Sejarah lokal jangan hanya dalam bingkai pemberontakan
Narasi sejarah lokal diharapkan tak hanya ditulis dalam bingkai kasus-kasus pemberontakan pada era demokrasi liberal dekade 1950-an. Pakar kajian otonomi daerah dan juga guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan mengatakan peran daerah dalam kemerdekaan juga harus jadi bagian penting dalam buku sejarah nasional yang sedang disusun Kementerian Kebudayaan.
"Sekalipun itu (pemberontakan) memang fakta sejarah. Tapi, jauh sebelum itu terjadi rakyat di daerah turut serta dalam proses perjalanan panjang terbentuknya sebuah negara Indonesia. Semula, Indonesia itu imajinasi. Menyoal pemberontakan daerah yang pernah terjadi, itu juga salah pemerintah pusat karena tidak memperlakukan adil rakyat di daerah," kata Djohermansyah kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Mei lalu, Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah RI, Profesor Susanto Zuhdi mengungkapkan buku sejarah nasional yang baru direncanakan bakal berisi 10 bab, mulai dari ketika Indonesia belum mengenal tulisan atau masa sejarah awal hingga era Reformasi dan pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Bab VIII bertajuk "Demokrasi Liberal". Bab itu didesain untuk menceritakan sejarah dari tahun 1950-an. Saat itu, terjadi sejumlah pemberontakan di dalam negeri, semisal berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta).
Djohermansyah mengaku khawatir sejarah daerah terdistorsi oleh narasi sejarah yang terlampau nasionalistik. Padahal, sejarah lokal memiliki beragam muatan penting, semisal terkait kebudayaan, desentralisasi dan juga keragaman daerah yang menjadi keniscayaan dari sebuah proses berdirinya negara bangsa Indonesia.
"Ambil contoh saja Yogyakarta, Dia punya pemimpin yang turut berkontribusi pada terbentuknya negara, dengan alasan ini dia diberi keistimewaan. Daerah lain juga punya keunikan sendiri," kata Djohermansyah.
Sejarah desentralisasi yang cukup panjang, kata Djohermansyah, potensial tenggelam demi mengubur semangat otonomi daerah yang saat ini mulai melemah karena gejala resentralisasi. Padahal, jika dirujuk ke masa lalu, desentralisasi di Indonesia sudah bermula dari era kolonial Belanda.
Pada masa kolonial, Belanda menerapkan desentralisasi terbatas melalui Decentralisatie Wet 1903, yang kemudian diperkuat dengan Decentralisatie Besluit (1905) dan Locale Raden Ordonantie (1905). Setelah kemerdekaan, desentralisasi terus berkembang, dengan UU No. 18/1965 yang menekankan otonomi daerah yang riil dan seluas-luasnya.
"Founding fathers kita sudah merumuskan otonomi daerah melalui UU No 22 Tahun 1948. Sampai perkembangan pada era Reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menjadi tonggak penting sejarah desentralisasi. Artinya, segitu pentingnya daerah itu diberi marwah. Jadi, jangan hanya sebatas memberi bingkai perlawanan atau pemberontakan. Itu kurang elok," jelas Djohermansyah.
Jika narasi sejarah daerah yang arif dan adil tidak diberi ruang memadai dalam penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, Djohermansyah berharap sejarawan generasi muda yang kritis bisa memperkaya narasi sejarah daerah dengan riset termukhtahir.
"Agar sejarah daerah tidak semata dilihat dari sisi pemberontakan kepada pemerintah pusat, tapi lebih pada narasi yang adil, arif dan apa adanya dinamika di daerah. Jadi, tulisan sejarah harus dimulai dari bawah atau bottom-up, bukan hanya dari atas," imbuh dia.
Sebelumnya, Kemenbud berencana menggelar uji publik terhadap naskah penulisan sejarah nasional Indonesia pada Juli 2025. Menbub Fadli Zon mengatakan proses itu bertujuan agar publik dan komunitas sejarawan dapat memberikan masukan terbuka atas hasil kerja tim penulisan ulang sejarah RI.
“Penulisan ini tidak dimulai dari nol. Sudah ada dasar sebelumnya, tapi perlu diperbarui. Selama 26 tahun terakhir belum ada penambahan signifikan, terutama mencakup era reformasi hingga masa kini,” ujar Fadli kepada wartawan di Jakarta, pekan lalu.
Dalam penulisan ulang sejarah RI, pemerintah melibatkan 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di Indonesia. Dalam proses penyusunan naskah, menurut Fadli, ada banyak temuan baru yang relevan untuk dimasukkan ke dalam dokumen naskah sejarah RI yang baru.
Ia mencontohkan jejak arkeologis di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan yang berusia lebih dari 51 ribu tahun serta indikasi masuknya Islam ke Nusantara sejak abad ke-7 di situs Bongal, Tapanuli Utara.
“Ini bukan hanya soal masa lalu, tapi juga arah masa depan. Kita tidak ingin menulis sejarah untuk memecah belah, tapi untuk mempersatukan bangsa,” ujar politikus Partai Gerindra itu.


