close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sesi wawancara bersama pemimpin redaksi IDN Times Uni Lubis di Jakarta, Juni 2025. /Foto Instagram @fadlizon
icon caption
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sesi wawancara bersama pemimpin redaksi IDN Times Uni Lubis di Jakarta, Juni 2025. /Foto Instagram @fadlizon
Peristiwa
Selasa, 17 Juni 2025 10:15

Yang tersirat dari "rumor" pemerkosaan massal 1998 Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon diprotes karena menyebut pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998 sekadar rumor.
swipe

Pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon soal tak adanya bukti pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan 1998 memantik polemik. Sejumlah aktivis hak asasi manusia menyebut Fadli berupaya membelokkan sejarah. Apalagi, Kemenbud sedang menggarap proyek buku penulisan ulang sejarah Indonesia. 

Protes keras, salah satunya, disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia (AII) Usman Hamid. Menurut Usman, tak sepatutnya Fadli Zon menyebut pemerkosaan massal pada era itu sebagai rumor semata. 

"Dia juga tidak memiliki otoritas untuk menyebut peristiwa pemerkosaan massal itu ada atau tidak... Menteri Kebudayaan sekarang seperti memberikan penyangkalan interpretatif," ucap Usman dalam sebuah keterangan video, Selasa (17/6). 

Dalam wawancara bersama Pimred IDN Times Uni Lubis, Senin (8/6) lalu, Fadli Zon mengklaim tidak ada bukti konkret yang menyatakan bahwa peristiwa pemerkosaan massal terhadap para perempuan beretnis Tionghoa pada 1998 benar-benar terjadi. 

"Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ucap Fadli. 

Usman mengatakan Fadli semestinya merujuk pada temuan Komnas HAM ataupun Tim Gabungan Pencari Fakta saat kerusuhan Mei 1998. Temuan itu sudah disampaikan pada Presiden RI BJ Habibie. "Ini (pernyataan Fadli) perlu dikoreksi," kata Usman. 

Anggota Komnas Perempuan Deden Sukendar mengatakan Fadli Zon semestinya tak mengeluarkan pernyataan itu. Terlebih, kementeriannya sedang menggarap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Pernyatan Fadli bisa dipersepsikan sebagai sikap negara terkait sejarah di masa lalu. 

"Jika pernyataan seperti itu diterima dan digunakan sebagai dasar penulisan sejarah, maka kemungkinan besar penulisan sejarah yang akan terkonstruksi adalah menafikan atau mengurangi signifikansi peristiwa pemerkosaan massal 1998 sehingga mengubah narasi sejarah yang telah diterima secara luas sesuai hasil penilaian TGPF," kata Deden kepada Alinea.id, Senin (17/6). 

Deden menilai penulisan sejarah ulang semestinya bebas dari intervensi penguasa sehingga tetap objektif. Ia khawatir pernyataan Fadli terkait 
"rumor" pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 hanya merepresentasikan persepsi pribadinya. 

"Dalam hal ini, penulisan sejarah yang terkonstruksi kemungkinan besar akan menjadi legitimasi bagi mereka yang ingin menutupi atau mengurangi signifikansi peristiwa pemerkosaan massal 1998. Hal ini dapat memiliki dampak negatif pada proses rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban dan keluarga mereka," kata Deden. 

Deden mengatakan fakta pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998 sudah disampaikan TGPF dan telah diakui Habibie, Presiden RI ketika itu. Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Radika Coomaraswamy juga sudah membenarkan adanya pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. 

"Dia datang November 1998 dan laporan terbit di tahun berikutnya. Dalam laporannya, ia menemukan adanya culture of denial atau budaya menyangkal di kalangan aparat negara. Bahkan tidak menganggap peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan ini sebagai persoalan penting untuk diperhatikan. Apalagi, untuk melakukan penyelidikan dan proses peradilannya," kata Deden. 

Fadli, kata Deden, seolah mengulang culture of denial yang dipraktekkan aparat keamanan pada 1998. Dampak terburuknya, para pelaku yang hingga kini belum pernah terjerat hukum bisa melenggang bebas karena adanya impunitas negara.  
 
"Belum ada pertanggungjawaban. Meski masyarakat sudah mengupayakan upaya perangkat hukum, kebijakan, dan institusional untuk memungkinkan ada akses pada keadilan. Hingga kini (hampir 30 tahun), korban belum mendapatkan hak atas kebenaran dan keadilan sesuai harapan," kata Deden.

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Hendardi menilai proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia yang disponsori pemerintah sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kehendak politik rezim. 

"Publik tentu masih mencatat dengan sangat baik bahwa sejarah perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan kelahiran Pancasila dan tragedi 1965, pernah diupayakan untuk direkayasa dan dibelokkan rezim Orde Baru melalui penulisan sejarah versi rezim yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto," kata Hendardi. 

Hendardi menilai narasi yang disampaikan Fadli Zon menyoal penyangkalan kasus pemerkosaan massa pada 1998 menandakan ada kepentingan penyembunyian sejarah kelam kekuasaan terhadap masyarakat sipil. 

Padahal, penyelidikan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman sudah menyampaikan data mengenai kasus pemerkosaan massal pada 1998 kepada Presiden Habibie 

"Selain tidak punya empati terhadap korban, Fadli, yang lahir dan tumbuh serta dikenal luas sejak lama sebagai pendukung dan pembela Orde Baru, juga berhalusinasi, mengarang bebas, dan bertentangan dengan pernyataan resmi negara sebelumnya melalui Presiden RI BJ Habibie," kata Hendardi.  

Hendardi menyarankan Kemenbud membatalkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek itu, kata dia, terkesan ingin mengabaikan sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu. "Pemerintah juga harus menunjukkan itikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini," kata Hendardi.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan