Generasi Z yang kerap "disepelekan" sebagai generasi labil, ternyata melek isu-isu global. Mayoritas generasi Z mengonsumsi konten berita ketimbang jenis konten-konten lainnya. Mereka juga punya mimpi untuk bisa berkontribusi terhadap masa depan yang lebih baik untuk bumi.
Demikian poin-poin utama hasil riset yang dipublikasikan Global Coalition for Youth Mental Health di Social Innovation Summit di San Francisco, Amerika Serikat (AS), awal Juni lalu.
Global Coalition for Youth Mental Health merupakan inisiatif kerja sama berbagai lembaga yang digagas United Nations Children's Fund (UNICEF), salah satu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Global Coalition for Youth Mental Health juga disokong oleh Z Zurich Foundation dan sejumlah perusahaan besar, semisal Lululemon, Jo Malone London, Pinterest, Rituals, Sony Group Corporation, Spotify, dan Zurich Insurance Group.
"Gen Z membaca berita lebih banyak ketimbang konten lainnya, dengan enam dari sepuluh di antaranya mengaku kewalahan menghadapi peristiwa-peristiwa terbaru," tulis Global Coalition for Youth Mental Health dalam salah satu poin temuannya.
Temuan itu didapat dari survei terhadap 5,600 responden dari kalangan gen Z dari berbagai belahan dunia. Rentang usia responden yang dijadikan sampel dari 14-25 tahun.
Gen Z, tulis Global Coalition for Youth Mental Health, merupakan generasi yang kreatif dan punya determinasi tinggi. Namun, isu-isu terkait konflik geopolitik, krisis ekologi, dan ketidakpastian ekonomi membuat mereka rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
"Empat dari sepuluh orang (responden) merasakan stigma ketika mereka berbicara mengenai persoalan kesehatan mental di sekolah atau tempat kerja. Hanya setengah dari jumlah responden yang paham mencari cara untuk menyokong kesehatan mental mereka," tulis Global Coalition for Youth Mental Health.
Kegiatan-kegiatan yang melibatkan gerak badan, membangun koneksi sosial, dan berpikir, semisal berjalan, bermain, atau menghabiskan waktu dengan keluarga dianggap sebagai obat stres bagi kalangan gen Z. Meskipun hidup dalam tekanan, sebanyak 60% gen Z tetap punya asa bisa berkontribusi membuat perubahan.
"Riset ini memberikan gambaran vital mengenai kecemasan yang dirasakan kalangan gen Z menghadapi situasi dunia saat ini selain juga menunjukkan betapa terbatasnya sumber daya yang dibutuhkan gen Z untuk menjaga kesehatan mental mereka," kata Director of Private Fundraising and Partnerships Unicef, Carla Haddad Mardini.
Ilustrasi orang yang mengalami depresi./Foto PDPics/Pixabay.com
Menurut Carla, gen Z butuh bantuan dari berbagai pemangku kebijakan untuk bisa berkembang menjadi calon pemimpin di masa depan. Salah satu fokus utama pemerintah dan pemangku kepentingan ialah memastikan akses terhadap fasilitas kesehatan mental.
“Generasi anak muda yang ada sekarang punya harapan, kemampuan, dan komitmen yang dibutuhjan untuk membangun dunia yang lebih resilien dan ramah," kata Carla.
Anne Wintroub, Head of Social Impact and Engagement Lululemon, mengatakan riset yang dipublikasi Global Coalition for Youth Mental Health menunjukkan kian pentingnya kesehatan mental bagi generasi muda saat ini.
"Kita harus bekerja sama--di semua sektor, industri, dan kawasan--untuk memperkecil jarak dan mencari solusi yang bisa mewarkan pelayanan kesehatan mental dan pengalaman terbaik bagi semua anak, remaja, dan pengasuh mereka," kata Wintroub.