Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Abraham Sridjaja, menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran harus mengatur konten digital secara hati-hati dan bertanggung jawab, terutama dalam menyikapi tayangan yang memuat unsur lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT. Ia menilai perlindungan terhadap anak-anak dan generasi muda dari konten yang dinilai tidak sesuai dengan nilai masyarakat Indonesia adalah tanggung jawab bersama.
“Semua stakeholder sepakat batasan konten, baik di media konvensional maupun digital, harus tegas dan konsisten. Kita tidak ingin ada tayangan LGBT yang merugikan anak-anak kita,” kata Abraham di Kompleks Parlemen, Selasa (17/6).
Abraham menyoroti dalam draf RUU terbaru, definisi penyiaran diperluas hingga mencakup platform digital seperti Netflix, YouTube, TikTok, dan Instagram. Namun ia mengingatkan proses pengawasan terhadap konten digital harus tetap menjaga keseimbangan antara perlindungan publik dan kebebasan berkreasi.
“Saya khawatir, kalau diseragamkan tanpa batas yang jelas, justru bisa memunculkan birokrasi baru yang menghambat kreativitas anak-anak muda kita. Apalagi jika sampai terjadi praktik transaksional dalam pengawasan,” ujarnya.
Meski begitu, ia menegaskan RUU ini tidak bisa mengabaikan kekhawatiran publik terhadap penyebaran konten sensitif seperti LGBT, yang dinilai tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya di banyak daerah di Indonesia.
“Bukan berarti kami antidigital. Tapi kami ingin konten digital yang sehat, mendidik, dan tidak melanggar norma. Semua pihak punya tanggung jawab yang sama,” tegas Abraham.
Ia menyatakan Komisi I DPR berkomitmen untuk menyusun regulasi yang tidak tumpang tindih, adil, dan dapat ditegakkan secara efektif, tanpa menekan ruang berekspresi yang positif.
“Kita tidak bisa buru-buru. Kita perlu pasal-pasal yang presisi agar tidak blunder, dan yang paling penting, jangan sampai ada celah yang merugikan publik, khususnya anak-anak,” tuturnya.