sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengukur potensi pendamping Jokowi dan Prabowo

Sosok calon pendamping Jokowi baiknya berasal dari ekonomi, agama atau militer. Sementara Prabowo baiknya dari kalangan sipil dan non Jawa.

Robi Ardianto Bima Yairiba Ayu mumpuni
Robi ArdiantoBima Yairiba | Ayu mumpuni Selasa, 17 Apr 2018 13:36 WIB
Mengukur potensi pendamping Jokowi dan Prabowo

Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dipastikan bakal berlaga lagi dalam pemilihan presiden tahun 2019. Meski demikian, calon pendamping kedua calon presiden (capres) tersebut belum juga diputuskan hingga saat ini. 

Sejumlah nama pendamping keduanya selama beberapa pekan ini telah wara wiri di sejumlah lini media massa dan media sosial. Baik redaksi media massa, tokoh publik dan media sosial sama-sama menggiring opini menetapkan nama pendamping Jokowi atau Prabowo

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyodorkan nama-nama pendamping Capres tahun 2019. Sebaliknya, menjadi pertimbangan apakah nama-nama yang notabene berasal dari kalangan tokoh muda di bawah ini layak mendapat perhatian publik untuk dipasangkan dengan Jokowi atau Prabowo? 

Berdasarkan riset Alinea selama sepekan ini, nama-nama tokoh muda seperti Ridwan Kamil (RK), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies Baswedan dan Basuki Tjahya Purnama cukup populer di lembaga survei sebagai bakal calon pendamping presiden. Nama lain yang berasal dari keterwakilan perempuan adalah Sri Mulyani Indrawati, Tri Risma dan Susi Pudjiastuti juga cukup moncer di kalangan publik. 

Mari uji sejumlah nama tersebut berdasarkan kaca mata para pengamat politik. 

Pengamat politik Adi Prayitno berpendapat cawapres Jokowi dan Prabowo harus mampu mendongkrak elektabilitas keduanya, agar bisa mengamankan kemenangan. Secara ideal cawapres Jokowi mesti dari kombinasi kalangan Islam dan non Jawa untuk menjaga keseimbangan dan diatribusi pemilih. 

Apalagi di tengah menguatnya politik identitas, cawapres Islam penting. Adapun cawapres Prabowo mesti dari kalangan sipil, Islam, dan non jawa untuk menutup kekurangan Prabowo selama ini.

Untuk mengamankan kemenangan kedua calon tersebut, nama AHY dinilai paling berpotensi besar. Apalagi sejumlah lembaga survei menyebut putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini punya kans besar. 

Sponsored

Bagi kalangan pemilih muda dan millenial pada rentan usia 18-35 tahun nama AHY dianggap sebagai tokoh muda paling layak. Apalagi AHY yang saat ini rajin blusukan. 

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menilai AHY adalah cerminan sosok anak muda yang santun, pekerja keras dan cepat belajar. Jam terbang pun dinilai bukan halangan, apalagi AHY langsung dimentori oleh sang ayah.

"Waktu akan mengujinya, apalagi kalau ada kesempatan membuktikannya," kata Dede kepada Alinea

Disinggung peluang Basuki Thahaja Purnama atau Ahok, Pengamat Politik Ubaedillah Badrun menyebut kans Ahok amat tipis karena terbentur politik identitas. Semakin mengerasnya politik identitas di Indonesia membuat Ahok punya peluang kecil. 

Apalagi, kasus hukum yang membelit Ahok menutup kemungkinan untuk menjadi cawapres. Andaikata, mantan Gubernur Jakarta ini bebas sebelum Agustus, namun statusnya yang pernah berurusan dengan hukum akan menjadi beban baginya.

Ubaedillah menilai bahwa sosok cawapres yang tepat untuk mendampingi baik Jokowi dan Prabowo dalam pilpres mendatang tidak lain adalah figur yang memiliki rekam jejak yang baik dibidang ekonomi. Sebab persoalan ekonomi Indonesia akan menjadi PR besar ke depan.

