sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PDIP keliru, sistem pemilu proporsional tertutup tak berangus politik uang

Sistem pemilu proporsional tertutup terakhir kali digunakan dalam kepemiluan di Indonesia pada 1999.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Senin, 09 Jan 2023 18:54 WIB
PDIP keliru, sistem pemilu proporsional tertutup tak berangus politik uang

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendorong sistem pemilu proporsional tertutup kembali diadopsi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Salah satu dalihnya adalah menekan politik uang yang dikeluarkan calon anggota legislatif (caleg).

Namun, tidak demikian menurut peneliti Indonesia Political Opinion (IPO), Catur Nugroho. Dirinya berpendapat, politik uang bakal tetap terjadi dalam sistem pemilu proporsional tertutup, tetapi berpindah ke partai politik (parpol).

"Dengan sistem pemilu proporsional tertutup, kemungkinan praktik politik uang akan bergeser ke internal partai sehingga pundi-pundi dana politik dari para caleg akan lebih banyak mengalir ke parpol karena kewenangan parpol untuk menentukan nomor urut caleg," tuturnya kepada Alinea.id, Senin (9/1).

Selain itu, sambung Catur, relasi wakil rakyat yang terpilih dengan konstituennya pun bakal mengendur jika sistem pemilu proporsional tertutup diberlakukan. Pangkalnya, kewenangan parpol kian dominan sehingga para kader yang menjadi anggota dewan akan sangat tergantung dengan kebijakan dan keputusan partai.

"Renggangnya relasi pemilih dengan wakilnya ini, menurut saya, akan mengakibatkan berkurangnya kepedulian anggota dewan terhadap masyarakat yang memilihnya di daerah pemilihan karena mereka merasa tidak dipilih secara langsung oleh masyarakat, tetapi melalui penugasan partai meskipun tetap berdasarkan suara pemilih partai," paparnya.

Berikutnya, para anggota dewan akan kurang responsif terhadap perkembangan dan tuntutan masyarakat pemilih seiring kian renggangnya relasi dengan konstituen. Akibatnya, bakal semakin minimnya kepedulian anggota legislatif terpilih terhadap kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya (dapil) lantaran konstituen tak memilih secara langsung.

Masyarakat pun akan kembali pada sistem yang cenderung "memilih kucing dalam karung" sebab tak mengenal kompetensi dan kapabilitas caleg yang ditawarkan parpol. Ini akan memengaruhi partisipasi publik dalam pileg.

Sebagai informasi, sistem pemilu proporsional tertutup tidak lagi digunakan sejak Pileg 1999. Ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.

Sponsored

Seiring waktu, aturan sistem pemilu proporsional terbuka, yang digunakan sejak Pileg 2004, digugat ke MK. Dalihnya, pileg dibajak caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ikatan ideologis dan struktur parpol serta tak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi.

Akibatnya, ketika menjadi anggota dewan, seolah-olah bukan mewakili parpol, tetapi diri sendiri. Oleh karena itu, menurut para pemohon, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil parpol di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Para pemohon juga berpendapat, pasal-pasal terkait proporsional terbuka melahirkan politikus individualis sehingga memicu konflik dan kanibalisme di internal parpol. Kemudian, dinilai melemahkan pelembagaan kepartaian dan tidak loyal terhadap partai.

Kemudian, membuat pemilu berbiaya mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Misalnya, kompetisi antarcaleg tidak sehat karena mendorong sesama melakukan kecurangan, termasuk pemberian uang kepada panitia penyelenggara pemilihan, dan menelan anggaran besar untuk membiayai percetakan surat suara.

Berita Lainnya
×
tekid