sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Politik identitas brutal tapi tak kerek elektabilitas

Politik indentitas terutama agama yang tampak lebih brutal tetapi justru tak mampu mengerek elektabilitas secara signifikan pada Pemilu 2019

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 24 Mei 2019 05:25 WIB
Politik identitas brutal tapi tak kerek elektabilitas

Politik indentitas terutama agama yang tampak lebih brutal, tetapi justru tak mampu mengerek elektabilitas secara signifikan pada Pemilu 2019.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menguraikan politik identitas masih menjadi isu kuat dalam Pemilu 2019

"Tapi efek politik indentitas itu mungkin tidak sebesar yang kita duga. Indikasinya adalah kenaikan beberapa basis Prabowo-Sandi tidak terlalu tinggi seperti dugaan banyak orang," kata Arya di Jakarta Barat, Kamis (25/5).

Kendati demikian, sambungnya, narasi isu politik identitas yang disampaikan justru meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Baginya, narasi tersebut sangat mengkhawatirkan untuk perpolitikan Tanah Air lima tahun ke depan.

Menurut Arya, fenomena ini bukan lah sebuah warisan politik yang baik. Narasi yang kuat ini telah membelah masyarakat, khususnya di pelosok negeri.

"Dari segi karakteristik itu cukup homogen. Dari data, terutama di daerah yang jadi narasi politik identitas di beberapa tempat itu mengalami pengerasan, tidak hanya di paslon 02, namun di basis 01 juga mengalami pengerasan," terang dia.

Berdasarkan data CSIS, Arya mencontohkan suara pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengalami penambahan dukungan. Misalnya, suara Prabowo-Sandi di Aceh melejit 31% dari Pemilu 2014.

Selanjutnya, penambahan suara Prabowo-Sandi juga terjadi di Riau 11%, Sumatera Barat 9%, Jambi 9%, Sumatera Selatan 8%, dan nyaris seluruh Sumatera. Sebaliknya, suara Prabowo-Sandi justru kedodoran di wilayah Indonesia bagian timur.

Sponsored

"Jadi narasi politik identitas ini memang berefek pada beberapa provinsi. Tapi juga memberikan penurunan signifikan juga di tingkat provinsi," kata Arya.

Bila ditarik benang merah, ucapnya, politik identitas itu ibarat pisau bermata dua. Artinya, satu sisi memberikan keuntungan suara, tetapi di lain pihak justru tergerus.

"Misalnya kalau kita lihat dari sisi persentase penurunan tampak di Sulawesi Utara, suara Prabowo-Sandi turun 23%, di Bali dan Nusa Tenggara Timur turun 22%. Kemudian, Gorontalo, Maluku, Papua, dan Papua Barat turunnya 20%," lanjut dia.

Efek elektoral itu juga berlaku bagi paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Suara untuk Jokowi-Amin juga meningkat dari perolehan pada Pemilu 2014, seperti di Sulawesi Utara, NTT, dan Bali. 

"Politik indentitas ini tentu sangat merusak bangunan bernegara kita," kata dia.

Hal senda juga dipaparkan oleh Research Fellow Populi Center Adi Abidin. Peraih gelar Master of International Relations dari Melbourne School of Government di The University of Melbourne Australia itu menilai, politik identitas dalam Pilpres 2019 merupakan isu utama yang digulirkan oleh kedua kubu. 

Menurut dia, isu politik identitas kian kental terutama di masing-masing wilayah yang dianggap sebagai basis massa pada Pemilu 2014.

"Jadi kurang lebih apa yang dijadikan basis oleh paslon adalah wilayah mereka yang kuat di 2014," kata dia.

Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan, menurut Adi ada perimbangan. Sebagai contoh ketika di wilayah Sumatera, paslon Prabowo-Sandi mendapatkan suara banyak, ternyata diimbangi oleh suara Jokowi-Amin di Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTT, dan Papua.

Adi menambahkan, intinya politik identitas tidak serta-merta dapat menguntungkan pasangan calon. Faktanya, politik identitas yang dimainkan oleh Prabowo-Sandi justru menggerus suara paslon 02 itu di Jawa Timur.

"Hanya saja memang fenomena seperti yang dicoba digambarkan lewat catatan politik identitas ini, di mana sayap politik kanan itu belakangan memang banyak peluang," paparnya.

Berita Lainnya
×
tekid