Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Maman Imanulhaq menyampaikan perlunya revisi menyeluruh terhadap UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah guna menyesuaikan dengan sistem baru yang diterapkan Arab Saudi, termasuk digitalisasi layanan dan pengelolaan oleh syarikat swasta.
“Arab Saudi menetapkan timeline haji 2026 mulai 8 Februari, dengan keberangkatan pertama pada April. Ini menuntut kesiapan jauh lebih awal dari Indonesia,” ujar Maman dalam diskusi di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (11/6).
Menurutnya, penyelenggaraan haji tahun ini tercatat sebagai yang paling sepi dalam tiga dekade terakhir, dan menjadi sinyal penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh, terutama dalam penguatan sistem pendataan jemaah.
“Digitalisasi sudah menjadi keniscayaan. Kita harus bisa memastikan data jemaah lengkap dan akurat sejak awal. Kasus di Bandung dan Indramayu menjadi pelajaran,” jelasnya.
Maman juga menekankan pentingnya ketegasan dalam seleksi kesehatan calon jemaah. Ia menilai edukasi kesehatan haji harus ditingkatkan demi keselamatan jemaah.
Selain itu, ia menyoroti perlunya perbaikan sistem transportasi dan akomodasi, termasuk profesionalisme sopir serta koordinasi antarpenyelenggara layanan di Arab Saudi.
“Diperlukan kejelasan peran antara regulator, pelaksana, dan pengawas dalam revisi undang-undang agar penyelenggaraan haji lebih tertata,” tambahnya.
Maman juga mengusulkan agar Badan Pengelola Haji dilengkapi dengan unit kehumasan untuk menjamin keterbukaan informasi bagi publik.
Komisi VIII DPR, kata Maman, berkomitmen untuk terus mengawal revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, termasuk revisi UU Keuangan Haji agar semakin transparan dan akuntabel.
“Haji adalah etalase pelayanan publik kita. SDM (sumber daya manusia) haji harus disiapkan bukan hanya dari sisi keagamaan, tapi juga teknis, logistik, hingga pemahaman kontrak dan layanan,” ujarnya.