Upaya pemerintah dalam menyejahterakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali menjadi sorotan. Dalam rapat kerja (Raker) yang digelar Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Menteri UMKM Maman Abdurrahman, isu krusial terkait penghapusan piutang macet hingga hambatan akses pembiayaan tanpa agunan bagi pelaku UMKM menjadi titik tekan utama.
Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menegaskan rapat ini bertujuan mengevaluasi komitmen pemerintah dalam menjadikan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Salah satu sorotan penting adalah pelaksanaan kebijakan penghapusan piutang macet, yang diharapkan mampu memberikan napas baru bagi UMKM yang terdampak pandemi dan tekanan ekonomi global.
“Materinya tadi itu ya, soal penghapusan piutang macet pada UMKM dan tentu hal-hal teknis lain yang menjadi tugas fungsi daripada Kementerian UMKM,” ujar Saleh dalam Raker di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (30/4).
DPR juga menyoroti akar persoalan klasik dalam akses pembiayaan KUR: masih adanya praktik permintaan agunan tambahan oleh bank, meskipun secara kebijakan, pinjaman di bawah Rp100 juta seharusnya bebas agunan.
“Kalau ada masyarakat yang ingin mendapatkan KUR Rp100 juta atau lebih kecil dari itu maka tidak diperlukan jaminan. Tapi di lapangan, tetap saja mereka diminta agunan tambahan,” kata Saleh.
Ia menambahkan, hambatan administratif dan akses yang tidak merata membuat KUR sering jatuh ke tangan pelaku usaha yang itu-itu saja.
Persoalan ini, menurutnya, bukan hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga memperlambat langkah konkret pemerintah dalam mengangkat kesejahteraan pelaku UMKM. Padahal, UMKM menyerap lebih dari 90% tenaga kerja nasional dan berkontribusi besar pada produk domestik bruto (PDB).
Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian, Saleh mendesak Kementerian UMKM untuk merumuskan strategi jangka panjang yang bukan hanya reaktif terhadap krisis, tetapi proaktif dalam memperkuat daya saing UMKM Indonesia, termasuk memperluas pasar ekspor.
“Kalau UMKM tidak bisa jual ke luar negeri karena pasar sedang ketat, tentu harus ada strategi lain. Pemerintah tidak boleh membiarkan mereka jalan sendiri,” tuturnya.