sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Langgam noda pemilu, dari ijon hingga mahar politik

Penyelenggaraan pemilu serentak diwarnai dengan pelbagai noda yang mencederai demokrasi dewasa ini.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Kamis, 15 Mar 2018 13:14 WIB
Langgam noda pemilu, dari ijon hingga mahar politik

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama delapan tahun terakhir, terdapat 242 kepala daerah yang terseret dalam pusaran korupsi. Lebih rinci aktivis ICW Donal Fariz menyebutkan,  dalam rentang Januari hingga Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjaring delapan kepala daerah. Sebanyak lima tersangka di antaranya diketahui mencalonkan kembali pada gelaran pilkada 2018.

Dia turut meyayangkan hal ini, apalagi belakangan muncul upaya intervensi sejumlah tangan dalam kerja KPK. Yang teranyar, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam) Wiranto meminta KPK menunda pengusutan kasus korupsi, dengan dalih mengurangi kegaduhan politik. Fariz menilai jika usul Wiranto diamini, maka ini menjadi indikasi kemunduran negara dalam memastikan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Lebih lanjut, itu mampu mencederai demokrasi rakyat.

Untuk itu, begitu KPK memutuskan tetap melanjutkan proses hukum, Fariz sangat mendukungnya. Apalagi, penindakan terhadap kepala daerah yang terjerat korupsi, menegaskan hubungan sebab akibat dengan upaya pemenangan pilkada 2018.

Pasalnya, kasus yang  melibatkan calon kepala daerah ini disebut-sebut guna mendanai pilkada yang berbiaya tinggi. Ongkos politik yang mahal tersebut, umumnya terletak pada pengeluaran ilegal seperti mahar politik, jual beli suara, suap penyelenggara, serta biaya lain berupa pendanaan saksi.

Merujuk pada mahalnya biaya politik yang melahirkan korupsi berjamaah kader parpol dan calon kepala daerah, ICW menaruh harapan besar pada penyelenggara pemilu. Namun sayangnya, integritas penyelenggara pemilu justru dipertanyakan akhir-akhir ini.

Terutama usai operasi tangkap tangan (OTT) Kepolisian RI beberapa waktu lalu terhadap ketua Panwaslu Garut, Heri Hasan Basri dan Komisioner KPU Garut, Ade Sudrajad. Diduga, keduanya menerima suap dari salah satu pasangan calon (paslon) kepala daerah independen.

Penangkapan itu jelas mencederai integritas penyelenggaraan pemilu. Kasus semacam ini pun bukan kali pertama ditemukan. Hingga 2017, setidaknya ada 72 kasus pelanggaran yang melibatkan penyelenggara pemilu. Padahal integritas penyelenggaraan pemilu, pasti berkaitan juga pada integritas pelaku di dalamnya.

Ijon politik

Sponsored

Selain itu Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pesimis terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dihelat di 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten pada 27 Juni mendatang. Sayangnya, pemilu ini mungkin tidak memberikan implikasi apa-apa terutama pada penyelesaian krisis dan masalah rakyat. Perhelatan nantinya, lanjut JATAM, hanya akan melanggengkan krisis sosial ekologis melalui penerbitan berbagai izin tambang dan perkebunan.

Apalagi, dengan adanya pertemuan berbagai kepentingan antara politisi dan pelaku bisnis, sehingga menjadi celah terjadinya ijon politik. Praktik ini merupakan pemufakatan yang dijalin antara korporasi sebagai penyandang dana politik dengan para politisi baik itu terhadap kandidat, parpol, bahkan timses yang memiliki kepentingan untuk menghimpun dana politik secara cepat dan mudah.

Bantuan dana politik tersebut pada kemudian hari dibayar oleh para politisi pemenang pilkada, dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana. Mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.

Menurut catatan JATAM, ada sejumlah kandidat yang turut berkontestasi pada pilkada mendatang, sebagian besar merupakan aktor lama yang memiliki rekam jejak buruk dalam sengkarut pertambangan.

Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah mencontohkan, dua paslon yang berasal dari Jawa Tengah, di antaranya Ganjar Pranowo dan Sudirman Said. Menurutnya, keduanya tidak memberikan harapan bagi keselamatan rakyat dan lingkungan, terutama dalam memperjuangkan penolakan tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.

Dia menambahkan, Ganjar Pranowo yang posisinya sebagai petahana adalah salah satu aktor  di balik konflik berkepanjangan antara petani di kawasan karst Kendeng dan PT Semen Indonesia. Begitu juga lawan politiknya,  Sudirman Said yang diusung Gerindra, parpol yang notabene mendukung keberadaan PT Semen Indonesia di Rembang. Bahkan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada awal 2017 lalu, pernah memerintahkan kader Gerindra di Jawa Tengah untuk menjaga keberlangsungan PT Semen Indonesia yang berada di Rembang.

JATAM turut menyebutkan sejumlah nama yang berasal dari Kalimantan Timur, sejumlah kandidat yang maju dalam Pilkada Serentak 2018 memiliki rekam jejak yang buruk terkait industri pertambangan. Dia menyebutkan beberapa nama seperti Syahrie Jaang, selama empat periode menjabat wakil walikota dan walikota Samarinda yang telah menerbitkan 63 izin tambang, mengapling 71% luas Samarinda hingga menyebabkan 17 anak meninggal.

Ada juga, mantan Bupati Kutai Timur Isran Noor yang memiliki banyak kasus kontroversial, mulai dari pencucian uang dalam kasus Nazaruddin hingga korupsi divestasi saham KPC. Selanjutnya, ada Safaruddin, mantan Kapolda Kaltim 2015-2018, yang selama menjabat melakukan pembiaran pelanggaran hukum atas kasus illegal mining dan meninggalnya 28 anak-anak di lubang bekas tambang batubara Kalimantan Timur.

Dia menegaskan, perhelatan pilkada serentak, pada akhirnya lebih banyak dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan dan jabatan. Pun menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan pelaku bisnis yang berkepentingan, agar mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanggengkan bisnis mereka di daerah.

Hal tersebut terkonfirmasi dengan semakin panjangnya daftar kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.

Berita Lainnya
×
tekid