sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menilik peluang uji materi Presidential Threshold jilid dua

Jika aturan tentang presidential threshold dihapus, maka keran demokrasi akan kembali terbuka lebar.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Minggu, 17 Jun 2018 03:02 WIB
Menilik peluang uji materi Presidential Threshold jilid dua

Kendati Januari lalu, Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materi presidential threshold (PT), namun sejumlah tokoh berkeras mengajukan kembali, Rabu (13/6) lalu. Sebanyak dua belas tokoh, seperti Rocky Gerung, mantan Ketua KPK M. Busyro Muqoddas, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perludem Titi Anggraini mengajukan kembali uji materi PT ke MK. Pengajuan jilid dua ini, menurut pengamat hukum tata negara Refly Harun, sangat mungkin dilakukan.

“Jadi kalau secara teknis hal yang pernah diajukan dan diputuskan bisa diajukan kembali, alasan konstitusionalnya berbeda. Ada perbedaan alasan konstitusional yang lama dengan yang baru,” ujar Refly kepada Alinea, Sabtu (16/6).

Dalam keterangan pers yang diterima Alinea, kuasa hukum pemohon Denny Indrayana, menyebutkan tidak ada keberpihakan salah satu calon atau partai tertentu dari permohonan tersebut. Itu diajukan semata-mata demi pemilihan presiden (pilpres) yang lebih adil dan demokratis, di mana kedaulatan rakyat ditegakkan sesuai UUD 1945.

Menurutnya, meskipun waktu yang tersisa hanya tinggal dua bulan, namun pengajuan uji materi tersebut belum terlambat. Adanya banyak calon dalam pemilu jika aturan PT dihapus, imbuhnya, bukanlah sebuah permasalahan, tetapi justru akan memberikan banyak pilihan bagi rakyat.

Pernyataan yang sama diutarakan Refly, menurutnya sistem pemilu dengan PT itu tidak memiliki alasan kuat untuk dipertahankan. Ajang pemilu nantinya bukan lagi menjadi pesta demokrasi rakyat, melainkan urusan-urusan elit politik.

“Urusan calon presiden hanya urusan calon-calon elit politik, bukan urusan rakyat, karena hanya mereka yang bisa menentukan calon presiden. Kalau presidential threshold dibuka, rakyat bisa menentukan siapa calon presiden yang mereka inginkan,” ujarnya.

Salah satu pemohon Titi Anggraini, berpendapat PT juga menjadi inkonsistensi reformasi sistem dan institusi politik yang paling mencolok, selama perjalanan 20 tahun reformasi. Selain itu sistem itu dianggap absurd karena menjadikan hasil pemilu 2014 sebagai dasar untuk menghitung ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Pemilu 2019 berlangsung serentak, sehingga ambang batas tidak mungkin didasarkan pada hasil pemilu legislatif yang belum ada hasilnya," ucapnya.

Sponsored

Titi juga menuturkan jaminan kemurnian suara rakyat melalui prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945 dan juga ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, yang jadi pegangan dasar pengajuan uji materi ini. UU tersebut sejatinya bukan suatu open legal policy melainkan closed legal policy.

“Sebab sudah jelas pasal itu mengatur syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum,” ujarnya saat dihubungi Alinea.

Atas dasar itulah, dalam konteks pemilu serentak, sudah terang benderang UUD 1945 memberikan jaminan pada parpol peserta pemilu untuk mengusung calon, baik sendiri-sendiri, maupun bergabung dengan parpol lain. Direktur Perludem itu juga menyinggung mengenai pasal yang tercederai akibat aturan ini.

“Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu keluar dari mandat yang hanya memberikan pengaturan tata cara menurut Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, sekaligus mencederai mandat pengaturan syarat yang ada di dalam Pasal 6A,” katanya.

Bagaimana peluangnya?

Titi Anggraini mengatakan, permohonan kembali ini jadi asa terwujudnya demokrasi konstitusional di Indonesia. Karena harapan ini, ia mengaku optimis, permohonan jilid kedua ini bisa dikabulkan MK.

Terkait ini, Refly memandang putusan diterimanya uji materi dan dihapuskannya PT bergantung pada hakim-hakim MK. Ia memandang, hakim-hakim MK akan melihat ini secara ideologis, namun sebagian mungkin bisa begitu pragmatis.

"Itu yang saya tangkap. Bukan persoalan yuridis lagi, tapi lebih ke kepentingan ideologis dan pragmatis," ujarnya.

Ia menambahkan, hakim-hakim MK seharusnya memandang persoalan ini berdasarkan sisi yuridis konstitusional dan dapat mengesampingkan kepentingan-kepentingan lainnya. Pasalnya, imbuh Refly, tidak relevan PT tetap diberlakukan dalam ajang pemilu serentak mendatang.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid