Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/7). Salah satu poin utama yang dibahas kali ini ialah soal perlindungan terhadap kaum rentan, terutama perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Anggota Komisi III DPR RI, Bimantoro Wiyono mengatakan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang rentan menjadi perhatian serius DPR dalam pembasasan RKUHP. Perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak jadi pertimbangan DPR dalam menyusun substansi RUU.
“Seperti masalah ibu hamil dan anak di bawah umur. Ini akan menjadi pertimbangan kami dalam merumuskan RKUHAP. Saya rasa sudah banyak yang sudah diakomodir sampai saat ini,” kata Bimantoro dalam rapat dengar pendapat bersama Komnas Perempuan.
Hal senada disampaikan anggota Komisi III lainnya, Rikwanto. Ia menyebut pembahasan RKUHAP perlu mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi, namun juga tidak melupakan sisi perlindungan.
“Masalah gender ini spesial. Perlindungan terhadap perempuan dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas harus dikedepankan,” katanya dalam kesempatan serupa.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, menyampaikan hasil pemantauan lembaganya yang menunjukkan bahwa korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, sering mengalami hambatan dalam proses hukum. Ia menyebut masih banyak terjadi penyiksaan nonfisik dan tindakan tidak manusiawi bahkan sejak awal pelaporan.
“Fakta dari mitra-mitra kami di lapangan menunjukkan, proses hukum seringkali tidak berpihak pada korban. Ada laporan yang tidak diproses selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Korban pun tidak mendapatkan pendampingan yang layak sejak awal pelaporan,” jelasnya.
Komnas Perempuan berharap RKUHAP dapat menjadi payung hukum yang mengintegrasikan perlindungan khusus yang sudah diatur dalam berbagai undang-undang sektoral, agar lebih solutif dan berpihak pada korban.
“RKUHAP ini semestinya menjadi tonggak baru yang komprehensif, mencerminkan pengalaman nyata korban dan pendamping di lapangan. Ini bukan hanya soal norma hukum, tapi juga soal keadilan substantif,” jelas Ratna.