sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Patgulipat bisnis batu bara

Tiga permasalahan utama dalam pertambangan batu bara, yakni kongkalikong izin, penggelembungan produksi, dan kemudahan ekspor.

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Kamis, 20 Des 2018 21:14 WIB
Patgulipat bisnis batu bara

Izin mudah, korupsi masalah

Laporan riset yang termuat di Coalruption menyebut, sejak 2001 korupsi juga telah mendorong kenaikan jumlah penerbitan izin usaha pertambangan hingga 13 kali. Hampir separuhnya dikeluarkan untuk pertambangan batu bara.

Tak bisa disangkal, proses desentralisasi pemerintah sejak 2001 sudah meningkatkan jumlah kasus korupsi, karena pemerintah kabupaten dan provinsi punya kuasa yang lebih besar atas pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.

Sebelum 1999, peraturan pertambangan dijalankan secara terpusat. Lalu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendelegasikan kewenangan itu ke pemerintah daerah, termasuk soal kelola izin pertambangan.

Selain itu, ada kemampuan bagi pemerintah daerah untuk menaikkan pendapatan daerah dengan memberlakukan jenis pajak baru, serta menerbitkan izin pertambangan dan ekspor baru. Dari tahun 2001 hingga 2010, jumlah perizinan naik dari 750 menjadi 10.000. 40% di antaranya merupakan izin pertambangan batu bara.

Mudahnya perizinan ini menjadikan ekspor batu bara ilegal naik menjadi 90 juta ton, dengan nilai sekitar US$5 miliar, setara Rp58 triliun, setiap tahun. Besarnya produksi dan kemudahan mengekspor batu bara, maka industri batu bara mengalami transformasi, dari pemain kecil menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia, dalam kurun waktu kurang dari tiga dekade.

Laporan riset Coalruption menyebut, beberapa elite politik masuk dalam pusaran bisnis batu bara. Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtera.

PT Toba Sejahtera mempunyai sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batu bara dan PLTU. Sejumlah politically-exposed persons (PEP) lainnya terkoneksi dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga Luhut, mantan menteri, pejabat tinggi, dan pensiunan jenderal.

Sponsored

“Elite nasional bersekongkol dengan elite daerah dalam bisnis batu bara. Ini merupakan lanskap baru, di mana desentralisasi membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih politis dan meningkatkan kekuasaan diskresi para pejabat daerah. Kedua hal ini mengingkatkan risiko terjadinya korupsi,” kata Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, seperti dikutip dari situs Greenpeace.org, Senin (17/12).

Namun, Luhut membantah hal itu. Dia berdalih, saham di PT Toba Sejahtera sudah dijual, kepemilikannya tinggal 10%. Menurutnya, saham itu sudah dimilikinya sebelum dia menjadi menteri.

Aktivis Greenpeace melakukan aksi membentangkan peringatan bahaya air beracun dibekas pengerukan tambang batu bara di Asam-Asam, Kalimantan Selatan. (greenpeace.org).

Negara rugi

Merujuk laporan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2013, terdapat Rp1,2 triliun kewajiban royalti pertambangan batu bara yang belum disetor ke negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menemukan fakta yang lebih mencengangkan lagi. Dalam kurun 10 tahun terakhir, ICW melaporkan total potensi kerugian negara yang berasal dari pajak dan PNBP yang belum dibayar senilai Rp133 triliun.

Sementara dalam Coalruption disebut, sektor pertambangan batu bara sudah menjadi

komoditas politik dan sumber pendanaan kampanye politik di Indonesia selama 20 tahun terakhir, baik di tingkat nasional maupun daerah. Adanya keterkaitan yang erat dengan kebijakan dan regulasi pemerintah, royalti, pajak, dan infrastruktur, menyebabkan sektor tambang di Kalimantan ini terpapar korupsi.

“Sektor batu bara sudah mendanai dan secara bersamaan mengotori politik dan demokrasi di Indonesia yang merugikan rakyat Indonesia,” ujar Tata Mustasya, seperti dikutip dari situs Greenpeace.org, Senin (17/12).

Sementara itu, dikutip dari situs Greenpeace.org, 17 Desember 2018, aktivis ICW Firdaus Ilyas mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang meningkatkan risiko korupsi di dalam setiap tahap proses pertambangan. Dia menyebut, kelemahan sistem pencegahan korupsi, serta aspek hukum secara keseluruhan mendegradasi kemampuan pemerintah dalam mendeteksi, mencegah, dan menghukum koruptor dengan efektif.

Selain itu, kata Firdaus, proses pengambilan keputusan yang sangat politis dan kekuasaan diskresi yang dipegang pejabat negara meningkatkan pula risiko terjadinya korupsi. Lalu, tata kelola di sektor pertambangan, sebut Firdaus, kerap tak punya pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas.

“Buruknya pengawasan, menjadikan penelolaan SDA (sumber daya alam) Indonesia, khususnya batu bara, rentan dikorupsi,” kata Firdaus.

Berita Lainnya
×
tekid