampu meraih suara signifikan.

Menurut buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta tahun 1955-1999 (2000) yang diterbitkan Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, PPP berhasil berada di posisi kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dengan perolehan 11.329.905 suara.

Peneliti politik Islam dari Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riza Sihbudi dalam artikel “Kegagalan Islam Politik” di buku Mengapa Partai Islam Kalah? (2002) menulis, selain masalah korupsi, kekalahan partai-partai Islam dalam pemilu usai reformasi 1998 itu disebabkan ketidakmampuan para pemuka gerakan Islam politik dalam menawarkan gagasan-gagasan alternatif yang konkret di bidang ekonomi, dan cenderung defensif terhadap ide-ide Barat.

“Islam politik akan meraih kemenangan jika pemilu sungguh-sungguh demokratis tidak terbukti sama sekali,” tulis Riza.

Akan tetapi, PPP yang menargetkan kenaikan perolehan suara dalam Pemilu 2019, dengan menggarap para pemilih Islam konservatif, tampak berat. Sebab, partai berlambang Kakbah itu terkendala masalah internal dan kekurangan tokoh karismatik.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Desember 2018 menyebut, PPP belum aman memenuhi ambang batas parlemen. PPP hanya memperoleh 3%, dengan persyaratan lolos 4%. Namun, PPP punya kenangan manis merebut suara massa pada Pemilu 1977.

Kuat karena juru kampanye

PPP dibentuk pada 5 Januari 1973. Pada 1975, menurut buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta tahun 1955-1999 (2000), sebelum Pemilu 1977, terjadi penyederhanaan partai peserta, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.

Partai yang diketuai Mohammad Syafa’at Mintaredja itu difusi dengan empat partai bercorak Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Musyarawah Rakyat Banyak (Murba) digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Presiden Joko WIdodo memberikan sambutan ketika menghadiri resepsi Harlah ke-46 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kawasan Ancol, Jakarta, Kamis (28/2). (Antara Foto).

Sehingga tinggal ada dua partai dan satu organisasi, yakni Golongan Karya (Golkar) yang berlaga pada Pemilu 1977.

Pemungutan suara berlangsung pada 2 Mei 1977. Golkar keluar sebagai pemenang, dengan meraih 39.749.835 suara atau 62,11%. Meski begitu, perolehan kursi di parlemen menurun menjadi 232 kursi, atau kehilangan 4 kursi.

Menariknya, suara PPP naik di berbagai daerah, mengalahkan Golkar, terutama di Aceh dan Jakarta. PPP berhasil meraih 18.745.565 suara atau naik 2,17%, meraih 99 kursi. Kenaikan PPP terjadi di basis-basis eks Masyumi, dan ada beberapa tokoh Masyumi sering tampil mendukung PPP.

Selain dua faktor tadi, ada sejumlah faktor lain yang membuat PPP bisa menggaet suara banyak. Figur tokoh menjadi kata kunci keberhasilan satu-satunya partai Islam di masa Orde Baru ini.

Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid merupakan salah seorang juru kampanye PPP dalam Pemilu 1977 yang paling mumpuni. Tak jarang, Cak Nur, begitu orang mengenal, menjadi juru kampanye yang berani mengkritik pemerintah.

Misalnya, pada 10 April 1977, ketika ia berkampanye di Tambaksari, Surabaya. Saat itu, di hadapan 75.000 massa PPP, ia menyinggung masalah pembangunan yang mengalami kemajuan dan berjalan, tetapi tujuan pembangunan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat pampat.

“Nurcholish Madjid meneriakkan ‘hidup Kakbah!’ berulang-ulang sepanjang kampanye hari itu, dan mengimbau seluruh massa untuk menusuk gambar tanda gambar Kakbah,” tulis Merdeka, 14 April 1977.

PPP pun gencar kampanye di Jakarta. Pada April 1977, partai ini menggelar kampanye akbar di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Menurut Merdeka edisi 19 April 1977, massa yang hadir ratusan ribu orang. Mereka rela desak-desakan, dan saat raja dangdut Rhoma Irama tampil di panggung, petugas keamanan sulit mengendalikan massa yang riuh.

“Lautan manusia massa Kakbah yang bergerak beringsut mencoba mendekati podium, menyebabkan Presiden PPP Idham Chalid, yang berjalan terseret-seret tampil ke mimbar tidak lebih dari dua menit,” tulis Merdeka, 19 April 1977.

Sementara, juru kampanye Nurcholish Madjid pun terpaksa berhenti melanjutkan pidato politiknya, setelah pengeras suara mendadak rusak.

Meski massa tak terkendali, tetapi Cak Nur sempat menyampaikan visi dan misi PPP, dan menepis kabar negatif yang beranggapan, bila PPP menang Pemilu 1977 akan mengubah Indonesia menjadi negara Islam.

Cak Nur mengatakan, penguasa Orde Baru tampak lemah, dan tak tahan godaan kekuasaan. Sehingga, di mana-mana terjadi gejala dan kasus yang menunjukkan penyelewengan kekuasaan.

Keadaan itu, kata dia, tak saja menghambat pelaksanaan keadilan sosial tetapi juga menjauhkan keinginan rakyat memiliki pemerintahan yang bersih.

Tepis isu miring

Isu PPP yang akan mendirikan negara Islam bila menang Pemilu 1977 santer menggaung ketika itu. Pemilihan lambang Kakbah sebagai logo partai untuk Pemilu 1977 pun sempat menjadi permasalahan.

Di dalam artikel “Ka’bah setelah Istikharah” di TEMPO edisi 10 Juli 1976 disebutkan, sebelum lambang itu diterima pemerintah sebagai lambang resmi PPP di Pemilu 1977, penguasa Orde Baru sempat meminta diganti.

“Ketua Majelis Syura PPP Bisri Syamsuri didatangi Sekjen Departemen Agama Laksamana Pertama Bahrum Rangkuti. Bahrum diutus pemerintah dan aparat keamanan untuk meminta Bisri mengganti lambang PPP,” tulis TEMPO.

Namun, Bisri bergeming. Ia beralasan, pemilihan tanda gambar Kakbah adalah hasil istikharah (minta petunjuk Tuhan) dan petunjuk Tuhan. Selain itu, cabang-cabang PPP di daerah pun meminta mempertahankan tanda gambar tersebut.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (kedua kanan) didampingi Sekjen Arsul Sani (kanan) menghadiri acara pembukaan Rapimnas IV dan Workshop Nasional PPP di Jakarta, Selasa (26/2). (Antara Foto).

Wakil Ketua Umum DPP PPP Nuddin Lubis ketika itu termasuk tokoh yang santer berusaha menepis isu miring mengganti Indonesia menjadi negara Islam.

“Kalau ada orang-orang yang melontarkan tuduhan seperti itu, kolot dan tolol, karena tidak mengerti perjuangan PPP. Sebab Pancasila, UUD 1945, dan Islam adalah perjuangan PPP,” ujar Nuddin saat berkampanye di Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya pada 22 April 1977, seperti dikutip dari Merdeka, 23 April 1977.

Selain Nuddin, Wakil Sekjen PPP Mahbub Djunaidi sudah mengonfirmasi terlebih dahulu isu miring itu. Dalam Merdeka edisi 16 April 1977, ia secara tegas membantah anggapan itu, dan PPP tak akan melenceng dari jalan strategi nasional.

Menurut Mahbub, PPP memang ingin melakukan perubahan mendasar, tetapi bukan mengubah bentuk negara berdasarkan Islam.

Strategi elegan pun dilakukan PPP saat menjelang Pemilu 1977. Nuddin Lubis, saat berkampanye di Lapangan Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah, berpesan kepada para pendukung partai untuk jangan meniru seperti pendukung di daerah lain, yang memasang palang “stop parpol” atau “stop Golkar.”

Di dalam Merdeka edisi 21 April 1977, Nuddin juga menanggapi isu pemaksaan mencoblos calon legislatif tertentu. Ia menganjurkan agar pendukung Kakbah membuat dan memasang palang bertuliskan “stop paksaan” di depan pintu rumah masing-masing. Tujuannya, agar pelaku “pemerkosa” hak-hak demokrasi sadar dan mundur teratur.

Pada 1984, PPP mengganti lambang partai menjadi bintang. Setelah itu, partai ini bergelut dengan mesin Orde Baru Golkar dan PDI. Saat ini, partai yang sekarang dipimpin Muhammad Romahurmuziy tengah berjuang mencapai ambang batas parlemen.

Berita Lainnya
×
tekid