Ubaedillah memprediksi penentuan cawapres pendamping Prabowo akan menunggu Jokowi terlebih
dahulu. Alasannya, kubu Prabowo ingin membaca kekuatan cawapres yang akan diusung oleh koalisi Jokowi.

Lantas siapa yang pas dari kalangan ekonom? Nama Sri Mulyani memang sempat diradar. Hanya saja Siti Zuhro, Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menilai berisiko menempatkan Sri Mulyani sebagai pasangan Joko Widodo. 

Mantan Direktur Bank Dunia itu punya sejarah buruk atas hubungannya dengan Partai Golkar. Seperti diketahui, Sri Mulyani sempat berseteru dengan Mantan Ketua Golkar Aburizal Bakrie terkait pajak perusahaan grup Bakrie. Apalagi secara basis massa belum teruji. Kata Siti, loyalis dari Sri Mulyani paling hanya berasal dari Alumni Universitas Indonesia. 

Pengamat politik Karyono Wibowo menyebut kans Tri Rismaharini Walikota Surabaya dan Ridwan Kamil (RK) Walikota Bandung cukup besar. Dilihat dari kinerjanya yang cukup kinclong sebagai kepala daerah, kedua calon tersebut sangat mungkin apabila ingin maju menjadi cawapres. Apalagi jika meraih kemenangan dalam pilkada serentak, sehingga memberi nilai plus bagi keduanya.

Namun apabila kedua nama diadu, Karyono menyebut peluang Risma akan lebih besar ketimbang RK. Alasannya, RK hanya besar di media yang meski populer namun faktor tersebut tidak cukup sebagai modal maju cawapres. Apalagi jika dibandingkan dengan Risma yang terbilang prestasinya cukup baik. 

Ada keunggulan dari Risma, dalam hal kebijakan dikenal tegas juga penampilannya amat sederhana. Sehingga peluang memperoleh simpatik masyarakat dalam sekala nasional terbuka. 

"Masyarakat Indonesia secara sosiologis lebih memiliki selera pemimpin yang sederhana dan merakyat," tukas Karyono. 

Selain itu, adanya sosok perempuan dalam pemilu mendatang diduga akan memberikan perhatian lebih, terutama bagi kaum pemilih perempuan. Tri Risma dianggap hanya perlu masuk dalam persoalan-persoalan nasional untuk meningkatkan popularitasnya di hadapan masyarakat luas.

Namun meski nama-nama tersebut cukup populer, tapi siapa yang mendapat perhatian cukup besar dari publik? Simak hasil riset yang dilakukan Alinea di media massa online yang dilakukan per April. 

 
 

Deklarasi koalisi 

Di sisi lain, hingar bingar capres dan cawapres justru melupakan soal partai koalisi. Pengamat politik The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan saat ini seharusnya langkah penting yang perlu dilakukan partai politik adalah penetapan secara resmi koalisi partai pengusung dalam Pilpres 2019.

"Sebelum menentukan nama pasangan cawapres, saat ini yang paling penting adalah menetapkan secara resmi koalisi partai pengusung," ujar Arfianto seperti dikutip Antara

Arfianto mengatakan ketentuan koalisi ini diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa pasangan calon pada Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.

Konsekuensi aturan tersebut dikaitkan dengan nama calon wakil presiden adalah kandidat calon wakil presiden harus dipilih berdasarkan kesepakatan atau konsensus bersama koalisi. Dengan demikian langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meresmikan koalisi partai pengusung.

Sejauh ini dua nama yang diperkirakan maju sebagai bakal calon presiden 2019 adalah Joko Widodo selaku petahana dan Prabowo Subianto. Semakin dekatnya jadwal pendaftaran capres dan cawapres, maka para kandidat harus segera menentukan pasangannya yang dalam hal ini harus dimulai dengan peresmian partai koalisi pengusung.

Baca juga tulisan 1, Tokoh militer mengintip peluang RI-2

tulisan 2, Menimbang calon pemimpin dari tokoh agama,

dan tulisan 3, Tokoh profesional berebut tahta Cawpres Jokowi

Berita Lainnya
×
tekid