sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mencari angka ideal ambang batas parlemen

Wacana kenaikan ambang batas parlemen yang digagas PDI-P, NasDem dan Golkar menuai pro-kontra.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 20 Mar 2020 20:25 WIB
Mencari angka ideal ambang batas parlemen

Sekira dua pekan setelah PDI-P menggelar rapat kerja nasional, tujuh sekretaris jenderal partai politik nonparlemen berkumpul di kantor Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan di penghujung Januari itu, beragam isu mengenai pemilu mereka bahas. 

Selain persoalan-persoalan teknis mengenai pemilu, rekomendasi PDI-P agar ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) naik menjadi 5% juga menjadi pembahasan para sekjen. Parpol-parpol nonparlemen satu suara menolak wacana yang berkembang di rakernas PDI-P itu. 

Forum sekjen parpol nonparlemen kembali berkumpul di Jakarta, Kamis (12/3 lalu atau empat hari setelah NasDem dan Golkar ikut-ikutan mendukung wacana kenaikan ambang batas parlemen. Tak tanggung-tanggung, kedua parpol pendukung pemerintah itu ingin agar ambang batas naik menjadi 7%. 

Usai pertemuan itu, Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso menyebar siaran pers "emosional" kepada wartawan. Isinya mengecam wacana kenaikan ambang batas parlemen yang diusulkan NasDem dan Golkar.  

"Tanggung kalau hanya 7%. Sekaligus langsung PT 20%. Maka, hanya akan ada satu partai yang memenuhi syarat sehingga terbentuk kabinet presidensial murni. Pemerintahan tenang seperti Orde Baru," kata  Priyo. 

Bersama Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Berkarya merupakan pendatang baru. Di Pileg 2019, partai besutan Tommy Soeharto itu hanya mampu mendulang 2.929.495 suara sah atau 2,09%. 

Selain empat partai anyar itu, tiga partai wajah lama juga tak lolos ke Senayan, yakni Partai Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). 

Berkaca pada beratnya melompati ambang batas 4%, Sekjen Perindo Achmad Rofiq turut memprotes rencana NasDem dan Golkar. Menurut dia, kenaikan ambang batas parlemen tidak adil bagi partai-partai kecil. 

Sponsored

"Mari kita berpikir sehat demi asas keadilan dan keutuhan NKRI. Berpikir secara rasional, bukan emosional. Mari bertarung secara fair. Jangan berlindung dengan undang-undang," kata Rofiq. 

Ambang batas parlemen diatur dalam sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu). Pada Pasal 414, termaktub bahwa ambang batas ditetapkan sebesar 4%. 

Pada pasal 415 beleid itu, disebutkan bahwa suara parpol yang tidak lolos ambang batas 'tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan.'

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, ambang batas perlu dikerek dari waktu ke waktu guna menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen. 

"Kalau PT 0%, maka akan ada puluhan parpol di parlemen. Maka, tidak akan efektif mencapai suatu keputusan untuk kepentingan rakyat," ujar Bamsoet di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/3).

Wasekjen Golkar Christina Aryani mengatakan, sejauh ini sikap Golkar belum berubah. Golkar, kata dia, bakal memperjuangkan wacana kenaikan ambang batas parlemen di Senayan. "Setuju di 7% berlaku nasional," terangnya. 

Ketua DPR Puan Maharani (ketiga kanan), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin (kedua kiri), Rachmat Gobel (kiri), Sufmi Dasco Ahmad (kedua kanan) dan Muhaimin Iskandar (kanan) memimpin Rapat Paripurna ke-11 DPR masa persidangan II tahun 2019�2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/02). /Foto Antara

Pro-kontra di Senayan

Meski begitu, wacana itu tak mulus di Gedung DPR. Sejauh ini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak rencana tersebut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Gerindra sikapnya masih abu-abu. 

Politikus PKS Mardani Ali Sera mengatakan, PKS menolak wacana kenaikan ambang batas parlemen karena ingin meminimalisasi jumlah suara rakyat yang hangus. Itu berkaca pada hangusnya 13 juta suara pemilih pada Pileg 2019 karena parpol yang mereka dukung tidak lolos ambang batas parlemen. 

"Padahal, tiap suara mahal. Justru kalau alokasi (kursi) per dapil (daerah pemilihan) maksimal delapan, maka bisanya enam hingga tujuh partai saja di parlemen," Mardani kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (17/3). 

Menurut Mardani, kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan antara petinggi PKS dan Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, pekan lalu. "Masih di angka 4%. Angka ini diharapkan juga ditetapkan untuk presidential threshold," tutur dia. 

Meski begitu, Mardani tak sepenuhnya sepakat dengan kebijakan PKS. Ia mengatakan, ambang batas parlemen perlu naik guna memangkas jumlah partai. Dengan begitu, upaya memperkuat party ID atau kedekatan pemilih dengan parpol bakal lebih mudah dilakukan. 

