Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mufti Anam, menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), khususnya di wilayah-wilayah sensitif secara ekologis seperti Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menekankan kebijakan terkait izin tambang harus berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan kemakmuran masyarakat setempat.
“Kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang. Jangan sampai pemerintah menjadi makelar tambang,” ujar Mufti dalam keterangannya, Kamis (12/6).
Raja Ampat dikenal sebagai kawasan konservasi laut dunia dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Mufti mengingatkan aktivitas tambang di wilayah tersebut dapat mengancam ekosistem unik dan merusak habitat berbagai spesies flora dan fauna yang langka dan terancam punah.
“Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita sebagai bangsa. Raja Ampat bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga,” tegas politisi dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Ia menekankan penambangan di pulau-pulau kecil, termasuk yang berada di Raja Ampat, tidak hanya berisiko secara ekologis, tetapi juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yakni, UU Nomor 1 Tahun 2014 jo UU Nomor 27 Tahun 2007, yang melarang kegiatan tambang di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km².
Mufti juga mempertanyakan bagaimana proses izin tambang bisa dikeluarkan di wilayah yang masuk dalam kawasan konservasi dan dekat dengan destinasi wisata utama seperti Pulau Piaynemo.
“Bahkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang RTRW justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan. Ini sangat kontradiktif dengan aturan nasional,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyayangkan adanya narasi dari sejumlah pihak yang terkesan membela aktivitas tambang meskipun bertentangan dengan aspirasi masyarakat lokal. Mufti menegaskan Raja Ampat adalah kawasan wisata dan konservasi kelas dunia yang tidak sepatutnya dijadikan zona industri ekstraktif.
“Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang menjadi modal kehidupan masa depan,” ucapnya.
Ia pun mendesak pemerintah agar bertindak tegas dalam menutup izin-izin tambang yang bermasalah. Langkah ini, menurutnya, adalah bagian dari komitmen negara dalam menegakkan hukum serta menjaga kelestarian alam Indonesia.
“Raja Ampat harus dilindungi, bukan dirusak. Dengarkan suara rakyat, bukan hanya suara pemilik modal. Jangan jual surga dunia yang ada di Indonesia demi keuntungan sesaat,” tutur Mufti.