sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Benarkah thrifting mengancam bisnis lokal?

Bisnis thrifting dinilai memiliki ceruk pasar tersendiri dan tidak berdampak besar pada bisnis tekstil lokal yang sudah terpuruk lama.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 20 Mar 2023 18:55 WIB
Benarkah thrifting mengancam bisnis lokal?

Jual-beli baju bekas dikenal dengan beragam sebutan. Mulai dari istilah cakar di daerah Makassar, ngawul di Yogyakarta, babebo (baju bekas bos), obok-obok di Surabaya hingga Monza, akronim Monginsidi Plaza, tempat yang menjual pakaian bekas di Medan.

Belakangan istilah thrifting ikut mencuat dan sangat marak. Kegiatan jual-beli baju bekas yang sudah ada sejak beberapa dekade silam pun mewujud dengan istilah yang lebih populer. Sayangnya, keberadaan bisnis thrifting meresahkan sejumlah pihak. Pemerintah pun ambil tindakan.

Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, hingga Polri bersatu untuk mewujudkan larangan penjualan fesyen, sepatu hingga tas-tas bekas di berbagai pusat thrifting di tanah air. 

Tidak hanya itu, Jumat (17/3) kemarin, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga telah memusnahkan 730 bal pakaian, sepatu dan tas bekas yang bernilai sekitar Rp10 miliar di Terminal Tipe A Bandar Raya Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau. Dua hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar bisnis ini ditelusuri dan ditindak tegas.

Pada Senin (20/3), Kementerian Perdagangan kembali memusnahkan 824 bal pakaian bekas impor senilai Rp10 miliar di Komplek Pergudangan Jaya Park, Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Mendag Zulkifli Hasan bilang, langkah ini merupakan komitmen Kemendag dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perdagangan, perlindungan konsumen, serta industri tekstil dalam negeri.

“Ini juga sebagai respon semakin maraknya perdagangan pakaian bekas asal impor, baik secara daring maupun luring,” jelas Zulkifli.

Pemusnahan 730 bal pakaian, sepatu dan tas bekas yang bernilai sekitar Rp10 miliar di Terminal Tipe A Bandar Raya Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau. Dokumentasi.

Lelaki asal Kendari, Sulawesi Tengah, Widi (26) pun menyesalkan langkah pemerintah yang menggencet habis-habisan bisnis penjualan pakaian bekas alias thrifting. Awalnya, ia mengira pernyataan Jokowi hanya merupakan gertakan semata. Namun, dengan aksi pembakaran bal pakaian bekas hasil impor ilegal, nampaknya larangan pemerintah terhadap bisnis thrifting kali ini cukup nyata.

Sponsored

“Di dekat rumah saya ada toko thrifting cukup besar. Biasanya ramai dan dia selalu jualan live di media sosial atau e-commerce. Setelah ada pembakaran itu, dia tutup sampai sekarang,” beber laki-laki 26 tahun yang tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara itu, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (19/3).

Selain toko di dekat rumahnya, berbagai thrift shop pun melakukan hal yang sama, menutup toko untuk batas waktu yang belum bisa ditentukan. Sebagai pehobi thrifting, Widi cukup prihatin. Dengan latar belakang keluarga pas-pasan, penindakan tegas bisnis RB alias rombeng -sebutan thrifting di Kendari- tidak hanya merugikan pedagang pakaian bekas saja, melainkan juga konsumen.

Di Kendari misalnya, popularitas barang RB begitu luar biasanya, karena di kota ini pusat perbelanjaan cukup minim. Distro yang menjual fesyen bersaing baik dari sisi kualitas maupun harga pun jarang. Di sisi lain, bagi masyarakat dengan ekonomi terbatas, membeli pakaian bekas yang seringkali masih memiliki kualitas bagus adalah jawaban bagi pemenuhan kebutuhan sandangnya.

“Bagi penggemar thrifting, pakaian bekas ini mungkin sarana buat mereka bisa tampil gaya dengan harga terjangkau. Tapi bagi remaja dari keluarga pas-pasan misalnya, uang Rp150.000 sangat terbatas buat mereka bisa beli pakaian lokal yang kadang harganya malah lebih mahal dari (pakaian) thrift,” imbuh Widi.