"Jika party ID semakin tinggi, money politic akan rendah dan semakin besar peluang mewujudkan demokrasi substansial. Untuk memulainya, cara paling baik melalui reformasi partai," tuturnya. 

 

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kenaikan ambang batas punya dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatifnya ialah parlemen bakal hanya dikuasai parpol besar yang kuat dari sisi modal. 

"Kalau wacana ini terus naik, tentu pemilu hanya nanti diisi kompetisi antar partai-partai lama yang telah lama eksis," kata Wasisto saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Dampak positifnya, jumlah parpol mengerucut. Itu bakal berimbas pada kian jelasnya warna ideologis sebuah parpol di parlemen. Penyederhanaan itu, diyakini Wasito, juga bakal mendongkrak kinerja anggota DPR.

"Banyak fraksi itu malah justru sepertinya sering terjadi deadlock. Semua saling berebut kepentingan. Hal inilah yang menyebakan produksi legislasi kadang tak mencapai target," kata dia.

Untuk menghindari dominasi sebuah parpol di parlemen, Wasisto menyarankan terbentuknya satu atau dua kartel parpol yang isinya gabungan dari parpol lama dan baru. Namun, dalam kartel itu harus dipastikan terjadi pergantian penguasa. "Mungkin itu salah satu solusinya," kata dia.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kedua kiri) menyambut kedatangan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (ketiga kanan) di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (9/3). /Foto Antara

Mengerek ambang batas harus hati-hati 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan agar elite-elite parpol berhati-hati dalam menaikkan ambang batas parlemen. Menurut dia, ambang batas yang kian tinggi bisa mengakibatkan pemilu semakin tidak proporsional.

Jika naik, Titi khawatir, perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya saat konversi. Di sisi lain, jumlah suara yang terbuang karena parpol yang didukung pemilih tak lolos ambang batas juga bakal tinggi. 

"Kalau makin besar angkanya dan makin banyak partai yang tidak bisa dikonversi suaranya menjadi kursi. Ini bisa berakibat pada ketidakpuasan politik, lalu membuat apatisme politik warga atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (17/3).

Titi mengatakan, ambang batas yang tinggi juga bisa memicu pragmatisme politik. Alih-alih memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, menurut Titi, kenaikan ambang batas malah potensial disikapi partai dengan mengambil jalan pintas, yakni dengan melancarkan politik uang secara lebih masif.

"Ambang batas yang tinggi juga bisa mengakibatkan makin sulitnya perempuan untuk duduk di parlemen karena partai-partai yang mengusung mereka tidak lolos PT. Ini pernah kejadian pada Grace Natalie dan Tsamara dari PSI saat Pileg 2019. Padahal, perolehan suara mereka cukup besar," kata dia.

Lebih jauh, Titi mengatakan, mengerek ambang batas bukan satu-satunya cara untuk memangkas jumlah parpol. Penyederhanaan parpol, kata dia, juga bisa dilakukan dengan memperkecil besaran daerah pemilihan atau memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen.

"Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana. Selain itu, kalau kita konsisten melakukan verifikasi parpol sesuai dengan amanat UU, maka itu saja sudah menjadi instrumen yang bisa mengontrol kepesertaan parpol di pemilu secara luar biasa," tuturnya. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Kepada Alinea.id, Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno mengaku sepakat jika ambang batas parlemen kembali dikerek. Namun, ia menyarankan kenaikan secara bertahap. 

"Iya, kalaupun untuk dinaikan, itu bertahaplah. Tidak langsung berapa persen begitu. Dan, itu (kenaikan ambang batas parlemen) selalu berat untuk partai menengah ke bawah dan yang enggak lolos ke parlemen," kata Adi. 

Meski begitu, bukan berarti partai-partai nonparlemen tidak punya peluang sama sekali untuk memenangi kontestasi pemilu di masa depan. Berbasis survei yang dirilis lembaganya pada Februari 2020, menurut Adi, ada 75% publik yang tidak berafiliasi dengan parpol mana pun.

"Itu artinya masih banyak masyarakat yang perlu digarap, perlu diyakinkan oleh parpol-parpol untuk memilih mereka. Jadi, ambang batas mau 5%, 6%, 7% ini tidak terlampau pusing sebenarnya. Itu kalau parpol-parpol bekerja," kata dia. 

Terkait argumentasi suara terbuang, Adi mengatakan, hal itu merupakan risiko pemilu dengan ambang batas. Di sisi lain, Adi juga menepis pendapat kenaikan ambang batas hingga 7% bakal menumbuhkan oligarki di parlemen. 

"Kecuali, masyarakat hampir 80% sudah menentukan pilihan politiknya ke parpol tertentu. Itu akan terjadi oligarki parpol. Makanya, saya bilang, ini tantangan nyata bagi parpol untuk memaksimalkan kerja-kerja politik. Problemnya kan, banyak partai sekarang musiman. Partai hanya datang sesekali," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid