sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terlilit utang pinjaman fintech

Calon pengguna fintech agar berhati-hati dan memastikan hal-hal, seperti fintech-nya terdaftar dan diawasi OJK.

Annisa Saumi Nanda Aria Putra
Annisa Saumi | Nanda Aria Putra Selasa, 19 Feb 2019 20:38 WIB
Terlilit utang pinjaman fintech

Rentetan korban

Ocit dan Sinta, bukanlah satu-satunya korban terlilit utang pinjaman fintech. Menurut rilis yang dikeluarkan LBH Jakarta, per November 2018, sudah ada 1330 pengaduan pinjaman daring, yang terserak di 25 provinsi.

“Setidaknya, terdapat 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban,” tulis rilis LBH Jakarta, yang dikeluarkan 9 November 2018 itu.

Pelanggaran itu, berupa bunga yang tinggi, mengakses kontak personal di telepon seluler korban, ancaman, fitnah, pelecehan seksual, dan penyebaran foto serta informasi pribadi. Beberapa pelanggaran, menurut pihak LBH Jakarta, diduga karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman daring.

“Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto, KTP, dan foto diri peminjam. Bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online,” tulis rilis LBH Jakarta itu.

Sementara, menurut pihak LBH Jakarta, aplikasi pinjaman daring yang kerap melakukan pelanggaran tersebut, di antaranya bahkan dilakukan aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukkan, terdaftarnya aplikasi itu tak menjamin minimnya pelanggaran yang muncul.

Cara terhindar dari fintech nakal

Sponsored

Sebuah kiriman dibagikan oleh MUSNAHKAN PINJAMAN ONLINE (@korban__fintech) pada

Di sisi lain, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menyebut, pihaknya tidak akan mengatur fintech seketat perbankan, dengan bunga yang harus sekian persen, minimum, dan sebagainya.

Dia mengatakan, di dalam Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan, semua fintech p2p lending yang terdaftar di OJK, harus menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

"AFPI inilah yang berkoordinasi dengan kami, menyampaikan berbagai kajian. Termasuk kajian bunga 0,8% yang jadi code of conduct (kode etik) dan harus dipatuhi oleh anggota," kata Hendrikus saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (14/2).

Dia melanjutkan, dalam kode etik tersebut, AFPI sudah mengatur tingkat bunga maksimum, batas penagihan yang hanya 90 hari, dan tingkat bunga yang tak boleh lebih dari 100%. Setelah 90 hari peminjam tak bisa membayar, tak boleh ditagih lagi. Jika ditagih, Hendri mengatakan, segera laporkan ke OJK.

"Enak dong? Betul dia enak, tapi datanya itu dipindahkan masuk ke pusat data p2p lending. Dia tercatat sebagai orang yang tercela, pernah meminjam dan tidak membayar. Setelah itu, dia tak bisa lagi meminjam di industri keuangan apapun, kecuali dia lunasin dulu," ujar Hendri.

Hendri menegaskan, fintech p2p lending yang terdaftar sebagai anggota AFPI dan OJK, wajib mengikuti aturan tersebut. Bagi OJK, kata Hendri, yang paling penting adalah perlindungan konsumen.

"Pertama, pastikan uang lender (pemberi pinjaman) tak hilang, kedua pastikan data pribadi tak bocor, dan ketiga pastikan hidupnya si borrower (penerima pinjaman) menjadi tidak lebih susah setelah menggunakan fintech lending," ujar Hendri.

Sementara itu, melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan fintech kepada konsumen, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira Adhinegara mengatakan, pengawasan harus dilakukan oleh pemangku kepentingan dengan melibatkan OJK, Kemenkominfo, dan kepolisian.

Menurut dia, pihak OJK memiliki otoritas yang sangat besar untuk melakukan pendataan seluruh fintech yang beroperasi di Indonesia. OJK dapat melakukan pemblokiran seluruh layanan aplikasi dan situs penyedia layanan, jika tak mematuhi aturan yang ditetapkan OJK.

“Namun, jika fintech ilegal sudah memakan korban, ranah kepolisian untuk melakukan penindakan hukum,” katanya.

Peer to peer lending mirip marketplace. Kelompok fintech ini mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman, dalam satu platform.

Di samping itu, Bhima menuturkan, calon pengguna fintech agar berhati-hati dan memastikan hal-hal, seperti fintech-nya terdaftar dan diawasi OJK. Kedua, sebelum mengunduh aplikasi fintech, pastikan mempelajari syarat-syaratnya, termasuk mengenai privasi data.

Ketiga, pelajari soal kontrak pinjaman dan model bisnisnya. Terakhir, kata Bhima, bandingkan tingkat bunga yang diberikan antar-fintech.

“Bunga tinggi bukan berarti untung tinggi, bisa jadi risiko gagal bayarnya juga tinggi. Wajib untuk dilaporkan ke OJK jika ada fintech ilegal. Ada hotline khusus di satgas waspada investasi OJK,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid