sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Efek domino kemunduran Mahfud

Kemunduran Mahfud diikuti pejabat di lingkungan Istana dan petinggi BUMN. Namun, itu tidak cukup untuk 'memukul' Jokowi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 03 Feb 2024 14:48 WIB
Efek domino kemunduran Mahfud

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD resmi mundur dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI. Surat pengunduran diri Mahfud telah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (1/2). 

"Secara resmi dan dengan penuh hormat hari ini nyatakan surat menyatakan minta atau mohon berhenti. Saya juga mohon maaf ke beliau kalau ada masalah-masalah yang kurang saya laksanakan dengan baik," kata Mahfud dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan.

Langkah Mahfud diikuti Jaleswari Pramodhawardani. Berbarengan dengan Mahfud, Dhani, sapaan akrab Jaleswari mengumumkan mundur dari jabatan Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) per 1 Februari 2024. Di Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Ganjar-Mahfud), Dhani menjabat sebagai Deputi Inklusi. 

Dhani mengatakan perlu mundur demi menegakkan etika pejabat publik. Menurut Dhani, tidak etis jika dia masih bekerja di bawah Jokowi selagi aktif mendukung pasangan Ganjar-Mahfud. Apalagi, Jokowi kian terang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). 

"Saya dapat dipersepsikan sebagai beban politik bagi Bapak Presiden maupun lembaga kepresidenan secara umum dikarenakan pilihan politik pribadi saya," ujar Dhani dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id

Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga mengambil langkah serupa. Sobat Jokowi itu mundur dari jabatannya lantaran berniat mengampanyekan Ganjar-Mahfud secara terbuka. Sejak 2019, Ahok bergabung menjadi kader PDI-Perjuangan, parpol pengusung Ganjar-Mahfud. 

Sebelum bergabung dengan PDI-P dan jadi Komut Pertamina, Ahok menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Ia meneruskan jabatan yang ditinggalkan Jokowi. Pada 2014, Jokowi diusung menjadi capres setelah kurang lebih setahun menjabat Gubernur DKI didampingi Ahok. Hingga kini, Ahok masih punya banyak pendukung di ibu kota. 

Secara khusus, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran, Nusron Wahid menyoroti mundurnya Ahok demi berkampanye untuk Ganjar-Mahfud. Menurut dia, kemunduran bukan peristiwa politik luar biasa. Apalagi, Ahok memang berstatus sebagai politikus. 

Sponsored

"Ahok juga sudah sampaikan dukungan ke Ganjar sejak Oktober (2023). Jadi, semua orang sudah tahu. Mungkin karena sekarang lagi tren mundur di sana, ya, sekalian mundur untuk ikut kampanye. Tidak ada yang salah," ujar Nusron. 

Analis politik Citra Institute, Yusak Farchan menilai mundurnya Mahfud tak akan signifikan mempengaruhi kredibilitas pemerintahan Jokowi. Menurut dia, langkah mundur Mahfud baru akan berdampak jika diikuti menteri-menteri kabinet lainnya, terutama dari kalangan profesional. 

Yusak mencontohkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR Basuki Hadimuljono. "Kalau mereka mundur bisa menurunkan kredibilitas pemerintahan Jokowi,"ucap Yusak kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Sri Mulyani dan Basuki dikenal sebagai dua menteri utama Jokowi yang  punya kinerja ciamik. Sejak beberapa pekan lalu, keduanya santer diisukan akan mengundurkan diri karena tak sreg dengan manuver-manuver Jokowi di Pilpres 2024. 

Yusak menilai mundurnya Mahfud tak semata soal etika pejabat publik. Ada kepentingan elektoral yang melatarbelakangi manuver itu. Mahfud, kata dia, perlu menegaskan posisi lantaran Jokowi sudah terang-terangan membantu pemenangan Prabowo-Gibran. 

"Keputusan Mahfud mundur dari kabinet karena asalan untuk memperjelas posisi. Sebab, secara elektoral, (tingkat keterpilihan) mereka (Ganjar-Mahfud) tidak bertambah dan mereka perlu posisi yang jelas," ucap Yusak.

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) menyerahkan pesawat C-130J-30 Super Hercules A-1344 kepada TNI Angkatan Udara (AU) di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, 24 Januari 2024. /Foto Instagram @jokowi

Erosi demokrasi

Analis politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal menilai mundurnya Mahfud tak akan signifikan menambah tingkat elektabilitas. Pasalnya, Mahfud mundur sekira dua pekan jelang pencoblosan. Di lain sisi, elektabilitas Ganjar-Mahfud terus digerus kompetitor mereka. 

"Beda cerita bila pengunduran diri Mahfud dilakukan sejak satu bulan lalu. Gelombang simpatinya sebagai penjaga pagar etika demokrasi bisa membesar. Kalau saat ini, (Ganjar-Mahfud) harus ekstra keras untuk mengglorifikasi momentum pengunduran diri," ucap Iqbal kepada Alinea.id, Kamis (1/2).

Menurut Iqbal, upaya Ganjar-Mahfud untuk mendongkrak elektabilitas kian sulit lantaran Jokowi juga aktif bermanuver. Ia mencontohkan gelontoran bantuan langsung tunai (BLT) hingga Rp11 triliun dari pemerintah  serta rencana menaikkan gaji aparatur sipil negara, personel TNI, dan Polri jelang pencoblosan pemilu pada 14 Februari 2024. 

"Di sisi lain, pasangan Anies (Baswedan)-Muhaimin (Iskandar) makin melesat dan meraih banyak simpati dari berbagai lapisan masyarakat karena meningkatnya simpati narasi perubahan. Daya ungkit elektoral Mahfud masih harus diuji dengan pembuktian pemenangan di the real battle ground, Jawa Timur dan Jawa Tengah," ucap Iqbal.

Meski begitu, bukan berarti kemunduran Mahfud tak punya dampak sama sekali. Menurut Iqbal, kemunduran Mahfud bisa mempengaruhi opini publik pada isu stabilitas hukum dan keamanan. Apalagi, saat ini indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sedang merosot, dari posisi 110 pada 2022 menjadi 115 pada 2023. 

"Sektor polhukam seharusnya bisa menjadi legasi penting di akhir periode kedua pemerintahan Jokowi. Dari sisi komunikasi politik, makna panggung belakang pengunduran diri Mahfud bisa diartikan terbukanya jalan kematian demokrasi kabinet Jokowi," jelas dia. 

Iqbal sepakat kemunduran Mahfud hanya akan berdampak signifikan jika menimbulkan efek domino, semisal diikuti oleh menteri-menteri dari kalangan profesional atau dari parpol yang bukan pengusung Prabowo-Gibran. Efek domino semacam itu bakal menimbulkan krisis legitimasi pada pemerintahan Jokowi. 

"Bila menyitir Levitsky dan Ziblatt, pagar demokrasi bisa roboh bila lumpuh (atau dilumpuhkannya) kekuatan oposisi di parlemen. Mitos sosok pemimpin populis sederhana dan demokratis berubah jadi lebih otoriter. Semua itu bisa terjadi ketika kekuasaan justru melanggar aturan ideal demokrasi, baik secara perkataan dan perbuatan," jelas Iqbal.

Steven Levitsky and Daniel Ziblatt ialah profesor politik dari Universitas Harvard. Mereka juga penulis buku How Democracies Die yang terbit pada 2018. Keduanya menghabiskan lebih dari 20 tahun untuk mengkaji kehancuran demokrasi di negara-negara Eropa dan Amerika Latin. 

Levitsky dan Ziblatt menyimpulkan demokrasi pada era kiwari tak lagi berakhir lewat revolusi atau kudeta militer, tapi lewat pelemahan sistematis terhadap institusi-institusi kritis negara, semisal lembaga peradilan dan pers serta erosi gradual terhadap norma-norma politik yang berlaku. 

 

Berita Lainnya
×
tekid