sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat ungkap kejanggalan data tim 02

Sebagai contoh, pada data sampel wilayah DKI Jakarta, tim Prabowo-Sandi menulis sebesar 13% dari total keseluruhan suara nasional.

Kudus Purnomo Wahidin Adi Suprayitno
Kudus Purnomo Wahidin | Adi Suprayitno Jumat, 26 Apr 2019 04:16 WIB
Pengamat ungkap kejanggalan data tim 02

Direktur Ekstekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menilai, kubu Prabowo-Sandi tengah melakukan propaganda untuk melakukan delegitimasi hasil pemilu dengan melakukan hasil hitung cepat yang tidak proporsional.

Hal itu dapat dilihat dari jumlah data sampel TPS  yang masuk ke tim Prabowo-Sandi, yang berbeda dengan besaran sampel lembaga survei yang melakukan hitung capat pemungutan suara. "Hal ini membuat hasilnya menjadi bias," katanya di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, Kamis (25/4).

Sebagai contoh, pada data sampel wilayah DKI Jakarta, tim Prabowo-Sandi menulis sebesar 13% dari total keseluruhan suara nasional. Padahal DKI Jakarta hanya 2% dari total suara nasional.

"Secara nasional itu kan cuma 2% dari total jumlah dari pemilih Indonesia, sementara data yang masuk ke data mereka itu 13%. Ada lagi yang tidak sesuai dengan besaran wilayah," katanya. 

Kejanggalan lainnya terlihat dari web tim Prabowo-Sandi. Di mana jumlah besaran suara per wilayah tak sesuai dengan suara sampel yang digunakan KPU.

"Jawa Barat itu kan jumlah pemilih terbesar, maka sampelnya harus berbeda dengan Bali dong. Mereka random tapi datanya tidak proporsional, makanya hasilnya bias," katanya. 

Karyono menilai, hal ini merupakan rangkaian dari strategi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Indikasinya terlihat dari rangkaian narasi yang digaungkan tim Prabowo-Sandi.

Sedangkan, pangamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi melihat, kubu Prabowo-Sandi memanfaatkan gejala post truth (pasca kebenaran), untuk melakukan propaganda agar mendapatkan dukungan publik dalam mendelegitimasi hasil pemilu.

Sponsored

"Adanya post truth ini, membuat orang itu lebih percaya sumber atau informasi yang mereka suka sehingga membuat pendukung Prabowo-Sandi itu, senangnya berita baik tentang Prabowo-Sandi dan tak suka berita buruknya, objektifitas agak dikesampingkan. Begitu juga kubu Jokowi-Ma'ruf juga begitu, sehingga KPU terkena imbasnya," katanya. 

Menanggapi narasi kecurangan dari kubu Prabowo-Sandi, anggota Bawaslu Rahmat Bagja menegaskan, jika ada kecurangan segera laporkan ke KPU atau pun Bawaslu, dengan membawa bukti-bukti yang kuat ke KPU dan Bawaslu agar bisa ditindaklanjuti.

"Laporkan dengan bukti yang kuat, minimal dua alat bukti, jangan pakai perasaan," katanya. 

PP Prabowo: Kecurangan di Jatim masif, Gubernur Khofifah diduga terlibat

Badan Pemenangan Provinsi Jatim Prabowo-Sandi menyebut kecurangan Pemilu 2019 di Jawa Timur dilakukan secara masif. Bahkan BPP menilai ada dugaan keterlibatan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Ketua BPP Jatim, Prabowo-Sandi, Soepriyatno mengatakan, kalau kecurangan tidak dilakukan secara masif, maka pasangan capres-cawapres nomer urut 02 menang di Jatim.

"Angkanya tipis, tapi kita tidak menyampaikan, itu rahasia," ujar Soepriyatno, ketika jumpa pers di Surabaya, Kamis (25/4).

Anggota DPR RI itu mengungkapkan, salah satu kecurangan di Jatim sebelum pemilu adalah keterlibatan kepala desa, gubernur, bupati, ASN dan camat. Ironisnya lagi, ada insiden intimidasi terhadap beberapa kepala desa.

"Kecurangan lainnya adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang invalid mencapai 5 juta lebih, pemilih ganda 2 juta lebih," tuturnya.

Sementara Kecurangan saat proses pencoblosan hingga penghitungan suara, BPP menemukan adanya perubahan formulir dan membawa kabur C1, penggelembungan suara, surat suara dicoblosin sendiri oleh ASN, serta adanya TPS palsu.

Ketua DPD Partai Gerindra Jatim itu menegaskan saat BPP fokus mengumpulkan C1 karena penggelembungan suara dilakukan secara masif.

"Kalau C1 yang asli sudah didapat semua. Kita tidak bisa menyebut ini curang atau tidak. Sama-sama punya C1, tapi beda. Penyelenggara pemilunya salah. Maka jika beda lakukanlah penghitungan ulang," pungkasnya.
 

Berita Lainnya
×
tekid