sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib Jiwasraya dan lubang lembaga penjamin polis asuransi

Citos akan diperbaiki dan dikembangkan oleh Jiwasraya dengan mengandeng BUMN lain.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 25 Jul 2019 09:30 WIB
Nasib Jiwasraya dan lubang lembaga penjamin polis asuransi

Nasib nasabah PT Asuransi Jiwasraya Persero (Jiwasraya) masih belum terang. PT Jiwasraya sampai saat ini belum juga mampu menuntaskan kewajibannya membayar polis asuransi kepada para nasabahnya. Penyelesaian persoalan Jiwasraya belum terang sekalipun Komisi VI sudah turun tangan. 

Komisi VI DPR, Selasa (23/7) lalu, menggelar rapat dengar pendapat tertutup dengan Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko. Rapat dilandasi semangat membangkitkan bisnis perusahaan asuransi berpelat merah ini.

Sayang, tidak banyak solusi yang ditawarkan agar Jiwasraya menyelesaikan persoalan yang membelit. Bagi Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana, kinerja keuangan Jiwasraya sepuluh tahun terakhir berantakan. 

Investasi yang dilakukan perusahaan selama satu dekade itu seperti menguap tak berbekas. Kecuali di sektor properti yang nilainya mungkin masih tinggi, maka harapan Jiwasraya salah satunya mengandalkan aset berupa properti yang dinilai dapat menyelamatkan keuangan perusahaan dalam jangka panjang. 

"Tadi Jiwasraya menyampaikan punya aset yang tersebar di seluruh Indonesia dan bisa dikembangkan bersama-sama. Seperti Citos (Cilandak Town Square), mau diperbaiki lagi," tutur Azam usai rapat tertutup dengan Jiwasraya di ruang rapat Komisi VI DPR, Selasa (23/7).   

Jiwasraya memiliki sejumlah kekayaan berupa bangunan, salah satunya pusat belanja Citos di kawasan Jakarta Selatan. Apabila diperbaiki dan dikelola lebih baik dengan menggandeng BUMN Karya, ada harapan kinerja Citos menggeliat dan menghasilkan keuntungan. 

Solusi lain, masih gelap. Dalam rapat yang berlangsung hampir empat jam sejak pukul 14.00 WIB sampai pukul 17.15 WIB, tidak ada yang memberikan penjelasan terkait isi rapat. 

Saat itu jajaran direksi Jiwasraya hadir, yakni Direktur Utama Hexana Tri Sasongko, Direktur Ritel Fabiola Noralita Sondakh, dan Deputi Bidang Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo.

Mereka memilih untuk menghindari media, dan memilih keluar ruang rapat melalui exit emergency di Gedung Nusantara I DPR. 
 

Duduk perkara persoalan

Mengingatkan kembali, laporan keuangan perusahaan yang bermasalah diungkap Direktur Jiwasraya Hexana Tri Sasongko. Hexana menerima laporan dari kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) yang mengaudit keuangan Jiwasraya. 

Laba bersih yang tadinya Rp2,4 triliun berubah menjadi Rp360 miliar. Dari dokumen hasil rapat yang diterima Alinea.id, tertulis laba bersih dalam laporan audit Jiwasraya oleh PwC itu pun masih adverse, yakni masih memerlukan pembuktian pada sejumlah pos. 

"PwC pada akhirnya belum bisa mengambil opini karena status adverse itu. Secara sederhana, laporan audit Jiwasraya belum berstatus wajar tanpa pengecualian. Audit PwC menemukan ketidaksesuaian dana yang harus dicadangkan Jiwasraya karena pencadangan harus disesuaikan dengan kondisi janji Jiwasraya ke nasabah, itu yang kemudian diperbaiki," seperti dikutip dalam dokumen hasil rapat. 

Selain itu, dalam dokumen tersebut dipaparkan Jiwasraya menghadapi tekanan likuiditas dengan menunda pembayaran polis jatuh tempo yang dipasarkan bank (bancasssurance) yang sedianya jatuh tempo pada Oktober 2018 kepada 1.286 pemegang polis. Per 30 September 2018, Jiwasraya masih mampu membayar polis produk saving plan yang jatuh tempo. 

Adapun saving plan jatuh tempo dan tidak bisa dilunasi Jiwasraya berjumlah Rp802 miliar. Produk ini dijual lewat sejumlah bank, yang bertindak sebagai mitra distributor. 

"Salah satu penyebab macetnya pembayaran dana nasabah yang sudah jatuh tempo, adalah penurunan nilai aset yang menjadi potorfolio saving plan. Dari total dana kelolaan saving plan, sebanyak 75% berbentuk aset produk finansial, seperti saham, reksadana, Surat Berharga Negara (SBN), obligasi korporasi dan obligasi BUMN. Dari portofolio dalam produk finansial sebanyak 80% berada di pasar saham dan reksadana," tulis dalam laporan hasil rapat tersebut. 

Persoalannya, Jiwasraya tidak bisa mencairkan asetnya di saham, yang saat ini sedang mengalami penurunan nilai aset akibat kondisi pasar yang tertekan. Sebagai BUMN, Jiwasraya tidak bisa cut loss atau menjual saham ketika merugi. 

Sementara itu dari total portofolio produk saving plan tersebut sekitar 25% berupa tanah dan properti. Ini juga dipandang menyulitkan manajemen Jiwasraya memperoleh dana tunai guna memenuhi kewajibannya kepada nasabah. Komposisi portofolio ini ditengarai sudah warisan dari manajemen lama. 

Berikut kronologi permasalahan Asuransi Jiwasraya hingga gagal bayar nasabah

Tahun 2012

Pada 2012,  Asuransi Jiwasraya membeli PT Capitalinc Investmen Tbk (MTFN) sebanyak 291 juta lembar (7,28%) dengan harga Rp210/lembar. MTFN terus mengalami penurunan saham dan pada Juli 2019 harganya tinggal Rp50/lembar. 

Tahun 2013

Setahun kemudian, pada 2013, Jiwasraya meluncurkan produk JS Proteksi Plan (produk investasi plus perlindungan jiwa). Fokusnya adalah nasabah kaya dengan premi minimal Rp100 juta. 

Produk JS Proteksi Plan tersebut menjanjikan imbal hasil 7% dan masa pertanggungan asuransi hingga 5 tahun. Setelah satu tahun, nasabah (tertanggung) boleh menarik uang beserta imbal hasil 7% dan tetap mendapatkan perlinudngan asuransi sampai tahun ke-5. 

Produk tersebut ditawarkan lewat beberapa bank seperti Standard Chartered, Bank KEB Hana Indonesia, Victoria, ANZ, QNB Indonesia, BRI, dan BTN. 

Masih di tahun 2013, tepatnya bulan Mei, Jiwasraya juga membeli saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) sebesar 5,87% dengan total investasi Rp760 miliar. Per Juni 2019, harga saham TRAM hanya Rp121. 

Tahun 2016

Tiga tahun kemudian, tepatnya 9 Septmber 2016, Jiwasraya membeli saham Semen Baturaja (SMBR) dengan harga RP1.555/lembar. Namun per Juli 2019, harga saham SMBR turun jadi Rp1.165/lembar. 

Tidak berselang lama, 15 Septemebr 2016, Jiwasraya membeli saham PT PP Properti Tbk (PPRO) sebanyak 709,26 juta lembar (5,04%) seharga Rp1.000 per lembar saham. Desember 2016, Jiwasraya menambah saham menjadi 7,73%. 

Tahun 2018

Pada Oktober 2018, Jiwasraya pun mengirim surat kepada bank mitra produk Jiwasraya Proteksi Plan, bahwa Asuransi Jiwasraya gagal bayar kepada 1.286 pemegang polis jatuh tempo dengan nilai Rp802 miliar. 

Tahun 2019 

Per Januari 2019, Jiwasraya kembali menambah sahamnya di PPRO menjadi 8,59%. Kendati demikian, per 24 Januari 2019, harga saham PPRO menjadi hanya Rp115 lembar per saham, turun drastis dibandingkan pertama kali membeli saham. Per Juli 2019, harga saham PPRO menjadi Rp120/lembar. 
 

Rekomendasi 

Masih dalam dokumen hasil rapat yang diterima Alinea.id, terdapat beberapa simpulan dan rekomendasi untuk menangani kasus Jiwasrayaa. Di antaranya Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dipanggil ke DPR untuk dimintai keterangan terkait kelangsungan penyelidikan. 

Pada 2013, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pernah memulai penyelidikan: adakah unsur tindak pidana korupsi di Asuransi Jiwasraya terkait penempatan dana investasi pada saham dan kekeliruan membuat produk JS Proteksi Plan. 

Dalam menangani kasus gagal bayar Jiwasraya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus segera menentukan sikap, tanpa harus ikut alur roll over (perpanjangan kontrak) yang ditawarkan Jiwasraya yang terlihat mengulur pembayaran terhadap nasabah. 

"Minimal OJK harus berdiri di tengah memediasi AJ dan nasabah dan jangan melepas AJ langsung berhadapan dengan nasabah tanpa pengawasan OJK," tulis dokumen tersebut dalam simpulan rapat dan rekomendasi untuk Panitia Kerja atau Panja dalam penganganan kasus Asuransi Jiwasraya. 

Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dan (3) UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian PT apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya, dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. 

Dengan adanya aduit BPK, BPKP, dan PwC, Panitia Kerja menilai seharusnya OJK membuat simpulan, apakah ada unsur ketiadaan itikad baik, dari direktur lama atas kesalahan investasi Asuransi Jiwasraya. 

"Apabila ada, maka seharusnya direksi lama dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi, dengan misalnya OJK memberikan fakta-fakat ini ke kejaksaan agar dilanjutkan lewat peradilan pidana." tulis hasil rekomendasi rapat tersebut. 

Kemudian juga, berdasarkan pasal 53 (4) UU No.40/2014, UU Perasuransian mengamanatkan paling lama tiga tahun sejak UU Peransuransian diundangkan dibuat undang-undang yang mengatur tentang lembaga penjaminan polis asuransi, seperti LPS dalam sektor perbankan. 

Hingga saat ini, lembaga tersebut belum ada, sudah lima tahun, dan sudah sepatutnya Presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang) dengan berlandaskan kasus Asuransi Jiwasraya dan Bumiputera yang bukan tidak mungkin dialami perusahaan asuransi lain di Indonesia ke depannya. 

Ketua Bidang Kepatuhan Bidang Hukum dan Kepatuhan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Maryoso Sumaryono mengingatkan, sekalipun lembaga penjamin asuransi dibentuk namun fungsinya hanya mengkaver risiko jiwa, risiko meninggal dunia dan bencana alam dari pemegang polis. 

Sementara untuk perlindungan terhadap adanya kesalahan investasi perusahaan tidak dikaver. Soal ini peran OJK seharusnya yang dominan sebab dengan laporan yang dikirim industri asuransi setiap bulan seharusnya dapat terlihat apakah perlu segera ditangani jika memang laporan keuangan tidak sehat. 

 

Riset : Fultri Sri Ratu Handayani

Berita Lainnya
×
tekid