Dengan diberangusnya bisnis thrifting ini, ia khawatir jika di kemudian hari justru bisnis pakaian KW (palsu-red) lah yang bakal lebih menjamur. Sebab, saat ini saja pakaian tak resmi dengan label Adidas, Nike, Puma, atau tas bermerek Gucci, LV, bahkan Balenciaga sudah lumrah ditemukan di toko-toko. Baik di pinggiran jalan maupun pasar tradisional, hingga bazar-bazar musiman jelang lebaran.

Brand lokal seperti Erigo, 3Second, Bloods, Dagadu, hingga Joger berkembang sendiri karena mereka sudah punya pasar sendiri. Tapi, untuk remaja dari keluarga pas-pasan saya rasa sulit untuk bisa menjangkau merek itu karena harganya cukup mahal,” kata pegawai di salah satu perusahaan swasta di Kendari itu.

Foto Pixabay.com.

Turun karena pandemi dan ekonomi global

Bisnis pakaian bekas asal impor memang semakin menjamur di tanah air. Tak hanya toko offline, bisnis ini pun sudah merambah ke media sosial dan marketplace. Kondisi ini dinilai akan semakin mengancam industri tekstil dan pakaian jadi lokal yang kini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja sejak terpukul pandemi Covid-19 dan ketidakpastian ekonomi global. 

Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) dari industri tekstil dan pakaian jadi sebesar Rp34,85 triliun pada kuartal-III 2022. Nilai tersebut tumbuh 8,09% dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) yang sebesar Rp32,24 triliun.

Meski masih tumbuh positif, kenaikannya memang melambat dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang sebesar 13,74% (yoy). Hal itu salah satunya disebabkan oleh turunnya utilisasi di masing-masing subsektor industri tekstil. Secara rinci, utilisasi industri serat mengalami penurunan 20%. Industri pemintalan (spinning) mencatatkan penurunan utilisasi sebesar 30%. Kemudian, utilisasi industri penenunan (weaving) dan perajutan (knitting) terkontraksi 50%. Sedangkan, utilisasi industri garmen dan pakaian bayi masing-masing mengalami penurunan sebesar 50% dan 20-30%.

Ditambah dengan gempuran tekstil bekas, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartika Sastraatmaja khawatir, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) domestik baik di sektor hilir maupun hulu yang kini tengah mencoba bangkit justru akan semakin terhimpit. 

PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi (Q3 2020 – Q3 2022)

Periode

Pertumbuhan YoY (%)

PDB (Rp Triliun)

Q3 2020

-9,32

33,36

Q4 2020

-10,49

31,61

Q1 2021

-13,28

30,77

Q2 2021

-4,54

30,92

Q3 2021

-3,34

32,24

Q4 2021

5,94

33,49

Q1 2022

12,45

34,61

Q2 2022

35,17

35,17

Q3 2022

8,09

34,85

Sumber: BPS

“Para pebisnis industri kecil menengah (IKM) TPT menjadi pihak yang paling terdampak oleh banjir impor produk tekstil bekas, apalagi mereka umumnya tidak memiliki modal sebanyak korporasi besar,” bebernya, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (18/3).

Dalam bisnis thrifting ini, menurutnya, yang menjadi sebab bukanlah baju atau tekstil bekas yang dijual oleh para pengusaha thrifting, melainkan asal dari barang tersebut. Di mana biasanya didapatkan dari importasi ilegal. Padahal, hal ini sudah dilarang oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Di mana dalam beleid tersebut impor pakaian bekas dan barang bekas lainnya dengan kode HS 6.309.00.00 dilarang oleh pemerintah.

“Kalau memang itu masuknya secara benar, pasti harganya enggak mungkin terlampau miring, karena kan akan ada PPh, PPN, dan sebagainya. Pasti kita sebagai industri ketika head to head dengan barang tersebut akan lebih balance,” imbuhnya.

Pelarangan importasi pakaian dan barang bekas ini, sebenarnya sudah bukan hal baru di tanah air. Sebelumnya, yakni pada 2015 pun pemerintah telah melarang impor pakaian bekas dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Imbas produk China

Dengan kondisi saat ini yang kembali masif, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah tidak bisa hanya menyalahkan pedagang pakaian bekas saja secara sepihak. Sebab, mengularnya bisnis ini tak lain terjadi karena pembiaran dari pemerintah selama hampir delapan tahun terakhir. 

Tidak hanya itu, permintaan dari masyarakat terhadap pakaian bekas pun juga salah satunya terjadi karena harga pakaian jadi lokal yang lebih mahal meskipun memiliki kualitas lebih rendah ketimbang pakaian impor, meskipun itu dalam keadaan bekas. Kalaupun ada jenama lokal dengan kualitas apik, harganya tidak sebanding dengan biaya yang biasa dikeluarkan masyarakat. Terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk kebutuhan sandang.

“Kalau dilakukan pelarangan seperti sekarang, pasti akan ada konsekuensinya. Para pedagang thrifting yang ada di ujung, bukan importir ilegalnya ini kan UMKM juga. Ini harus dialihkan, apakah dialihkan untuk bisa jualan baju lokal atau barangnya ini dibeli pemerintah, terus ada kompensasi,” jelasnya, kepada Alinea.id, Senin (20/3).

Di sisi lain, industri tekstil dan pakaian jadi lokal pun harus berbenah untuk meningkatkan kualitas produknya. Sebab, kini orang-orang berduit pun lebih memilih berbelanja fesyen baru impor yang dinilai memiliki kualitas jauh lebih baik.

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

“Agar industri pakaian lokal bisa head to head dengan pakaian jadi impor baru juga harus dibatasi, agar fair. Jadi jangan cuma bekas saja yang dilarang. Karena kalau tidak, ya sama saja,” imbuhnya.

Namun terlepas dari itu, Bhima menilai, yang lebih penting dari membatasi impor pakaian bekas ini sebenarnya adalah pembatasan terhadap tekstil dan produk tekstil dari China. Pasalnya, yang sebenarnya membunuh UMKM lokal selain impor ilegal ialah gempuran produk tekstil baru dari negeri tirai bambu dengan harga juga lebih terjangkau ketimbang dari pakaian-pakaian lokal.

“Tapi kalau kita coba fair, impor pakaian bekas yang masuk itu kan Rp4,2 miliar di 2022. Sementara untuk impor pakaian jadi dari Tiongkok, nilainya sekitar Rp6,4 triliun. Jauh lebih besar. Ini juga harus diberesin,” tegas Bhima.

Ceruk pasar tersendiri

Sementara jika menilik pasar dari pakaian thrifting, pakar marketing dari Inventure Yuswohady menilai, peminat pakaian bekas baik itu dari hasil impor maupun dalam negeri sebenarnya memiliki ceruknya sendiri. Dus, menjamurnya bisnis ini sebenarnya tidak bisa dikatakan terlalu merugikan industri tekstil dan pakaian jadi lokal. 

Hal ini pun terlihat dari masih berkembangnya jenama-jenama fesyen lokal seperti Erigo, Joger, Eiger, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, merek luar negeri yang dinilai memiliki harga miring seperti H&M dan UNIQLO pun tak pernah sepi pembeli.

“Jadi pelarangan ini sebenarnya kurang tepat. (Thrifting) punya niche market-nya sendiri,” ungkapnya, kepada Alinea.id, Minggu (19/3).

Sementara itu, ketika importasi pakaian bekas dilarang, dirinya khawatir jika hal ini justru akan membuat pemilik bisnis menjalankannya secara diam-diam. Musababnya, kini masih banyak penggemar thrifting di tanah air.

“Sebenarnya pembeli pakaian bekas ini beragam. Tidak hanya dia yang memang terbatas dari segi ekonomi, tapi juga dia yang peduli dengan lingkungan, tapi ini saya rasa jumlahnya sedikit. Kemudian, mereka yang memang suka dengan gaya nyentrik,” tambah Yuswohady.

Bicara soal berdagang diam-diam, nampaknya inilah yang bakal dilakukan Wulandari, pedagang pakaian bekas asal Tangerang. Upaya ini dilakukannya menyusul sikap tegas pemerintah yang tengah giat menertibkan para pedagang thrifting baik yang berdagang secara fisik di pasar-pasar hingga di platform e-commerce.

Selain itu, ini juga satu-satunya cara dirinya dapat menghidupi dirinya sendiri dan membantu orang tuanya untuk menyekolahkan dua adiknya. “Padahal selama ini enggak apa-apa. Tapi ini tiba-tiba kita dilarang keras buat jualan,” keluhnya, kepada Alinea.id, Minggu (19/3).

