sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengajuan Polri untuk Plt gubernur dinilai tak berdasar

Selain dianggap bertentangan dengan UU, alasan kerawanan pada pengajuan itu juga dipertanyakan.

Cantika Adinda
Cantika Adinda Senin, 29 Jan 2018 11:19 WIB
Pengajuan Polri untuk Plt gubernur dinilai tak berdasar

Dua perwira tinggi Polri, Irjen Iriawan dan Irjen Martuani Sormin diajukan untuk menjadi pelaksana tugas (Plt) gubernur di provinsi yang akan menggelar Pilgub 2018. Hal tersebut untuk mencegah kekosongan posisi gubernur saat peralihan kepemimpinan dan permintaan dari Mendagri sebelum akhirnya diserahkan ke Presiden Joko Widodo.

Namun, Direktur Imparsial Al Araf menilai pemilihan perwira Polri aktif tersebut kental dugaan dimensi politisnya. Alhasil, kondisi ini dianggap rawan politisasi dan bisa menimbulkan kecurigaan publik adanya kepentingan politik di balik penunjukkan itu.

“Dalih penempatan perwira Polri aktif itu dalam rangka menjamin keamanan di daerah rentan konflik merupakan alasan yang tidak berdasar,” ujar Al Araf di Jakarta, Senin (29/1).

Al Araf menambahkan dalam upaya memastikan keamanan pelaksanaan Pilkada, langkah yang penting dan perlu dilakukan adalah mendukung dan memperkuat peran dan tugas yang dijalankan oleh kepolisian. Sedangkan penempatan perwira polisi aktif sebagai Plt gubernur di beberapa daerah bukannya memperkuat tetapi justru akan melemahkan peran-peran kepolisian di tengah proses pelaksanaan Pilkada.

“Langkah itu memunculkan polemik yang membuat kondisi politik menjadi kisruh, karena menempatkan institusi kepolisian menjadi disorot dan bahkan dicurigai sebagai instrumen pemenangan kandidat tertentu,” sambungnya.

Sementara pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin memaparkan rencana menempatkan pejabat Polri untuk jabatan tersebut bertentangan dengan Pasal 201 Ayat (10) UU Pilkada. Dalam peraturan itu disebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri No. 11 Tahun 2018 menyatakan penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi.

"Adanya penambahan norma setingkat dalam Permendagri No. 11 Tahun 2018 yang menjadi dasar Mendagri mengusulkan pati Polri menjadi Plt gubernur adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada cq UUD 1945,” terang Irman seperti dikutip dari Antara.

Sponsored

Dia menambahkan, intensi konstitusi sudah sesuai dengan UU Pilkada yaitu bahwa yang dapat menduduki pejabat gubernur, hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan setingkat karena hal ini bisa menyeret institusi Polri dan TNI menyalahi konstitusi.

“Karena konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran dan otoritas institusi Polri dan TNI yaitu menjaga kedaulatan negara, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum (Pasal 30 UUD 1945)," sambungnya.

Menurut Irmanputra, pimpinan tinggi madya yang dimaksud adalah dikenal dalam rezim jabatan aparatur sipil negara merujuk Pasal 19 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 UU ASN disebutkan bahwa jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.

"Artinya bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya yang dapat menjadi plt gubernur. Pertanyaannya dapatkah anggota Polri dan TNI menduduki jabatan dalam jabatan ASN," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid