Komisi XII DPR mendorong pemerintah segera membentuk satuan tugas khusus guna mempercepat pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Ketua Komisi XII, Bambang Patijaya, mengatakan percepatan pembentukan Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) sangat krusial dalam rangka memastikan kesiapan Indonesia memasuki era energi nuklir.
“Komisi XII mendorong pemerintah mempercepat pengesahan Keputusan Presiden tentang pembentukan NEPIO. Ini penting sebagai satuan tugas percepatan pembangunan dan pengoperasian PLTN demi mendukung target transisi energi nasional,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Dewan Energi Nasional (DEN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan PT Industri Nuklir Indonesia, Kamis (15/5).
Bambang menilai keberadaan satuan tugas tersebut bukan hanya sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mengembangkan energi nuklir, tetapi juga sebagai prasyarat penting dalam penilaian Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang dalam waktu dekat akan menggelar asesmen kesiapan Indonesia. Menurutnya, ini menjadi sinyal kuat Indonesia semakin serius melangkah menuju kemandirian energi melalui pemanfaatan teknologi nuklir. Dengan dukungan politik yang solid, kesiapan regulasi, serta penguatan kelembagaan, pembangunan PLTN berpotensi menjadi tonggak penting dalam transisi menuju energi bersih, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.
“Indonesia harus siap secara administratif dan kelembagaan. Jangan sampai kesiapan teknis terhambat oleh ketidakjelasan struktur kelembagaan,” lanjutnya.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang tengah disusun pemerintah, tercantum proyek strategis pembangunan PLTN dengan kapasitas 500 megawatt dalam 10 tahun ke depan. Untuk itu, Komisi XII menilai kesiapan kelembagaan dan regulasi harus segera dirapikan guna menghindari keterlambatan pembangunan.
Bambang juga menyoroti kerancuan kelembagaan pascapeleburan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ke dalam BRIN. Menurutnya, meskipun BRIN berperan dalam riset dan inovasi, pelaksanaan program nuklir nasional membutuhkan lembaga eksekutor yang memiliki legitimasi dan kewenangan penuh. “Kalau BRIN hanya menjalankan riset, maka pelaksanaan program nuklir belum memiliki institusi yang jelas. Ini bisa menjadi hambatan serius dalam implementasi kebijakan energi nuklir nasional,” tegasnya.
Ia menambahkan, pengembalian peran BATAN sebagai pelaksana program ketenaganukliran sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. “UU tersebut masih berlaku dan menjadi dasar hukum yang kuat. Kita harus menghormati dan menjalankannya secara konsisten,” katanya.