sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kerja keras relawan dan dasar keilmuan di balik quick count

Hasil quick count atau hitung cepat yang dirilis beberapa lembaga survei mendapatkan protes dari kubu Prabowo-Sandiaga.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Kamis, 25 Apr 2019 13:49 WIB
Kerja keras relawan dan dasar keilmuan di balik quick count

Pengawal dan penguji

Di tengah usaha para relawan di balik layar quick count sebuah lembaga survei, seperti Asrofi dan Rara, banyak tudingan miring terhadap hasil quick count. Hingga kini, quick count sebagian besar lembaga survei menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dari lawannya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Pada 19 April 2019, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pernah menyinggung lembaga survei yang merilis hasil quick count. Menurutnya, lembaga survei adalah tukang bohong yang harus pindah ke Antartika.

Menanggapi hal ini, pengamat politik Ray Rangkuti mengimbau kepada para pelaku lembaga survei untuk bersabar. Ia menuturkan, waktu yang membuktikan siapa yang benar dan berharap agar orang-orang jangan terpancing emosi.

Direktur Lingkar Madani Indonesia ini mengatakan, hasil quick count harus disikapi dengan sewajarnya. Quick count, menurut Ray adalah informasi tentang gambaran penghitungan suara. Kebenarannya bisa dilihat dari dua hal, yakni hasil penghitungannya dan metodologinya.

Ia menuturkan, awal mula ada quick count karena sebelumnya publik tak punya perangkat yang bisa mengecek jumlah suara dan hasil penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago memaparkan hasil survei Voxpol Center Research and Consulting tentang Elektabilitas Capres dan Cawapres 2019, di Jakarta, Selasa (9/4). /Antara Foto.

“Selama Orde Baru orang tidak memiliki perangkat untuk menguji penghitungan suara. Orang tidak tahu berapa jumlah suara yang sah dan tidak, dan berapa persentase sebenarnya dari keseluruhan jumlah suara,” katanya saat dihubungi, Rabu (24/4).

Sponsored

Quick count dipakai pertama kali di Indonesia saat Pemilu 2004. Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) merupakan lembaga pertama yang melakukan penghitungan cepat atau quick count.

Menurut Ray, quick count seharusnya diposisikan sebagai pengawal dan penguji hasil penghitungan suara yang dilakukan resmi oleh KPU.

“Kalau sekarang kan di balik logikanya, quick count diuji keakuratannya dengan data KPU,” katanya.

Ia mengatakan, selama ini hasil quick count selalu tepat dan lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya karena dilakukan dengan metode riset yang jelas. Lagi pula, katanya, rekam jejak sejumlah lembaga survei yang merilis hasil quick count telah terdaftar di KPU dan belum terbukti memiliki rekam jejak yang buruk.

“Karena memang survei itu harus dilakukan oleh orang dengan keahlian ilmu pengetahuan khusus,” ujarnya.

Riset quick count

Sementara itu, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati memandang, secara etika riset, quick count hanya sebagai data pembanding dan data kontrol terhadap real count.

“Tujuannya adalah mengantisipasi adanya temuan error dalam rekapitulasi suara. Jadi, quick count itu bukanlah sebagai hasil sementara pemilu,” tutur Wasisto saat dihubungi, Rabu (24/4).

Bukan kali ini saja hasil quick count memicu perselisihan dua kubu yang menjadi kontestan pemilu. Menurut Wasisto, hal itu pernah terjadi pada Pemilu 2014. Saat itu, Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengeluarkan hasil quick count yang berbeda.

“Ketika ditelusuri, kurang transparan. Sehingga dikeluarkan dari Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia),” ucapnya.

Hasil real count resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 24 April 2019 malam. /pemilu2019.kpu.go.id.

Wasisto menyarankan, sebaiknya hasil quick count diumumkan sebagai hasil final, dan bukan hasil pembaruan data hingga 100%. Selain itu, menurut dia, dijelaskan secara gamblang jumlah sampling sebaran TPS per provinsi, dan bagaimana metodologi samplingnya.

“Sebenarnya dalam menentukan sampling itu tergantung dari luas wilayah dan jumlah penduduknya. Jadi, tiap daerah beda sampling,” kata Wasisto.

Wasisto menjelaskan, sampling itu diambil dari 5.000 hingga 10.000 TPS. Saat angkat sudah di atas 50%, kata dia, artinya sudah menunjukkan stabilnya persentase suara kandidat.

“Tren sudah lebih mudah dibaca kecenderungannya,” ujar Wasisto.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), Asep Saefuddin menjelaskan tentang bagaimana cara quick count bekerja. Ia mengatakan, quick count hanya metode keilmuan, yang meski tingkat akurasinya tinggi, tetap ada kemungkinan salah.

“Statistika mengalokasikan adanya dua tipe kesalahan, yakni salah jenis pertama atau type one error (alfa) dan salah jenis kedua atau type two error (beta),” tutur Asep.

Menurutnya, alfa adalah kesalahan menyimpulkan bahwa quick count salah, padahal kenyataannya benar. Sedangkan beta adalah kesimpulan bahwa quick count benar, padahal kenyataannya salah.

Quick count dihasilkan dari metodologi terukur lembaga survei.

“Alfa berkaitan dengan selang kepercayaan, yakni sebesar 100% alfa. Misalnya, bila alfa 5%, maka selang kepercayaan sebesar 95%. Selang kepercayaan ini jangan diartikan sebagai tingkat kepercayaan, yang secara makna keduanya sangat berbeda,” kata dia.

Lebih lanjut, kata Asep, alfa dan batas galat atau margin of error digunakan lembaga survei dalam penentuan ukuran contoh. Hal ini, kata dia, bertujuan agar ukuran contoh cukup pada selang kepercayaan dan batas galat tertentu.

“Biasanya selang kepercayaan dan batas galat yang diambil masing-masing 95% dan 2%. Akan tetapi, dalam survei atau quick count, yang sangat penting adalah keacakan,” ujarnya.

Menurut Asep, keacakan inilah yang menjaga independensi, sehingga hasil yang diperoleh tak bias. Ia melanjutkan, metode yang tak bias, meski ukuran contoh terlihat kecil, tetap valid dan bisa dipercaya secara keilmuan.

Di sisi lain, Wasisto mengatakan, hasil quick count merupakan pemetaan awal terhadap perilaku memilih masyarakat. Ibaratnya, kata dia, quick count hipotesisnya, sedangkan real count sintesisnya.

Menyinggung polemik hasil quick count, Wasisto berpendapat, ada dua hal yang perlu dibenahi. Pertama, pola pikir masyarakat terhadap quick count perlu diubah, bukan sebagai hasil politik, tetapi hasil riset yang bisa dipertanggung jawabkan. Kedua, lembaga survei perlu bersepakat untuk mengeluarkan hasil angka quick count ketika sudah di atas 50%.

“Jangan seperti sekarang yang justru membuat masyarakat itu penasaran dan terbelah opininya,” kata Wasisto.

Berita Lainnya
×
tekid