sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Revisi putusan MK jadi ujian kenegarawanan Saldi Isra cs

Sudah ada tiga permohonan yang masuk ke MK untuk menguji kembali norma yang mengatur syarat usia capres-cawapres di UU Pemilu.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 09 Nov 2023 08:04 WIB
Revisi putusan MK jadi ujian kenegarawanan Saldi Isra cs

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) masih memungkinkan untuk dikoreksi. Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menyebut formasi hakim MK yang baru bisa merevisi putusan kontroversial itu. 

"Putusan MK memang hanya bisa dikoreksi oleh MK sendiri. Forumnya saat pemeriksaan permohonan baru yang masuk. Ada tiga permohonan yang masuk untuk menguji norma yang sama. Tentu akan diputus tanpa AU (Anwar Usman) sebagaimana amar putusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) kemarin," ucap Herdiansyah kepada Alinea.id, Rabu (8/11).

MKMK telah rampung memeriksa dugaan pelanggaran etik yang melibatkan Ketua MK Anwar Usman. Hasilnya, Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat. MKMK memutuskan mencopot jabatan Ketua MK dari besan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. 

Saat ini, Wakil Ketua MK Saldi Isra ditugasi MKMK untuk memimpin pemilihan ketua MK yang baru. Saldi diberi waktu dua hari. Mantan dosen hukum tata negara Universitas Andalas itu merupakan salah satu hakim yang paling vokal menolak putusan nomor 90. 

Putusan nomor 90 dipersoalkan lantaran meloloskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Tak lagi harus berusia 40 tahun, MK membolehkan kepala daerah yang dipilih lewat pemilu untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. 

Saat putusan itu diketok oleh Anwar Usman, Gibran genap berusia 36 tahun. Gibran sudah dua tahun menjadi Wali Kota Surakarta sehingga otomatis memenuhi kriteria capres-cawapres versi putusan nomor 90. Sejumlah pengamat menduga Jokowi turut mempengaruhi MK di belakang layar. 

Merujuk laman resmi MK, akan digelar sidang pendahuluan untuk perkara 141 1/PUU-XXI/2023 pada Rabu (8/10). Diajukan oleh Brahma Aryana dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), perkara itu merupakan permohonan untuk menguji ulang pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden setelah adanya perubahan atas putusan MK nomor 90. 

Dalam permohonannya, Brahma mempertanyakan frasa baru yang ditambahkan MK pada pasal 169 mengenai "pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah." Menurut Brahma, tambahan klausul itu tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan dan tingkatan apa seseorang boleh menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. 

Sponsored

Soal gugatan Brahma dan dua permohonan uji materi serupa lainnya, Herdiansyah berharap format hakim MK yang baru bisa memutus uji materi secara imparsial dan adil. "Di sini akan diuji kenegarawanan hakim MK," imbuh dia. 

Jika melihat komposisi pendapat hakim saat mengeluarkan putusan nomor 90, Herdiansyah optimistis bakal ada koreksi terhadap putusan itu. Ketika itu, ada empat hakim berbeda pendapat alias dissenting opinion. Dua hakim secara spesifik menyetujui syarat baru asalkan sang calon pernah menjabat sebagai gubernur. 

"Kalau basisnya putusan MKMK, mestinya komposisi hakim berubah. Tanpa AU (Anwar Usman), yang concuring (sependapat) bisa dianggap lebih dekat dengan pendapat yang berbeda," kata Herdiansyah.

Lebih jauh, Hardiansyah menilai seharusnya uji materi yang diajukan Brahma dan kawan-kawan bisa diputus kilat. "Dalam sehari, bisa mereka putuskan. Dulu permohonan Refly (Harun) tahun 2009 mengenai penggunaan KTP untuk memilih, diputus dalam sehari," jelas dia. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) Auliya Khasanofa berpendapat MK mesti sesegera mungkin memeriksa perkara yang memiliki kesamaan objek dengan putusan nomor 90.

"Sehingga terdapat kejelasan sebagai suatu konsekuensi logis dari putusan MKMK yakni putusan 90 dinilai cacat secara hukum," kata Auliya kepada Alinea.id.

Berita Lainnya
×
tekid