Wulan mengakui dirinya tak benar-benar tahu dari mana pakaian-pakaian bekas yang ia jual berasal. Namun satu hal yang pasti, dirinya mendapat pasokan baju bekas dalam bentuk bal-balan dari pemasok yang ada di Pasar Cimol, Gedebage, Bandung dengan harga Rp3,5 juta-Rp5 juta tergantung jenis pakaian di dalamnya dan volume 80 kg-100 kg.

Impor pakaian bekas ke Indonesia (Kode HS 6309.00.00)

Tahun

Nilai

Volume

2019

US$6,07 juta

417,72 ton

2020

US$493,98 ribu

65,91 ton

2021

US$44,13 ribu

7,93 ton

2022

US$272,14 ribu

26,22 ton

Januari 2023

US$1.965

147 kg

Sumber: BPS

Setelah barang sampai di dirinya, perempuan 24 tahun itu tidak langsung menjual pakaian bekas tersebut. Melainkan menyortir kembali pakaian yang didapat, dengan memisahkan pakaian yang masih pantas dipakai dan tidak. Selanjutnya, dia masih me-laundry pakaian-pakaian layak pakai, untuk kemudian disetrika terlebih dulu, sebelum dijual.

“Dan ini saya pakai jasa laundry, jadi ya bisa dikatakan bantu UMKM lain,” kata dia.

Tidak hanya itu, dengan semakin besarnya usaha yang dimilikinya itu, Wulan juga membuka peluang bagi masyarakat untuk menjadi dropshipper atau reseller. Selain juga menjual paket-paket usaha mini seharga Rp1,1 juta. Sedang untuk tokonya sendiri, dia biasa memasarkannya dari platform lokapasar seperti Shopee dan media sosial Instagram dan WhatsApp. 

“Sekarang lagi hati-hati banget, jadi cuma lewat Telegram dan grup WhatsApp aja. Ini juga untuk reseller dan dropshiper. Untuk jualan live stop dulu, enggak tau sampai kapan,” imbuhnya.

Berbeda dengan Wulan, Abdurrahman Hanif pedagang baju bekas yang melapak di Blok M Square enggan menerka bagaimana nasibnya nanti. Pasalnya, menyusul penegasan yang tengah dilakukan pemerintah saat ini, membuat pengelola Blok M Square mengeluarkan aturan yang melarang para pedagang untuk berjualan baju bekas impor.

Padahal, sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di lantai basement mall tersebut, dirinya juga dipungut pajak dan sewa tempat yang nilainya cukup besar, bahkan mencapai belasan juta rupiah. Pedagang yang telah melapak sejak sebelum tahun 2000-an pun kini juga tergerus oleh penjualan online yang kini semakin marak dilakukan oleh pedagang-pedagang thrifting pendatang baru.

“Makanya sebenarnya tanpa ada larangan ini juga sudah banyak yang bangkrut, banyak yang tutup toko, apalagi pandemi kemarin,” bebernya, saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (18/3).

Untuk mengatasi disrupsi digital, dirinya pun baru-baru ini berinisiatif untuk memperluas atau bahkan memindahkan tokonya ke platform daring. Namun, dengan aturan baru, nampaknya dia harus mengurungkan niatnya tersebut.

“Enggak masalah kalau memang enggak jadi jualan online. Tapi ya tolong lah, kita ini jangan dilarang. Kalau dilarang, kita mau makan apa? Mau hidup dari mana?” keluh pedagang 58 tahun itu.

Dengan kondisi ekonomi yang masih sulit, baik Abdurrahman maupun Wulan pun berharap, pemerintah bisa meninjau kembali pelarangan importasi pakaian bekas dan pelarangan bisnis thrifting ini. Apalagi, saat ini UMKM pun sudah banyak yang terjun menjalani bisnis jual-beli pakaian bekas.

“Kalau tidak, dibuat resmi saja sekalian. Jadi jelas kita dapat barang dari mana. Karena kalaupun barang bekas, tapi barang lokal, itu tidak ada yang beli. Beda kalau kita dapat baju merek luar,” tutup Abdurrahman.
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid