sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PAN kritisi presidential threshold dalam RUU Pemilu

Seharusnya partai yang lolos parlemen bisa mengajukan capres.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Selasa, 09 Jun 2020 11:28 WIB
PAN kritisi <i>presidential threshold</i> dalam RUU Pemilu

Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR, Guspardi Gaus, mengkritik penerapan ambang batas presiden (presidential threshold) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Dianggap sebagai upaya membatasi pertarungan.

"Sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di pilpres (pemilihan presiden) yang menyebabkan semakin kecil peluang mengusung calon yang mengarah kepada terciptanya polarisasi yang hanya menghadirkan dua paslon (pasangan calon)," ujarnya melalui keterangannya di Jakarta, Selasa (9/6).

Baginya, penerapan ambang batas itu juga tidak logis karena acuannya menggunakan patokan ambang batas hasil pemilu sebelumnya, sesuai Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017. Bunyinya, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."

"Jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, maka pada Pilpres 2024 dimungkinkan jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang," ujarnya.

Hal tersebut, terang Guspardi, sesuai hasil rekapitulasi Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Tidak ada satu pun dari sembilan partai politik (parpol) yang melampaui ambang batas parlemen (parliamentary threshold) mencapai 20%.

Karenanya, mensyaratkan parpol membentuk koalisi demi mencapai ambang batas. Kerja sama tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua paslon.

"Paling tidak partai yang lolos ke Senayan seharusnya diberikan hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden," kata Anggota Komisi II DPR ini.

Untuk itu, Fraksi PAN DPR mendorong penghapusan ambang batas presiden. Alasan lain, bertentangan dengan semangat reformasi. "Dan mencerminkan kemunduran demokrasi," jelasnya.

Sponsored

Pertimbangan lain, akan baik bagi rakyat apabila disuguhkan banyak calon yang berkesempatan maju. Pun mestinya elite belajar dari pengalaman Pilpres 2019, di mana membuat masyarakat terkotak-kotak imbas minimnya paslon.

"Pada masa kampanye Pilpres 2019, masih terngiang dalam ingatan kita panas dinginnya suasana politik saat itu," ucapnya. Dicontohkannya dengan maraknya persekusi, fitnah, hoaks, dan narasi-narasi saling menjatuhkan lawan politik.

Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, mengklaim, isu-isu krusial dalam RUU Pemilu bakal dibahas mendalam. Ambang batas presiden, salah satunya.

Dia melanjutkan, berbagai fraksi di DPR memiliki pandangan beragam. Ada yang ingin seperti pemilu sebelumnya dan formulasi minimal 10% dari jumlah kursi DPR dan 15% suara sah nasional. (Ant)

Berita Lainnya
×
tekid