close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Massa pengunjuk rasa menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. /Foto Antara
icon caption
Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Massa pengunjuk rasa menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. /Foto Antara
Peristiwa
Senin, 14 Juli 2025 13:00

Kenapa masyarakat sipil menolak RKUHAP?

Menurut koalisi masyarakat sipil, ada 11 poin bermasalah dalam rancangan KUHAP yang saat ini dibahas di DPR.
swipe

Sebuah petisi daring diluncurkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP di laman Change.org, Jumat (11/7) lalu. Sejak diluncurkan, petisi bertajuk ”Tolak Revisi KUHAP Abal-abal” sudah ditandatangani oleh 4.860 warganet. 

Terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, koalisi meluncurkan petisi itu karena menganggap penyusunan draf RKUHAP oleh pemerintah dan DPR dipenuhi penuh kejanggalan dan manipulasi. Pembahasan RUU itu juga minim partisipasi publik. 

"RKUHAP yang sedang dibahas dan dikebut untuk disahkan secara kilat telah menjadi "Rancangan Kitab Undang-Undang Harapan Palsu" karena berpotensi memperkuat impunitas, melemahkan hak-hak tersangka dan terdakwa, serta mempertahankan praktik korup dan penyalahgunaan wewenang aparat," tulis Koalisi. 

Revisi KUHAP saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025. Beleid itu dinilai perlu direvisi karena sudah berusia 44 tahun dan kurang relevan dengan perkembangan zaman. 

Koalisi menyoroti sejumlah kejanggalan dalam pembahasan RKUHAP. Salah satunya ialah modus partisipasi palsu. Koalisi mencontohkan pernyataan Komisi III DPR RI dalam rapat dengar pendapat  umum  (RDPU) mengenai RKUHAP di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (18/6). 

Dalam forum tersebut, Komisi III DPR RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. "Klaim ini manipulatif, karena Koalisi tidak pernah hadir dalam RDPU dengan DPR," jelas Koalisi. 

Koalisi baru menghadiri satu kali undangan pemerintah melalui Kementerian Hukum untuk menyampaikan pandangan tentang RKUHAP pada 27 Mei 2025. Dalam pertemuan tersebut, Koalisi maupun akademisi yang diundang dalam pertemuan yang sama tak diberitahu mengenai tahapan selanjutnya. 

Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RKUHAP. "Pertemuan-pertemuan antara pemerintah dan masyarakat sipil tak lebih sebagai ajang formalitas penyampaian pendapat tanpa secara serius dipertimbangkan," jelas Koalisi. 

Menurut Koalisi, pasal-pasal yang diatur dalam draf RKUHAP tak menjawab masalah faktual praktik KUHAP selama ini, seperti laporan mandek (undue delay), salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, dan penjebakan. Materi RKUHAP justru berpotensi memperkuat impunitas, melemahkan hak tersangka dan terdakwa, serta mempertahankan praktik korup dan penyalahgunaan wewenang aparat.

 

Pasal-pasal bermasalah 

Koalisi menemukan setidaknya ada 11 poin bermasalah dalam draf RUU KUHAP. Pertama, Polri jadi makin superpower dalam proses penyidikan membawahi penyidik non-Polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

Kedua, TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. Indikasi itu tertuang dalam Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4) draf RUU KUHAP. "Ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana umum," jelas Koalisi. 

Ketiga, polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini, menurut Koalisi, berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1x24 jam. 

Keempat, polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penyidik. Kelima,  alasan penahanan dipermudah. Keenam, penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. 

Ketujuh, penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi sebagaimana bunyi pasal 112 Ayat (3). "Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik," terang Koalisi. 

Kedelapan, pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Kesembilan, bantuan hukum tidak untuk semua orang. 

Kesepuluh, hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Kesebelas, bahaya penyadapan sewenang-wenang. "Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subyektif penyidik," jelas Koalisi. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan