Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rifqinizamy Karsayuda, menekankan pentingnya pengawasan dan pembenahan regulasi dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk menjamin integritas pemilihan kepala daerah atau Pilkada di Indonesia. Menurutnya, potensi kecurangan dalam PSU jauh lebih tinggi dibandingkan pemilihan normal karena pasangan calon cenderung mempertaruhkan segalanya dalam ruang kontestasi yang lebih sempit.
“Secara logika, potensi kecurangan dalam PSU bisa empat kali lipat lebih besar dibanding pilkada biasa,” kata Rifqi dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/5).
Ia menjelaskan, sempitnya ruang waktu dan kesempatan untuk menggugat hasil PSU membuat pasangan calon lebih berani melakukan pelanggaran demi kemenangan. Salah satu contoh yang disampaikan Rifqi adalah praktik politik uang yang nilainya bisa melonjak drastis saat PSU.
“Dalam pilkada normal, money politics bisa Rp300.000, tapi saat PSU bisa saja mencapai Rp5 juta. Saya sampaikan ini secara terbuka agar semua pihak memahami urgensinya,” ujar Rifqi.
Sebagai langkah konkret, Rifqi meminta penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data serta temuan kecurangan secara terperinci selama pelaksanaan PSU. Menurutnya, data valid tersebut akan menjadi landasan penting bagi DPR dan pemerintah dalam mengevaluasi efektivitas sistem PSU yang berlaku saat ini.
“Kalau kita tidak punya indikator atau data pelanggaran yang jelas, maka sulit bagi kita menentukan apakah sistem ini layak dipertahankan,” kata politisi Partai Nasdem itu.
Di samping itu, Rifqi juga menekankan pentingnya merumuskan norma hukum baru dalam revisi Undang-Undang Pemilu untuk meminimalkan potensi kecurangan, terutama dalam PSU. Ia menegaskan, penegakan hukum harus dengan sanksi yang tegas, bukan hanya demi keadilan elektoral, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi.
“Kita harus rumuskan norma bersama agar pelanggaran bisa diminimalkan. Mungkin tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, tapi tugas kita adalah memastikan hukum ditegakkan dan pelanggaran dikenai sanksi tegas,” pungkasnya.